Mubadalah.id – Salah satu dewan penasehat ulama perempuan (KUPI), Buya Husein Muhammad menjelaskan bahwa pernyataan-pernyataan al-Qur’an tentang makna Jihad mendapatkan elaborasi lebih faktual dari Nabi Muhammad saw.
Makna Jihad menurut Nabi Saw, kata Buya Husein, bisa berarti melakukan perjuangan untuk melawan egoisme yang ada dalam setiap diri manusia (jihad al nafs).
Ini juga, lanjut Buya Husein, berarti bahwa perjuangan untuk melawan kelemahan, kecongkakan, dan kesombongan.
Lalu kerakusan dan seluruh potensi yang dapat merusak diri sendiri dan atau merugikan orang lain, adalah juga makna jihad.
Menurut Nabi Saw, jihad al nafs ini justru merupakan jihad yang terbesar, sementara jihad dalam arti perang fisik adalah jihad kecil.
Nabi Saw usai perang fisik mengatakan kepada para sahabatnya :
“Raja’na min al-Jihad al-Ashghar ila al-Jihad al-Akbar” (kita kembali dari perang kecil menuju perang besar).
Fakta-fakta sosial, politik, ekonomi dan budaya dalam segala zaman menunjukkan dengan jelas bahwa kesengsaraan, dan keterpurukan bangsa.
Lalu kezaliman yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat, penyebebanya adalah kerusakan mental manusia, moralitas yang rendah dan spiritualitas yang kosong.
Dari sinilah, maka, Buya Husein menekankan, Jihad juga harus dilancarkan terhadap penguasa dan rezim yang tiranik, yang menindas rakyat, melalui penegakan kebenaran dan keadilan.
Nabi saw menyebut upaya-upaya ini sebagai jihad yang paling utama :
“Afdhal al Jihad Kalimah Haq ‘ind Sulthan Jair” (Jihad paling utama adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim).
Jihad dalam pengertian bekerja dengan sungguh-sungguh pernah Nabi saw sampaikan kepada para sahabatnya.
Ketika mereka berangkat perang (ghazwah), mereka melihat seorang muda yang kekar sedang bekerja di sawah.
Melihat kekekaran tubuhnya, para sahabat berharap agar dia dapat ikut perang bersama mereka. Nabi terusik sambil mengatakan: ”Orang yang bekerja untuk menghidupi keluarganya juga sama dengan Jihad fi sabilillah.” (Rul)