Mubadalah.id – Ruang kelas adalah dunia para siswa, dimana ilmu pengetahuan, kreativitas, karakter, serta nilai-nilai tersampaikan, diolah, dan terserap oleh mereka. Bahkan kenangan masa muda yang penuh warna-warni khas remaja banyak terjadi di ruang kelas. Interaksi antar siswa di ruang kelas pun turut andil membentuk mediasi moderasi beragama, dan kepribadian siswa. Apakah ia tumbuh menjadi pribadi yang toleran, terbuka, dan fleksibel dengan perbedaan suku, agama, serta budaya. Atau sebaliknya.
Sejak pandemi covid-19 makna ruang kelas pun bergeser. Tidak hanya terbatas oleh tembok lagi tapi berpindah di gadget siswa masing-masing melalui cyberspace. Dulu pembalajaran di kelas hanya bisa kita lakukan tatap muka. Sekarang berkat perkembangan teknologi hambatan ruang (spatial barries) bisa kita hilangkan. Siswa bisa mengakses video pembelajaran secara mandiri lewat berbagai situs web dan aplikasi.
Ruang pembelajaran yang semakin luas dan tanpa batas rupanya juga berbanding lurus dengan beraneka ragam problema yang muncul. Hoax, penipuan, perjudian, perundungan siber, pelecehan online (cyber harassment), memperdaya (cyber-grooming). Lalu penyebaran konten intim non-konsensual (malicious distribution), ujaran kebencian, radikalisme, ekstremisme, serta intoleransi adalah tantangan di ruang digital.
Keterbukaan di ruang digital yang bisa terakses oleh siapa saja menyebabkan banyaknya konten yang melenceng dari norma sosial masyarakat. Termasuk konten ceramah atau narasi keagamaan yang tanpa kontrol.
Mengenal Konsep Wasathiyah
Segala sesuatu yang berlebihan tidak baik, maka sikap moderat dalam beragama kita perlukan dalam hidup bermasyarakat, yang artinya memilih jalan tengah di antara dua kutub ekstrem dan tidak berlebih-lebihan. Dalam agama Islam kita kenal dengan konsep wasathiyah, agama Kristen mengenalnya sebagai golden mean.
Lalu agama Budha menyebutnya majjhima patipada, agama Hindu dengan madyahamika, dan agama Konghuchu dengan konsep zhong young. Kelima konsep tersebut maknanya sama yakni memilih jalan tengah dan merupakan tangga awal untuk menumbuhkan toleransi antar umat beragama atau lazim kita kenal sekarang dengan moderasi beragama.
Moderasi beragama akan membentuk orang memiliki karakter kebijaksanaan (wisdom), ketulusan (purity), dan keberanian (courage). Jadi siswa yang memiliki sikap moderat dalam beragama mempunyai pikiran yang tebuka dan mampu menempatkan diri secara fleksibel. Yakni berada di tengah-tengah antara kebijakan dunia dan ketentuan agama.
Namun sikap tersebut akan lebih mudah kita wujudkan apabila seseorang memiliki pengetahuan agama yang luas dan memadai. Untuk menyemaikan nilai moderasi beragama lebih luas, maka di era digital seperti sekarang perlu memanfaatkan platform media sosial.
Menyebarkan Nilai Moderasi Beragama Melalui Media Sosial
Melansir dari data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2019 43% dari 270 juta orang di Indonesia telah memiliki akses ke internet. Lebih dari 25% atau seperempat pengguna internet adalah anak-anak dan remaja dengan rentang usia 5-24 tahun.
Ulasan dari wawancara yang UNICEF (2020) adakan di Kamboja, Indonesia, dan Thailand menyatakan bahwa banyak anak-anak menggunakan lebih dari satu akun media sosial untuk hiburan, komunikasi, dan pendidikan. Tidak hanya konsumen, sebagian dari mereka juga turut memproduksi konten untuk berbagai platform media sosial. Jadi media sosial bisa menjadi wadah untuk menyebarkan nilai-nilai dari moderasi beragama ke ruang publik.
Namun sebelum melangkah lebih jauh untuk membentuk siswa memiliki sikap moderat dalam beragama di ruang digital, perlu kita perbaiki dulu literasi dan kesiapan dalam berinternet. Menurut Economist Intelligence Unit (2020) Indonesia menduduki peringkat ke-61 dari 100 negara untuk tingkat pendidikan dan kesiapan menggunakan internet. Peringkat tersebut lebih rendah dari negara tetangga Singapura dan Malaysia, yang menduduki peringkat 22 dan 33.
