Mubadalah.id – Perkembangan media saat ini merupakan suatu kemajuan dalam peradaban umat manusia dan informasi adalah unsur terpenting untuk bertahan hidup. Setelah sejarah panjangnya, manusia akhirnya mendapatkan kemudahan dalam mengakses beragam informasi; mulai dari masa keemasan media cetak seperti koran, tabloid, pertelevisian, hingga di era telepon pintar seperti sekarang ini; semua informasi kini berada di genggaman kita.
Meskipun semuanya tampak instan dan mudah, namun pada dasarnya media secara bertahap turut memengaruhi perilaku dan kesadaran kita, sebagaimana menurut filsuf sekaligus sosiolog, Harbert Marcuse. Marcuse mengatakan bahwa media punya peran penting dalam memanipulasi kesadaran manusia, yang mana pemanipulasian kesadaran ini akan mengarah pada apa yang dia sebut konsumerisme. Selain itu dia juga menambahkan bahwa media membuat manusia menjadi makhluk satu dimensi, yaitu makhluk yang berada di bawah kekuasaan prinsip teknologi; orang yang diperbudak oleh produk dan berada dalam cengkraman masyarakat konsumsi.
Simulakra di sisi lain merupakan suatu istilah yang dipopulerkan oleh seorang filsuf pascamodern, Jean Baudrillard. Menurut Baudrillard simulakra adalah konstruksi pikiran imajiner manusia atas realitas tanpa menghadirkan realitas itu sendiri secara esensial; tidak ada kondisi yang ‘sebenarnya’ melainkan representasi yang dianggap sebagai realitas. Ia berpendapat bahwa ada suatu konstruksi identitas yang mampu membuat hal-hal yang bersifat abstrak menjadi konkret, dan begitu pula sebaliknya.
Baudrillard menyatakan bahwa di bawah kejayaan era kapitalisme lanjut, mode of production kini telah digantikan oleh mode of consumption. Dalam budaya konsumerisme, misalnya, simulakra dapat memanipulasi seorang konsumen untuk mengekspresikan “indentitasnya” dengan membeli atau mengonsumsi produk atau komoditas sebanyak mungkin yang ditawarkan pasar kapitalis sehingga pembelian barang yang tadinya hanya berdasarkan “kebutuhan” sehari-hari dan tuntutan untuk “bertahan hidup”, kini berubah menjadi pembelian yang didasarkan atas “gaya hidup”.
Salah satu contoh simulakra ini seperti, ketika Anda yang sudah memiliki sebuah tas yang biasanya Anda gunakan untuk menyimpan laptop. Namun karena iklan yang terus memborbardir Anda dengan menampilkan merek tas terbaru – sebut saja A – yang adalah merek tas populer, maka Anda merasa bahwa Anda harus membeli tas tersebut; bukan karena tas Anda sebelumnya rusak, tetapi karena gengsi dan hasrat untuk mengikuti gaya hidup trendi. Meskipun jika dilihat dari segi kegunaan kedua tas tersebut sama, namun karena tuntutan pasar dan gaya hidup Anda merasa perlu untuk membelinya.
Sampai di sini kita dapat menilai bahwa simulakra membuat pergeseran nilai secara signifikan atas suatu barang sehingga masyarakat tidak lagi melihat nilai suatu barang berdasarkan kegunaannya. Nilai utility (kegunaan) suatu produk/barang yang sebelumnya konkret/nyata, kini berbalik menjadi abstrak; sebaliknya, nilai barang yang seharusnya abstrak (untuk gaya/gengsi), kini berubah menjadi konkret; Barang yang tadinya digunakan atas dasar kebutuhan hidup sehari-hari, kini digunakan untuk mendapatkan status sosial di mata masyarakat dalam konteks gaya hidup.
Namun ini belum selesai. Bagi Baudrillard, hal di atas diperparah dengan gaya hidup yang menghambakan diri pada pencitraan. Para kapitalis sukses membuat individu mengalami kecanduan pada produk-produk mereka, sehingga komoditas yang dikonsumsi masyarakat bukan lagi karena zat atau esensinya, namun lebih kepada hal-hal yang sifatnya simbolik. Di sini lah Baudrillard menggunakan pendekatan semiologinya.
