Mubadalah.id – Salingers bisa saja bosan atau sudah sangat paham tentang hal-hal yang berkaitan dengan perempuan pekerja, dan yang mengerti pasti sudah mempraktikkan dalam kehidupannya, sehingga isu tentang perempuan dilarang bekerja bisa saja menjadi isu yang usang. Toh zaman sekarang ini perempuan hampir ada di setiap sektor jenis pekerjaan.
Yupz, kita bisa menemukan pekerja perempuan di mana saja, dan jumlahnya memang sangat banyak, namun yang luput dari kita, ternyata pada realitanya, masih banyak pula perempuan yang terkungkung dalam doktrin agama yang tidak tepat, doktrin yang melarang mereka untuk bekerja mencari nafkah. Doktrin ini yang justru membuat hubungan pasutri tidak harmonis, mengakibatkan kerugian psikis yang berkepanjangan, dan tidak memberikan kemaslahatan apapun. Tidak saja untuk perempuan, tetapi juga untuk orang-orang yang kita sayangi.
Jumlah pekerja perempuan yang banyak di berbagai lini pekerjaan tidak dapat menjadi barometer bahwa perempuan di sekeliling kita sudah sepenuhnya merdeka. Masih banyak saudari-saudari kita yang tertekan batinnya dan tidak tenang hidupnya. Coba deh sesekali kita renungkan siapa saja orang-orang terdekat kita yang sedang mengalaminya. Termasuk seorang teman yang pagi buta mengirim pesan teks kepada Mamakku dengan mengadukan segala kebutuhan materinya sebagai prolog untuk memohon bantuan pinjaman.
Doktrin Perempuan Dilarang Bekerja Awal Petaka
Perempuan dilarang bekerja, yang suaminya berlakukan adalah malapetaka dalam kehidupannya. Ia yang sebelumnya adalah pekerja dengan banyak aset, harus merelakan kebahagiaan dan ketenangan hidupnya sejak menikah dengan sang suami. Bantuan materi sebesar apapun tidak akan bermanfaat jika relasi bersama pasangannya hanya diisi dengan doktrin-doktrin agama yang tidak sesuai ini tidak diperbaiki.
Ya, doktrin yang bisa saja baik untuk pasangan yang lain namun tidak baik untuk pasangan yang lain. Doktrin yang berisikan kalau perempuan itu tidak perlu bekerja, rida suami adalah rida Tuhan, taat kepada suami adalah kewajiban, surgo neroko kathut. Hal tersebut ok-ok saja jikalau suaminya adalah laki-laki yang bertanggung jawab dengan dapat memfasilitasi semua kebutuhan sang istri.
Hal ini adalah sebuah privilese yang harus kita syukuri, termasuk bagi perempuan-perempuan yang dapat dengan merdeka menentukan pilihan hidupnya untuk bekerja. Itu juga merupakan keistimewaan yang menyenangkan.
Namun lagi-lagi, tidak semua laki-laki memiliki kesempatan ataupun peluang serupa, seperti contoh kondisi kesehatan mereka yang tidak memungkinkan untuk bekerja, kemampuan yang tidak dapat menghasilkan pendapatan yang dapat mencukupi kebutuhan hajat keluarga, atau bahkan laki-laki yang memiliki kadar tanggung jawab yang sangat kecil atau juga tidak ada, yakni mereka yang selalu menekan pasangan untuk tidak bekerja.
Standar Kemaslahatan Manusia tidak Tunggal
Bahkan diri mereka bahkan tidak memiliki pekerjaan dan bermalas-malasan mencari penghasilan. Kondisi demikian bukanlah sebuah keistimewaan bagi perempuan, melainkan petaka. Oleh karena itu, seperti yang sering dikatakan Bu Nyai Nur Rofi’ah bil Uzm, tidak ada standar kemaslahatan yang tunggal.
Kita harus mempertimbangkan pengalaman-pengalaman perempuan lain untuk menciptakan kemaslahatan-kemaslahatan yang diperlukan oleh mereka. Sehingga, doktrin-doktrin tentang perempuan dilarang bekerja, sejatinya bukanlah doktrin kebaikan yang harus kita sampaikan di depan publik atau jamaah. Melainkan doktrin bersifat individu yang hanya bisa kita diskusikan dan negoisasikan dengan pasangan atau keluarga.
