Mubadalah.id – Salah satu ketua Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (MM KUPI), Nyai Hj. Badriyah Fayumi, Lc. MA menjelaskan bahwa untuk menjaga agar kesenjangan yang berpotensi menjadi petaka perkawinan tak terjadi, Islam memiliki konsep kaffah (kesetaraan) yang dimulai dari memilih calon pasangan.
Secara hukum kaffah, kata Bu Nyai Badriyah, bukanlah syarat sah sebuah pernikahan, melainkan hal yang sangat penting untuk menjaga kelestarian pernikahan.
Kaffah secara harfiyah juga, menurut dia, memiliki arti kesamaan dan kesetaraan.
Dalam fikih Malilikiyah kaffah memiliki arti sebagai kesetaraan suami istri dalam agama dan keadaan-keadaan yang memungkinkan terjadinya khiyarul ulama, kaffah meliputi agama, nasab, kerupawanan dan status kemerdekaan (istri orang merdeka dan suami bukan budak).
Fikih Hanafiyah dan Hambaliyah menambah kesetaraan dalam harta.
Kesetaraan dalam pandangan Islam tidak menafikan hal-hal yang bersifat material dan sosial, namun tidak menjadikan hak itu sebagai yang terpenting.
Dalam hadits riwayat tujuh Imam dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda:
تنكح المراْة لاْربع لما لها ولحسبها وجمالها ولدينها فاطفر بدْات الدين تربت يداك
Artinya : “Perempuan dinikahi karena empat hal: hartanya, kedudukanya,sosialnya, kerupawanannya dan agamanya. Pilihlah yang memiliki agama (yang baik) maka, kamu akan berbahagia.”
Hadits ini, kata Bu Nyai Badriyah, meski redaksinya untuk laki-laki, sebetulnya juga berlaku bagi perempuan.
Dalam fikih kaffah, Bu Nyai Badriyah menyebutkan, justru sangat perlu menjadi pertimbangkan oleh pihak perempuan dan walinya agar perkawinan bisa langgeng. Sebab, ketidak setaraan bisa memicu disharmoni.
Pada masa Nabi Saw, hal ini juga terjadi. Zainab binti Jahsy, sepupu Nabi menikah dengan Zaid bin Harisyah yang budak, sekalipun Zaid orang yang bagus agama dan akhlaknya. Pernikahan ini pun berakhir dengan perceraian. Zainab kemudian menikah dengan Nabi Saw. (Rul)