Kamis, 21 Agustus 2025
  • Login
  • Register
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
    Konferensi Pemikiran Gus Dur

    Merawat Warisan Gus Dur: Konferensi Pemikiran Pertama Digelar Bersama TUNAS GUSDURian

    Kenaikan Pajak

    Demokrasi di Titik Nadir: GUSDURian Ingatkan Pemerintah Soal Kenaikan Pajak dan Kebijakan Serampangan

    Musawah Art Collective

    Lawan Pernikahan Anak Lewat Seni: Musawah Art Collective Gelar Trip Exhibition “Breaking the Chain” di Tiga Kota

    Krisis Iklim

    Green Youth Quake: Pemuda NU dan Muhammadiyah Bergerak Lawan Krisis Iklim

    ‘Aisyiyah Bojongsari

    ‘Aisyiyah Bojongsari Rayakan HAN dan Milad ke-108 Lewat Lomba dan Diskusi

    KOPRI

    Buka Perspektif Geopolitik Kader Perempuan, KOPRI Bedah Buku 75 Tahun Indonesia Tiongkok

    Pengelolaan Sampah

    Ulama Perempuan Serukan Pelestarian Alam dan Pengelolaan Sampah Berkelanjutan

    PIT Internasional

    ISIF Buka Kolaborasi Akademik Global Lewat PIT Internasional

    PIT SUPI

    Mengglobal: SUPI ISIF Jalani PIT di Malaysia dan Singapura

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Menikah

    Menikah atau Menjaga Diri? Menerobos Narasi Lama Demi Masa Depan Remaja

    Hari Kemerdekaan

    Hari Kemerdekaan dan Problem Beragama Kita Hari Ini

    Soimah

    Dear Bude Soimah, Tolong Perlakukan Pasangan Anak Laki-lakimu Sebagaimana Manusia Seutuhnya

    Inklusi Sosial

    Inklusi Sosial Penyandang Disabilitas

    Arti Kemerdekaan

    Arti Kemerdekaan bagi Perempuan

    Dhawuh

    Di Bawah Bayang-bayang Dhawuh Kiai: Bagian Dua

    Di Mana Ruang Aman Perempuan

    Refleksi 80 Tahun Kemerdekaan: Di Mana Ruang Aman Perempuan dan Anak?

    Upacara Bendera

    Kesalingan dalam Perayaan; Membaca Upacara Bendera dan Pesta Rakyat di Istana

    Arti Kemerdekaan

    Memugar Kembali Arti Kemerdekaan

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Sifat Fleksibel

    Mengapa Orangtua Perlu Sifat Fleksibel dalam Pola Asuh Anak?

    Gus Dur

    Gus Dur Sosok yang Rela Menanggung Luka

    Anak Kritis

    Membiasakan Anak Kritis dan Menghargai Perbedaan Sejak Dini

    Tidak Membedakan Anak

    Orangtua Bijak, Tidak Membedakan Anak karena Jenis Kelaminnya

    Kesetaraan Gender

    Pola Pendidikan Anak Berbasis Kesetaraan Gender

    Peran Orangtua Mendidik Anak

    Peran Orangtua dalam Mendidik Anak menurut Pandangan Islam

    Orangtua Mendidik Anak

    Peran Orangtua dalam Mendidik Anak untuk Generasi Berkualitas

    Hakikat Merdeka

    Kemuliaan Manusia dan Hakikat Merdeka dalam Surah Al-Isra Ayat 70

    Pendidikan Anak

    Hak Anak atas Pendidikan

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
    Konferensi Pemikiran Gus Dur

    Merawat Warisan Gus Dur: Konferensi Pemikiran Pertama Digelar Bersama TUNAS GUSDURian

    Kenaikan Pajak

    Demokrasi di Titik Nadir: GUSDURian Ingatkan Pemerintah Soal Kenaikan Pajak dan Kebijakan Serampangan

    Musawah Art Collective

    Lawan Pernikahan Anak Lewat Seni: Musawah Art Collective Gelar Trip Exhibition “Breaking the Chain” di Tiga Kota

    Krisis Iklim

    Green Youth Quake: Pemuda NU dan Muhammadiyah Bergerak Lawan Krisis Iklim

    ‘Aisyiyah Bojongsari

    ‘Aisyiyah Bojongsari Rayakan HAN dan Milad ke-108 Lewat Lomba dan Diskusi

    KOPRI

    Buka Perspektif Geopolitik Kader Perempuan, KOPRI Bedah Buku 75 Tahun Indonesia Tiongkok