Itupun dengan mempertimbangkan kondisi-kondisi yang ada, karena obat batuk kering tentu tidak akan cocok bagi penderita batuk berdahak, atau udang yang penuh nutrisi tidak akan menjadi maslahat untuk raga jika kau berikan kepada mereka yang alergi terhadapnya.
Kalimat Kiai Faqihuddin Abdul Kodir serasa terpatri dalam memori, bekerja itu baik bagi manusia, laki-laki dan perempuan. Jika ingin bekerja silahkan, jika tidak juga silahkan. Namun bagi masing-masing individu harus dapat memahami kebutuhannya masing-masing dan apa yang terbaik bagi kehidupan mereka.
Sebagaimana yang dikatakan Prof Alwi Shihab dalam Podcastnya, jangan menyakralkan perkataan ulama. Fanatisme buta tidak selamanya memberikan kebaikan, justru kerap menimbulkan kemudaratan jika kita telan mentah-mentah tanpa mengkritisinya.
Kebebasan Perempuan dalam Mencari Nafkah
Tidak perlu pemikiran yang mendalam tentang isu ini. Kita dapat mempelajari tentang bagaimana kebebasan perempuan pencari nafkah melalui hewan ciptaan-Nya. Misal melihat pasangan Pinguin, di mana sang Ayah harus menjaga telur agar tidak terjatuh ke salju. Lalu harus tersimpan di atas kakinya selama 3 bulan sampai menunggu sang betina kembali mencari makanan.
Kita juga bisa meilhat induk Ayam, Bebek, atau Itik sebagai orangtua tunggal yang mengerami, menetaskan, dan membersamai anak-anaknya hingga mampu mencari makan sendiri. Bukan karena laki-laki dalam spesies itu lemah, namun memang kondisi kehidupan mereka yang berbeda. Baik dari segi geografis habitat mereka tinggal, jenis makanan, kondisi fisik biologisnya, dan kemampuan mereka untuk saling mengisi.
Tidak hanya melalui contoh betina pekerja pada hewan, para perempuan di zaman Nabi juga banyak yang bekerja dan memiliki banyak peran sosial kok. Bekerja itu tidak melulu harus di kantor. Lagi-lagi semua bisa kita negoisasikan, bisa dari sawah, bisa melalui komputer, bisa dari rumah. Dan bisa dari mana saja, entah yang terikat maupun tidak terikat waktu.
Isu ini selalu menjadi bahan untuk mengkerdilkan para penulis maupun aktivis saat mengangkatnya. Karena anggapannya menuntut kesetaraan yang sia-sia saja. Pernyataan demikian tidak ada yang perlu kita kritisi, toh semua orang memiliki pengalaman yang mempengaruhi pengetahuannya. Waktu kecil juga saya berpikiran demikian, karena walaupun dalam kondisi pas-pasan, saya selalu berada dalam zona nyaman dalam berbagai aspek, saya memiliki previlise yang orang tua ciptakan.
Gerakan Mubadalah dan Prinsip Perempuan Bekerja
Namun seiring bertambahnya umur dan relasi, saya menyadari bahwa tidak semua perempuan dapat hidup senyaman dan setenang yang kita alami. Sehingga bagiku, memberikan standar terbaik dalam hidup untuk kita iikuti dan mengatasnamakan nash agama kepada publik. Ttentu bukan merupakan hal yang baik.
Namun jika merujuk pada kasus seperti perempuan di atas, dan hal tersebut menimpa orang terdekat, tentu perspektif akan tafsiran agama tentang perempuan dilarang bekerja, sangat berbeda. Gerakan Mubadalah bukanlah gerakan membenci laki-laki, melainkan perjuangan agar laki-laki dan perempuan saling mengisi dalam pemenuhan hajat bersama tanpa ada unsur diskriminasi.
Laki-laki dan perempuan sejak penciptaannya tentulah berbeda. Namun perbedaan tersebut tidak dapat kita jadikan dasar untuk berlaku tidak adil. Atau menjadikan diri lebih tinggi dan superior dari yang lain. Karena baik perempuan maupun laki-laki sejatinya adalah sama-sama manusia yang hanya menghamba kepada-Nya. Maslahat dan madaratnya, hanya masing-masing individu atau pasangan yang dapat mengetahuinya. Bukan melalui perkataan ulama yang belum memiliki pemahaman atas tafsir yang berkeadilan. []