• Login
  • Register
Sabtu, 24 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

5 Alasan Perempuan Harus Baca Buku Madilog Tan Malaka

Irfan Hidayat Irfan Hidayat
15/06/2022
in Publik
0
Perempuan Harus Baca Buku

Perempuan Harus Baca Buku

979
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Madilog merupakan akronim dari materialisme, dialektika, dan logika. Sebuah pemikiran salah satu pahlawan republik Indonesia, Ibrahim Datuk Tan Malaka, yang ia tulis dalam sebuah buku pada kisaran tahun 1942-1943 M, atau tepatnya dua tahun sebelum Ir. Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Melihat fakta sejarah di atas, maka perempuan harus baca buku tersebut.

Menurut Alm. Dr. Alfian (Peneliti Politik LIPI), Madilog merupakan magnum opus-nya Tan Malaka. Kenapa tidak? Dalam Madilog, seluruh intisari pemikirannya ia tuliskan dalam buku setebal 462 halaman tersebut. Madilog pun berbeda dengan karya-karya Tan Malaka yang lainnya yang biasanya membahas ilmu-ilmu sosial, ekonomi, politik, dan sejarah. Dalam Madilog, ia lebih mengarah ke ilmu-ilmu mutlak (sains) melalui pendekatan filosofis.

Tujuan Tan Malaka menulis Madilog tidak lain ialah untuk membebaskan rakyat Indonesia dari belenggu pemikiran irasional nan mistik yang sejak saat itu tengah mendarah-daging dalam benak masyarakat pribumi. Menurutnya, sebelum melancarkan revolusi kemerdekaan melawan imperialisme, logi masyarakat harus dimerdekakan terlebih dahulu dari segala rupa ‘logika mistika’ seperti pesugihan, dukun, sesajen, mitologi, dan lain sebagainya.

Dalam tulisan ini saya tidak akan menjelaskan tentang siapa Tan Malaka. Tentunya, berbicara mengenai sosok Tan Malaka tidak akan rampung jika ditulis dalam kolom yang hanya memuat 1000 kata. Dalam tulisan ini, saya hendak membatasinya dalam lingkup pemikirannya yang ia tulis dalam Madilog, serta hubungannya dengan keadilan dan kesetaraan gender.

Perempuan Harus Baca Buku Madilog!

Secara sekilas, judul tulisan ini memang terkesan seksis dan diskriminatif karena memunculkan kesan bahwa hanya perempuan harus baca buku Madilog. Namun, bukan berarti laki-laki juga tidak harus membacanya. Saya menulis kata ‘perempuan’ di judul tulisan ini karena, setuju atau tidak, hingga hari ini kaum perempuan lah yang selalu menjadi korban dari logika mistika seperti dimaksud Tan Malaka, khususnya di Indonesia.

Saya ambil contoh bahwa masih marak di masyarakat Indonesia yang menganggap bahwa perempuan itu lemah, kodratnya ikut laki-laki, atau perempuan itu tugasnya 3M (macak-masak-manak). Lebih parah, pernyataan-pernyataan salah kaprah tersebut menjadi sebuah mitologi, bahkan dianggap sebagai takdir yang sifatnya mutlak, kodrati, tidak bisa diubah, karena turun langsung dari kahyangan, hingga menjadi suatu ‘norma’ yang tidak boleh dilanggar.

Baca Juga:

Perempuan Bisa Menjadi Pemimpin: Telaah Buku Umat Bertanya, Ulama Menjawab

Benarkah KB Hanya untuk Perempuan?

Melampaui Batasan Tafsir: Membebaskan Narasi Gender dalam Islam Menurut Mernissi dan Wadud

Bolehkah Dokter Laki-laki Memasangkan Alat Kontrasepsi (IUD) kepada Perempuan?

Berangkat dari kondisi tersebut, menurut saya, salah satu upaya supaya masyarakat (khususnya perempuan) untuk dapat mendobrak mitos yang menjadi stereotip tersebut adalah dengan perempuan harus baca buku Madilog Tan Malaka. Kenapa?