    Pengelolaan Sampah

    Ulama Perempuan Serukan Pelestarian Alam dan Pengelolaan Sampah Berkelanjutan

    PIT Internasional

    ISIF Buka Kolaborasi Akademik Global Lewat PIT Internasional

    PIT SUPI

    Mengglobal: SUPI ISIF Jalani PIT di Malaysia dan Singapura

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Menikah

    Menikah atau Menjaga Diri? Menerobos Narasi Lama Demi Masa Depan Remaja

    Hari Kemerdekaan

    Hari Kemerdekaan dan Problem Beragama Kita Hari Ini

    Soimah

    Dear Bude Soimah, Tolong Perlakukan Pasangan Anak Laki-lakimu Sebagaimana Manusia Seutuhnya

    Inklusi Sosial

    Inklusi Sosial Penyandang Disabilitas

    Arti Kemerdekaan

    Arti Kemerdekaan bagi Perempuan

    Dhawuh

    Di Bawah Bayang-bayang Dhawuh Kiai: Bagian Dua

    Di Mana Ruang Aman Perempuan

    Refleksi 80 Tahun Kemerdekaan: Di Mana Ruang Aman Perempuan dan Anak?

    Upacara Bendera

    Kesalingan dalam Perayaan; Membaca Upacara Bendera dan Pesta Rakyat di Istana

    Arti Kemerdekaan

    Memugar Kembali Arti Kemerdekaan

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Sifat Fleksibel

    Mengapa Orangtua Perlu Sifat Fleksibel dalam Pola Asuh Anak?

    Gus Dur

    Gus Dur Sosok yang Rela Menanggung Luka

    Anak Kritis

    Membiasakan Anak Kritis dan Menghargai Perbedaan Sejak Dini

    Tidak Membedakan Anak

    Orangtua Bijak, Tidak Membedakan Anak karena Jenis Kelaminnya

    Kesetaraan Gender

    Pola Pendidikan Anak Berbasis Kesetaraan Gender

    Peran Orangtua Mendidik Anak

    Peran Orangtua dalam Mendidik Anak menurut Pandangan Islam

    Orangtua Mendidik Anak

    Peran Orangtua dalam Mendidik Anak untuk Generasi Berkualitas

    Hakikat Merdeka

    Kemuliaan Manusia dan Hakikat Merdeka dalam Surah Al-Isra Ayat 70

    Pendidikan Anak

    Hak Anak atas Pendidikan

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Menyandang Status Janda bagi Perempuan, Lalu Kenapa?

Saya sangat berharap media arus utama pun bisa sama baiknya dalam membuat narasi yang tidak mendiskreditkan status sosial janda di tengah masyarakat

Hanifa Paramitha Hanifa Paramitha
25 Juni 2022
in Publik, Rekomendasi
0
Status Janda

Status Janda

567
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – “Apa yang ada di pikiran kita ketika mendengar kata ‘janda’? Apapun jawaban yang terlintas,  adalah buah dari bagaimana otak kita selama ini merepresentasikan istilah dan cara pandang terhadap perempuan. Dalam rangka peringatan International Widows Day setiap 23 Juni, saya ingin menyoroti tentang bagaimana masyarakat (dan tentu saja media) memandang perempuan dengan status janda, baik cerai mati maupun cerai hidup.

Berkat ulah budaya patriarki, posisi perempuan kerap menempati kelas kaum marjinal. Sehingga memunculkan kesenjangan dan ketimpangan antara lelaki dan perempuan dalam bidang sosial, ekonomi, politik, bahkan intelektual.

Dengan segala pembatasan yang ada, perempuan terjebak menjadi objek diskriminasi karena konstruksi patriarki yang menjalar telah membuatnya dipandang sekadar sebagai manusia dengan peran domestik. Manusia yang hanya bisa menunggu, mengharapkan, dan menerima begitu saja apa yang telah terberi.

Tak pelak hal tersebut pun membuat perempuan janda turut mengalami stigma berlapis. Tak cukup hanya karena sebagai perempuan itu sendiri, tetapi juga sebagai perempuan yang pernah menikah lalu kemudian ditinggalkan. Seolah ia sendiri tak lagi bermakna tanpa ada lelaki di kehidupannya. Seolah menjadi ibu tunggal adalah sebuah kesalahan dalam sistem sosial.

