Mubadalah.id – Bagi sebagian orang, rokok adalah benda yang tidak memiliki manfaat, hingga bagi mereka status hukum dari rokok adalah haram. Namun berbeda bagi sebagian yang lain, rokok merupakan barang pokok yang harus dikonsumsi tiap harinya. Kita bisa melihat supir kendaraan besar yang membawa logistik antar daerah, kuli bangunan, montir bengkel, pekerja lapangan jalan, dan lain sebagainya yang tidak pernah lepas dari kretek di tangannya. Rokok bagi mereka adalah barang wajib yang harus ada saat bekerja. Lalu bagaimana hukum merokok?
Kendati menurut pakar kesehatan hukum merokok itu tidak baik untuk kesehatan, khususnya kesehatan paru-paru, hal ini tidak pernah menjadi ancaman bagi para perokok untuk berhenti merokok. Sikap yang disinyalir intoleran terhadap kesehatan diri sendiri ini juga kerap menimbulkan berbagai polemik, terlebih saat berada di tempat umum maupun dalam lingkungan keluarga. Tidak sedikit para perokok aktif yang menunjukkan perilaku merokok yang intoleran, sehingga mengganggu hak-hak para perokok pasif yang berada di tempat yang sama.
Aturan-aturan yang ada tanpa disertai kesadaran yang tinggi tentunya tidak bekerja maksimal, lagi-lagi yang dirugikan adalah perokok pasif. Dari sini, apakah hukum merokok bisa dikatakan haram? Bagaimana ulama menafsirkan isu ini? Begini penjelasan Syekh Ihsan Jampes:
Hukum Asal Rokok adalah Jawaz (Boleh)
Dalam karyanya yang berjudul Syarh Mandzumah Irsyad al-Ikhwan Li Bayani Syarb al-Qahwah wa al-Dukhaan, Syekh Ihsan Jampes (ulama Nusantara yang berasal dari Jampes, Kediri, Jawa Timur, w. 1952) menerangkan dengan sistematis perdebatan akademik tentang rokok dan temannya, kopi, dalam 4 bab utama. Tentang ulama yang mengharamkan dan membolehkan rokok beserta kopi, berikut dasar-dasar dalih yang digunakan untuk menentukan hukum merokok, dibahas dalam bab-bab berbeda.
Syekh Ihsan Jampes memaparkan, di balik ikhtilaf para ulama akan hal ini, terdapat banyak pula ulama yang menghalalkan rokok. Sebut saja Syekh Abdul Ghani al-Nablusi (w. 1143 H) yang dengan tegas mengatakan, bahwa hukum asal dari tembakau bukanlah haram, melainkan mubah; Al-Syibramalisi, Al-Halabi, Al-Barmawi, dan Al-Babili berpendapat serupa, keharaman rokok itu bukan bersifat li dzatihi, melainkan karena hal eksternal.
Hal eksternal yang dimaksud adalah saat seseorang mengetahui bahwa rokok dapat membahayakan dirinya, maka pada saat itu pula hukum merokok haram baginya. Halal secara zatnya karena rokok tidak bersifat memabukkan dan bukan termasuk barang najis.
Mengutip Mas’ud bin Hasan Al-Qanawi, Syekh Ihsan Jampes kembali memberikan penguatan atas kebolehan hukum merokok, menurutnya, rokok justru dapat mengobati beberapa jenis penyakit, salah satunya adalah serak. Rokok juga dianggap dapat memberikan kefasihan dalam berbicara dan menjadikan seseorang bersemangat. Mungkin hal ini yang dirasakan oleh para perokok aktif yang tidak dapat melepaskan rokok dan kopi saat sedang sibuk bekerja.
Menjadi Perokok yang Toleran
Jika hukum merokok adalah mubah, hal yang harus diperhatikan selanjutnya adalah perihal perilaku merokok. Kebolehan merokok adalah bagian dari hak asasi manusia, dan bebas dari asap rokok pun demikian, sehingga keduanya harus saling menghormati dengan tidak saling merugikan.
Dalam kitabnya, Syekh Ihsan Jampes menyebut perilaku merokok yang intoleran ini sebagai perilaku yang memiliki status makruh, bahkan haram. Hukum merokok berstatus makruh saat sang perokok meletakkan rokoknya secara sembarangan sehingga dapat merusak bagian kitab. Juga hukum merokok menjadi haram saat rokok tersebut merusak halaman-halaman Alquran, mengotori masjid, atau dilakukan saat sedang berpuasa.
Dari sini dapat kita qiyaskan dan praktikkan pada tataran sosial, hukum merokok menjadi haram saat merokok dalam kerumunan, ada bayi dan lansia, dalam rumah, di rumah sakit, dan tempat-tempat yang secara eksplisit dan implisit tidak memperkenankan ada asap rokok di tempat tersebut, karena membahayakan untuk keselamatan jiwa orang lain. Kesadaran atas perilaku merokok yang baik tidak akan merugikan hak hidup yang baik bagi orang lain, sehingga ia tetap menjadi mubah.
Sebagaimana kelompok yang sangat menentang keras rokok, tentunya ada kelompok yang sangat gigih memperjuangkan rokok (para perokok aktif, para pekerja seputar produksi rokok, para penjual rokok), hal ini adalah keniscayaan. Adanya perbedaan ini menandakan, kita harus saling menghormati atas keputusan masing-masing pribadi, dengan catatan untuk tidak saling merugikan dan menempatkan semuanya pada tempat dan porsi semestinya.
Adapun tentang hukum merokok itu sendiri, mengutip pernyataan Kiai Marzuki Wahid (Rektor ISIF), semuanya kembali kepada af’alul mukallaf nya. Hukum merokok bisa haram, makruh, mubah, bahkan halal tergantung dari kondisi dan konteks yang dirasakan oleh sang pelaku.
Mungkin hari ini hukum merokok bisa saja halal, namun karena banyak hal, rokok bisa menjadi haram. Pada satu orang saja hukum rokok bisa berbeda-beda, dan itu adalah tanda bahwa hukum Islam sangat dinamis dan memperhatikan kebutuhan masing-masing individu. []