Pertama, dalam Madilog dijelaskan bahwa logika mistika merupakan ‘penyakit’ masyarakat yang tak kunjung sembuh dan harus dibumihanguskan. Seperti dijelaskan di atas, Madilog menjadikan logika sebagai suatu cara berpikir untuk memerdekakan seseorang dari pemikiran / mitologi yang tengah  membelenggunya.

Contohnya terkait mitos bahwa perempuan itu harus kalem, pendiam, santun, dan sopan agar sesuai dan tidak menyalahi norma. Perempuan itu kodratnya di dapur, sumur, dan kasur. Sehingga, jika terdapat perempuan yang melakukan peran publik, maka ia harus tetap melakukan peran domestiknya. Ironis bukan? Hal itu lah yang kemudian ditentang Tan Malaka melalui Madilog.

Kedua, Tan Malaka juga menjelaskan mengenai istilah ‘dialektika’ (merupakan pengembangan pemikiran dari Friedrich Hegel dan dijembatani oleh L Feuerbach dan Karl Marx). Secara sederhana, dialektika adalah tesis-antitesis-sintesis, yang jika ditarik dalam konteks logika mistika tadi, maka mitos terkait peran domestik adalah tugas perempuan secara kodrati merupakan suatu ‘premis’ yang menjadi ‘tesis’ yang dengannya akan muncul antitesis sehingga mendapatkan suatu sintesis. Sehingga, mitos tersebut bukanlah sesuatu yang mutlak, akan tetapi dapat berubah dan diubah, berdialektika.

Ketiga, Tan Malaka juga mengkritik keras pemikiran yang bersifat dogmatis, paksaan, dan pengekangan. Ia juga menegaskan bahwa kembali bahwa manusia merupakan ‘hewan yang berpikir’. Hal ini senada dengan apa yang dinyatakan oleh Imam Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun (teolog dan sosiolog muslim), bahwa kecerdasan Homo Sapiens (manusia) berdasarkan logikanya.

Dengan begitu, pemikiran Tan Malaka sebenarnya telah mempelopori terkait kesetaraan (khususnya gender). Hal-hal yang bersifat memaksa dan mengekang, terlebih dogmatis, seperti pengekangan perempuan untuk bekerja, berkarir, berpolitik, dan lainnya, merupakan suatu kondisi dimana perempuan harus mendapatkan kemerdekaan dan hak yang sama sebagaimana laki-laki.

Keempat, dalam Bab terakhir Madilog, Tan Malaka menjelaskan terkait keteladanan Nabi Muhammad SAW. Ia membicarakan bagaimana biadabnya masyarakat Arab sebelum Islam, mulai dari perang antar suku, hingga kekerasan terhadap kaum perempuan. Sebagai seorang muslim, ia menyatakan bahwa Islam merupakan agama penerang kegelapan, bak intan yang tidak bisa dicampur oleh lumpur. Hal tersebut ia tulis dalam halaman 475 yang berbunyi:

“Dari kecil sudah mengenal susah melarat di tengah-tengah masyarakat saling sengketa dan gelap gulita itu dan dalam keadaan semacam itu bisa timbul paham perangai dan budi seperti Muhammad bin Abdullah. Tetapi memang intan itu bisa diselimuti, tetapi tak bisa dicampur leburkan oleh lumpur”.

Kelima, Madilog dapat menjadi salah satu jawaban untuk menyembuhkan kecacatan logika berpikir salah kaprah terhadap perempuan yang telah mengakar kuat di masyarakat. Dimana perempuan itu harus selalu membuntut terhadap laki-laki, karena jika ia mendahului atau mendominasi, maka perempuan tersebut dapat dipandang sebagai perempuan yang tidak beradab, tidak berbakti, hingga menyalahi kodratnya.