Stigma Negatif Status Janda

Sayangnya, stereotip negatif tentang status janda juga turut dipertebal oleh narasi pemberitaan di media yang kerap mengobjektifikasi janda sebagai sosok yang erat dengan seksualitas.

Mahy, Winarnita, & Herriman (2016) dalam penelitiannya mengatakan bahwa janda muda dianggap lebih berpengalaman secara seksual dan penuh birahi. Penelitian dengan tajuk “Presumptions of promiscuity: reflections on being a widow or divorcee from three Indonesian communities” tersebut juga menyebutkan bahwa laki-laki cenderung menganggap janda sebagai sosok yang lemah dan dapat dimanfaatkan untuk memuaskan libidonya.

Sementara itu, beberapa perempuan menikah menganggap janda adalah ancaman serius bagi stabilitas pernikahan mereka karena berkaitan dengan kesetiaan suami. Alhasil, stereotip ini pun membuat para janda yang juga seorang ibu tunggal mengalami kesulitan dalam menjalani kehidupan bahkan ikut terpinggirkan di lingkungannya.

Menyandang status janda karena suami meninggal dunia masih terkesan terhormat ketimbang menjadi perempuan janda karena perceraian. Kemungkinan menjadi pergunjingan, mendapat perlakuan tidak adil, dianggap remeh bahkan menerima tuduhan macam-macam adalah bagian yang ditanggung perempuan bercerai. Selain itu mereka juga harus membesarkan anak-anaknya seorang diri.

Hidup sebagai janda merupakan hal yang sulit karena di satu sisi mereka harus bertanggung jawab untuk menjadi orang tua tunggal bagi anak-anaknya, dan di sisi lain mereka merasakan beban psikologis dari masyarakat yang umumnya menganggap kehidupan menjanda sebagai hal yang negatif.

Status Janda Bukan Posisi Menguntungkan

Menyandang status janda bukanlah posisi yang menguntungkan bagi perempuan secara biologis, psikologis, maupun sosiologis. Kondisi yang melingkupi diri kaum perempuan seringkali mengundang bargaining position kaum ini ketika berhadapan dengan kaum pria.

Penempatan kaum janda kadang sebagai perempuan pada posisi yang tidak berdaya, lemah, dan perlu kita kasihani sehingga dalam kondisi sosial budaya yang patriarki seringkali terjadi ketidakadilan terhadap kaum perempuan, khususnya kaum janda.

Mengutip Databoks Katadata, Badan Pusat Statistik (BPS) menemukan terdapat 447.743 kasus perceraian selama 2021. Angka tersebut meroket drastis dibandingkan 2020 dengan 291.677 kasus perceraian. Sebagian besar penggugat cerai merupakan istri dengan alasan situasi ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga, hingga poligami.

Dalam kehidupan bermasyarakat, konstruksi sosial sangat didominasi oleh pandangan laki-laki, dan cenderung menempatkan perempuan sebagai kelas dua atau subordinat, sehingga tak bisa bikin keputusan sendiri. Hal inilah yang melahirkan ketidakadilan gender.

Kimmel (1980) menyebutkan bahwa orang tua tunggal perempuan menghadapi kesulitan mendapatkan pendapatan yang cukup, mendapatkan pekerjaan yang layak, pembayaran biaya anak dan kebutuhan lainnya. Pernyataan itu kemudian menguak kebenaran mengapa kebanyakan janda di Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan. Hal itu yang kemudian menyebabkan banyak anak-anak terancam tidak mendapatkan pendidikan yang layak.

Mengapa stigma yang terbentuk di masyarakat terhadap ibu tunggal kerap mengarah pada hal buruk? Mengapa kelompok tersebut amat rentan menjadi bahan objektifikasi dan penyudutan dari media dan masyarakat sekitar?

Hal tersebut ternyata berkaitan dengan kegagalan media massa untuk merepresentasikan perempuan secara adil dan komperhensif. Hal tersebut tersampaikan pakar media Ott dan Mack dalam teori analisis feminis. Teori tersebut menekankan bagaimana media mengakomodir distribusi kekuasaan dan kekuatan yang tidak adil terhadap perempuan. Lambat laun, hal itu mendorong lahirnya objektifikasi terhadap perempuan sebagai turunan dari inferioritas yang media bangun ketika merepresentasikan sosok perempuan.