Teori pemikiran sistem tentang paradigma ilmu pengetahuan dan kehidupan yang tercetuskan oleh fisikawan bernama Fritjof Capra menjawab permasalahan ini. Semakin dalam suatu permasalahan kita telusuri, ternyata saling terhubung dan bergantung satu sama lain dengan aspek kehidupan.
Pertumbuhan penggunaan internet di Indonesia yang besar karena tidak kita barengi dengan kemampuan literasi digital. Literasi digital adalah kemampuan untuk memahami, mengevaluasi, dan menggunakan informasi yang kita dapat dari sumber digital dengan penuh tanggung jawab.
Bekal Literasi Digital
Tanpa bekal literasi digital yang baik, maka konten di media sosial akan terpenuhi oleh ujaran kebencian, intoleren, dan radikalisme yang bertolak belakang dengan nilai-nilai moderasi agama.
Miskonsepsi atau kesalahan tafsir dengan apa yang kita baca/lihat juga rentan menjadi pemicu munculnya perseteruan di ruang digital. Seperti kasus cuplikan video ceramah yang terpotong dan diedit dengan mengabaikan konteks isinya. Kemudian mereka bagikan di media sosial untuk tujuan tertentu. Rupanya banyak pengguna media sosial yang tidak melakukan proses check and recheck dan mengamini saja isi dari video ceramah yang sudah diedit tersebut.
Selaras dengan apa yang terjadi di ruang digital saat ini, berdasarkan survei dari PISA (Programme for International Students Assessment) 2018 yang dilakukan kepada siswa Indonesia berusia lima belas tahun menunjukkan hasil yang kurang memuaskan. Indonesia menduduki posisi ke-71 dari 79 negara. Permasalahan literasi yang rendah dan keterampilan berpikir kritis yang minim menjadi tanggung jawab bersama baik guru, orangtua, maupun pemerintah.
Permendikbud Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah mengatur tentang proses belajar untuk melibatkan kegiatan seperti mengamati, mempertanyakan, dan menganalisis, yang mana semuanya adalah inti dari keterampilan berpikir kritis.
Merdeka Belajar Guru dan Siswa
Berangkat dari inilah guru harus mampu mengajak siswanya menyelam ke dalam literasi digital untuk menyemaikan nilai-nilai dari moderasi beragama. Apalagi dalam Kurikulum Merdeka guru bebas untuk menyusun dan mengembangkan sendiri metode pembelajaran yang bisa tersesuaikan dengan kebutuhan para siswa secara kreatif.
Dari ruang kelas lah peluang untuk membentuk karakter manusia yang moderat, berpikiran terbuka dan toleran terbuka lebar. Guru harus mampu memanfaatkan peluang ini, agar pipa-pipa yang menyuarakan pentingnya moderasi digital di ruang publik melalui media sosial semakin banyak. Namun guru juga perlu memberikan pemahaman bagaimana beretika di media digital. Seperti yang diungkapkan Fritjof Capra, etika dan nilai tidak boleh dilupakan dalam menyelesaikan suatu permasalahan.
Perlu kita ketahui dalam dunia digital yang tanpa batas ruang dan waktu ini, pengguna internet berasal dari beragam budaya, kelompok usia, latar pendidikan dan tingkat kompetensi. Siapa saja bisa duduk di satu ruangan yang sama. Jadi jurang perbedaan dan gesekan tentu saja terbuka lebar.
Bahkan kita dapatkan laporan dari Digital Incivility Index 2021 yang menempatkan Indonesia pada posisi paling rendah. Artinya, tingkat ketidaksopanan pengguna internet Indonesia paling tinggi di kawasan Asia Tenggara.
Inilah yang perlu kita tanamkan di ruang-ruang kelas agar siswa terbentuk karakter sesuai Etika Digital. Para siswa dalam menyebarluaskan konten-konten tentang moderasi beragama melalui platform media sosial (instagram, tiktok, youtube, dan facebook) perlu memiliki kecakapan etis beretika digital. Sehingga tantangan yang kita hadapi agama-agama besar seperti ekstremisme, radikalisme, intoleransi, ekslusivisme bisa kita hindari.
Ruang kelas adalah tempat mencetak generasi penerus bangsa seperti apa yang kita inginkan. Sekaligus tempat bersiap untuk menjejaki kehidupan yang sebenarnya. Setelah keluar dari ruang kelas menuju ruang publik, harapannya siswa memiliki sikap moderat dalam beragama. Sehingga tidak egois dan bijaksana dalam memahami tafsir kebenaran diri sendiri dan tafsir kebenaran orang lain. []