Kondisi tersebut merupakan gambaran bahwa logika-logika patriarkis masih marak, bahkan masih ada dan berlaku hingga saat ini di masyarakat. Berangkat dari logika salah kaprah tersebut, Madilog merupakan salah satu ‘solusi’ dalam bentuk pemikiran kritis-konstruktif sebagai suatu cara pandang baru terhadap dunia di sekitar kita untuk menciptakan kesetaraan, khususnya kesetaraan gender dan keadilan bagi perempuan.

Madilog Bukanlah Kitab Suci

Tidak ada yang sempurna di dunia ini, karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT Tuhan semesta alam. Begitu pula dengan Madilog Tan Malaka. Madilog bukanlah kitab suci, terlepas dari 5 alasan yang sudah saya paparkan tadi, Madilog, bagi saya memiliki beberapa kekeliruan. Pertama, terdapat premis yang ‘sesat’, dalam Madilog Tan Malaka mengaku ke-Esa-an Allah SWT tetapi meragukan sifatnya yang maha pengasih. Hal itu ia tulis dalam halaman 240 yang pada intinya bahwa tidak mungkin Allah SWT itu maha pengasih tetapi membiarkan mahluk-Nya masuk neraka.

Kedua, buku ini sangatlah ‘berat’ untuk dibaca serta sulit juga untuk dipahami secara maksimal oleh pembaca awam seperti saya. Dikhawatirkan jika pembaca dapat tergelincir menjadi atheis, sehingga saya sarankan jika setelah membaca buku ini, baiknya membaca karya lanjutannya yang berjudul “Islam dalam Madilog”.

Harapannya, dengan banyaknya perempuan yang membaca buku ini, sehingga dapat menjadi salah satu upaya dalam mendobrak logika mistika yang mengekang perempuan untuk mendapatkan hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki.

Spirit perjuangan kesetaraan dan keadilan gender tidak boleh berakhir seperti nasib dari buku ini. Jika buku ini dianggap berat dan sulit dipahami, bahkan dianggap sebagai sesuatu yang ‘menyesatkan’ dan paham terlarang di negeri ini, maka nasib perjuangan keadilan dan kesetaraan gender tidak boleh demikian. []

Tags: BacabukuliterasiMadilogperempuanTan Malaka
Irfan Hidayat

Irfan Hidayat

Alumni Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga, Kader PMII Rayon Ashram Bangsa

Terkait Posts

Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan

Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia: Tegaskan Eksistensi Keulamaan Perempuan

24 Mei 2025
Ulama perempuan Indonesia

Bulan Kebangkitan: Menegaskan Realitas Sejarah Ulama Perempuan Indonesia

24 Mei 2025
Kekerasan

Kasus Pelecehan Guru terhadap Siswi di Cirebon: Ketika Ruang Belajar Menjadi Ruang Kekerasan

24 Mei 2025
Memahami Disabilitas

Belajar Memahami Disabilitas dan Inklusivitas “Hanya” Dengan Naik Transjatim

23 Mei 2025
Peran Aisyiyah

Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan

20 Mei 2025
Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas

Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama

20 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Laku Tasawuf

    Hidup Minimalis juga Bagian dari Laku Tasawuf Lho!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menjembatani Agama dan Budaya: Refleksi dari Novel Entrok Karya Oky Madasari

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kasus Pelecehan Guru terhadap Siswi di Cirebon: Ketika Ruang Belajar Menjadi Ruang Kekerasan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Self Awareness Ala Oh Yi Young di Resident Playbook

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bulan Kebangkitan: Menegaskan Realitas Sejarah Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia: Tegaskan Eksistensi Keulamaan Perempuan
  • Meneladani Noble Silence dalam Kisah Bunda Maria dan Sayyida Maryam menurut Al-Kitab dan Al-Qur’an
  • Ihdâd: Pengertian dan Dasar Hukum
  • Hidup Minimalis juga Bagian dari Laku Tasawuf Lho!
  • Menjembatani Agama dan Budaya: Refleksi dari Novel Entrok Karya Oky Madasari

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version