Nilai Tanda
Karl Marx mengategorikan produk atau barang berdasarkan dua hal yaitu: nilai gunanya dan nilai tukarnya. Baudrillard kemudian memperbaharui gagasan tersebut dengan menambahkan teori nilai yang di utarakan Marx sebagai “nilai tanda”. Menurut Baudrillard, saat ini, fungsi utama objek-objek konsumsi bukanlah pada kegunaan atau manfaatnya, melainkan lebih pada fungsinya sebagai nilai-tanda atau nilai-simbol yang disebarluaskan melalui iklan-iklan gaya hidup berbagai media. Teori semiologi Baudrillard ini menggambarkan bahwa overproduksi nilai tanda yang dilakukan para kapitalis dalam bentuk visual atau gambar membuat suatu objek kehilangan maknanya.
Nilai tanda adalah suatu barang yang dibentuk dari pola simulakra yang menampilkan komoditasnya dengan pencitraan yang sedimikian rupa sehingga seseorang akan lebih tertarik pada seberapa terpujinya atau terkenalnya komoditas tersebut di mata masyarakat alih-alih melihat seberapa bergunanya komoditas tersebut bagi dirinya sendiri. Dengan kata lain, objek-objek konsumsi kini telah menjelma menjadi seperangkat sistem klasifikasi status, prestise bahkan tingkah laku masyarakat.
Baudrillard menilai bahwa nilai tanda/simbolik komoditas merupakan sumber penindasan yang sesungguhnya dari kapitalisme atas masyarakat dengan menampilkan dirinya dalam citra, bentuk, atau gaya baru yang lebih menarik dan membuat seseorang mengalami kesenangan atau kepuasan semu tanpa menyadari bahwa dirinya sedang ditindas. Harbet Marcuse menyebut hal ini sebagai sistem pembentukan kebutuhan palsu. Sementara sosiolog Arthur Berger menyebutnya sebagai culture code, di mana terdapat struktur rahasia yang membentuk perilaku dan kesadaran kita sehingga membuat kita mudah didikte oleh objek atau komoditas.
Jelasnya, dengan adanya nilai tanda ini, kapitalisme berhasil memaksa masyarakat untuk mengikuti pola hidup yang sesuai dengan apa yang mereka produksi demi keuntungan mereka. Pada akhirnya, pola simulakra dalam menyokong konsumerisme, menurut Baudrillard, memunculkan paradigma baru di mana kita dituntut untuk terus-menerus mengonsumsi agar merasa ‘hidup’. Olehnya slogan yang mungkin dapat mewakili budaya ini adalah “aku mengkonsumsi maka aku ada”; karena simulakra membuat masyarakat rela berjuang mati-matian demi mendapatkan komoditas tertentu agar menaikan status dan citra mereka di mata masyarakat.
Sebagai penutup, kita sebagai masyarakat harus lebih kritis lagi menyikapi kemajuan teknologi dan media. Meskipun arus informasi menjadi lebih mudah jika dibandingkan beberapa dekade sebelumnya, namun banjir informasi akan membuat kita kesulitan dalam memetakan nilai-nilai terpenting dalam hidup kita termasuk dalam membedakan yang nyata dan yang tidak di dalam kehidupan kita sehari-hari. Pemikiran Baudrillard tentang sisi-sisi kebudayaan pascamodern dewasa ini setidaknya telah memberikan sedikit pencerahan, terutama dalam filsafat dan studi kebudayaan (cultural studies). Pemikiran-pemikirannya sangat berguna terutama sebagai upaya untuk memahami realitas kebudayaan dewasa ini yang semakin kompleks dan berubah cepat.
Tulisan ini telah diterbitkan sebelumnya di Sophia Institute dari artikel asli yang berjudul “Jean Baudrillard: Media, Simulakra, dan Konsumerisme” yang di terbitkan kembali atas izin penulis dan penerbit.
- Biosentrisme: Bukti Menunjukkan Kematian Bukanlah Akhir?
- Sebuah Reflektif: Saya dan Nietzsche
- Akar Rasis Pemutihan Kulit dan Pengkondisian Budaya Ratusan Tahun
- Masalah Persetujuan: Apakah Seorang Anak Berutang Kepada Orang Tuanya?
- Kritik Pemikiran Lukman Thahir: Antara Filsafat dan Pseudoscience
- David Hume: Apakah Kausalitas Itu Tidak Nyata?
- Jean Baudrillard: Media, Simulakra, dan Konsumerisme
- Sebuah Kritik: Memperdebatkan Kebenaran Agama
- Sebagai Omong Kosong
- Ibn Arabi dan Kosmologi Gender Laki-Laki dan Perempuan
- Mengapa Payudara Perempuan Masih Menjadi Objek Tabu?
- Merefleksikan Kembali Konflik Antara Filsafat dan Sains