Objek Estetis

Objektifikasi secara seksual dan emosional tidak hanya menimpa kelompok janda dan para ibu tunggal. Perempuan secara umum juga turut menjadi sasaran hal tersebut. Hanya saja, kaum janda dan ibu tunggal kerap dianggap sebagai perempuan pada posisi yang lemah, tidak berdaya, dan perlu dikasihani sehingga sering kali terjadi ketidakadilan terhadap mereka.

Media massa juga memiliki kecenderungan untuk memanfaatkan stigma tersebut untuk mengobjektifikasi status janda dan ibu tunggal secara seksual. Profesor Jurnalisme, Linda Steiner, dalam “New Approaches and Reconsiderations Feminist Media Theory” mengungkapkan bahwa media tidak bisa merepresentasikan perempuan secarara akurat.

Tidak ada media yang tidak tergiur untuk mengobjektifikasi perempuan dengan memfokuskan visualisasi pada bagian-bagian tubuh seperti bibir, dada (payudara), dan kaki untuk kepuasan para penonton laki-lakinya.

Pemilihan judul-judul berita yang sensasional mengenai janda dan ibu tunggal dilakukan media untuk memprovokasi perhatian atau membangkitkan respons emosional tertentu pada khalayak. Media turut menyumbang aspek pendukung objektifikasi terhadap perempuan.

Terdapat anggapan bahwa citra perempuan yang tersebar media massa mencerminkan dan mengekspresikan kepedulian laki-laki. Cara pandang semacam itu gagal untuk mengenali, baik unsur-unsur bahasa dalam representasi yang lebih kompleks, maupun kebutuhan untuk mengidentifikasi sebuah cara pandang perempuan yang spesifik dan estetik,

Diskriminasi budaya menyebabkan adanya kekerasan terhadap perempuan. Diskirminasi ini dapat teranalisa melalui bahasa dan seni yang menindas dan mendominasi perempuan.

Sudah banyak pakar bahasa dan ilmu-ilmu sosial lain yang mempermasalahkan adanya ketimpangan gender dalam penggunaan bahasa kita sehari-hari baik lisan maupun tulisan. Masyarakat juga sering melihat perempuan lebih seperti objek daripada subjek. Hal ini terlihat dalam bahasa yang terpakai untuk menggambarkan perempuan.

Male Gaze dalam Media

Di era digital, kebutuhan informasi tersedia dengan mudah melalui portal berita secara daring. Pada portal berita, beragam konten terproduksi dengan membawa tendensi tertentu. Merujuk pada teori konstruksi realitas sosial media massa, pihak media memproduksi berita berdasarkan tafsirnya terhadap realitas.

Media memiliki pengaruh dan kekuatan untuk membentuk realitas sosial karena media adalah aktor yang mengonstruksi realitas. Dengan demikian dapat kita pahami bahwa produk jurnalistik itu adalah konstruksi peristiwa berdasarkan fakta yang terpahami oleh awak media. Anggapan penting apapun oleh pihak media pada akhirnya akan dianggap penting penting pula oleh masyarakat.

Saya membaca beberapa literatur penelitan mengenai hal ini. Dan ternyata bisa kita tebak bahwa isu status janda mendapatkan pelabelan yang cenderung negatif. Baik dari lingkungan maupun media. Beberapa artikel ilmiah antara lain diskriminasi gender penamaan tanaman “Janda Bolong” oleh media (Dianto, 2021); representasi janda dalam film Indonesia (Millati, 2000); representasi janda dalam pemberitaan di portal berita (Sari, 2018); konstruksi sosial identitas janda muda (Septiani, Adnan & Mujianto, 2018).

Glorifikasi Janda

Penelitian-penelitian tersebut memperlihatkan bagaimana media turut memelihara aspek stigmatisasi janda. Bahkan penelitian Setyawan (2018) juga menunjukkan bahwa media televisi belum menciptakan kesetaraan dan keadilan gender yang terbukti dengan adanya kekerasan simbolik tentang janda dalam tayangan film televisi (FV).

Tak cukup sampai di situ. Pandangan laki-laki pun mereka praktikkan oleh media massa Indonesia ketika mereka melaporkan pembukaan “Bakmi Janda”, sebuah warung mie di Surabaya. Bukankah seharusnya bahasan genre kuliner menjelaskan tentang urusan produk dan prosesnya? Mengapa justru kata “janda” yang mereka gunakan sebagai komoditas oleh pemilik warung justru menjadi pembahasan utama?

Hasil temuan oleh Dewi dkk. (2018) yang melakukan penelitian tersebut, liputan di media malah membangun wacana tentang janda dan tawaran kenikmatan seksual. Tiga portal media daring tersebut menggunakan perspektif laki-laki (male gaze) dalam proses produksi berita yang pada akhirnya mengarah pada objektifikasi perempuan janda.

Media memiliki kuasa untuk melakukan konstruksi realita. Konstruksi media atas diri perempuan dari sisi ekonomi memang mampu membentuk economic capital, namun di sisi lain media justru semakin mengukuhkan diri sebagi representasi laki-laki.

Tanpa kita sadari sebenarnya media juga telah memperkuat struktur patriarkal melalui narasi yang tersusun. Ikatan tradisional perempuan dengan ranah privat, dengan segala atribut yang melekat pada sisi ‘kewanitaannya’ semakin mempertegas dan menguatkan penegasan orientasi pembedaan ikatan tradisional dengan laki-laki. Perempuan umumnya terposisikan sebagai korban, tertindas, teraniaya dan lemah.

Media Adil Gender

Di balik keprihatinan atas realita industri media yang terjadi saat ini, saya pun menemukan ada beberapa media alternatif yang mempraktikkan jurnalisme yang inklusif, beragam dan berorientasi solusi. Semua artikelnya yang membahas janda selalu menempatkan janda sebagai perempuan yang terhormat sekaligus berdaya.

Saya sangat berharap media arus utama pun bisa sama baiknya dalam membuat narasi yang tidak mendiskreditkan status sosial janda di tengah masyarakat. Semoga tidak ada lagi dominasi patriarkis yang menyelimuti alam pikiran jajaran keredaksian dan manajemen media. Media sebaiknya menjalankan fungsinya untuk turut mendukung kritik sosial atas sistem patriarki sekaligus memproduksi konten yang lebih ramah dan adil gender.

Sebagai anggota dari masyarakat, mari kita bersama mendisrupsi narasi dominan tentang viktimitas terkait status janda dan ibu tunggal! Mari kita tantang paradigma dominan tentang heteronormativitas yang selama ini merasuk dalam gagasan rumah tangga dan keluarga versi tradisional! Selamat Hari Janda Internasional!

 

 

Tags: Ibu TunggalJandaJurnalistikPatriarkisPerempuan BerdayaStigma Janda
Hanifa Paramitha

Hanifa Paramitha

Ibu satu anak, mahasiswa magister ilmu komunikasi Universitas Padjadjaran, kreator konten "Podcast Celoteh Ambu" di Spotify, berminat pada isu perempuan, keluarga, dan gender.

Terkait Posts

Pengalaman Perempuan
Personal

A Letter for 23: Pengalaman Perempuan Menjadi Sehat, Cerdas, dan Berdaya

28 Juli 2025
Erika Carlina
Publik

Dari Erika Carlina Kita Belajar Mendengarkan Tanpa Menghakimi

21 Juli 2025
Merendahkan Perempuan
Publik

Dear Politisi, Tolong Berhenti Melemparkan Guyonan Sok Asik yang Merendahkan Perempuan

22 November 2024
Janda Bahan Candaan
Publik

Dear Para Politisi, Stop Menjadikan Janda sebagai Bahan Candaan

2 November 2024
Feminisasi Kemiskinan
Publik

Menjadi Perempuan Berdaya, Mencegah Feminisasi Kemiskinan

19 Oktober 2024
Pemberdayaan Perempuan
Personal

Pemberdayaan Perempuan di Era Modern

17 Juli 2024
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Arti Kemerdekaan

    Arti Kemerdekaan bagi Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Merawat Warisan Gus Dur: Konferensi Pemikiran Pertama Digelar Bersama TUNAS GUSDURian

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Kemerdekaan dan Problem Beragama Kita Hari Ini

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dear Bude Soimah, Tolong Perlakukan Pasangan Anak Laki-lakimu Sebagaimana Manusia Seutuhnya

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Inklusi Sosial Penyandang Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Mengapa Orangtua Perlu Sifat Fleksibel dalam Pola Asuh Anak?
  • Menikah atau Menjaga Diri? Menerobos Narasi Lama Demi Masa Depan Remaja
  • Gus Dur Sosok yang Rela Menanggung Luka
  • Hari Kemerdekaan dan Problem Beragama Kita Hari Ini
  • Merawat Warisan Gus Dur: Konferensi Pemikiran Pertama Digelar Bersama TUNAS GUSDURian

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2025 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2025 MUBADALAH.ID