Mubadalah.id – Narasi tentang mother earth yang biasa diterjemahkan menjadi ibu bumi, sudah ada semenjak lama dalam berbagai literature dari beragam budaya dunia. Dalam tradisi nusantara, terdapat istilah “ibu pertiwi” yang merujuk pada makna bumi sebagai tempat hidup, tumbuh, serta berlindung. Layaknya seorang ibu yang mengasihi anak-anaknya, bumi juga memberikan hampir seluruh kebutuhan manusia sejak lahir hingga meninggal dunia.
Dalam kebudayaan Yunani Kuno, kita kenal istilah Dewi Gaia. Sementara menurut kepercayaan Hindu, terdapat Dewi Bhumi. Dua tradisi tersebut secara lebih gamblang menggunakan sebutan “dewi” yang dalam bahasa Sansekerta bernama “devi” dan mempunyai makna ratu, dewa wanita, putri, dan yang mulia. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah dalam kajian keislaman juga terdapat konsep ibu bumi (mother earth)?
Penyebutan bumi (earth) dalam bahasa Arab juga dengan ardh. Secara gramatikal, lafazh ardh sendiri terkategorikan sebagai kata muannats (perempuan), sehingga menggunakan kata ganti (dhomir) hiya untuk munfashil, dan haa untuk muttashil.
Kata ardh dan derivasinya Al-Qur’an gunakan sebanyak 279 kali dalam bentuk ma’rifat dengan variasi bentuk berupa lafazh al-ardh, ardhuLlah, dan ardhu yang berkedudukan sebagai munada mufrad ma’rifat, sementara dalam bentuk nakirah 1 kali dengan lafazh ardhin.
Tafsir tentang ayat “ibu bumi”
Di antara sekian banyak ayat tersebut, yang secara implisit berhubungan dengan konsep mother earth ialah surat Hud ayat 61. Adapun maksud ayat ini adalah sebagai berikut:
… هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَاسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُجِيبٌ (61)
“…Dia telah menciptakan kalian dari bumi dan menjadikan kalian pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku sangat dekat (rahmat-Nya) dan memperkenankan (doa hamba-Nya).”
Kedekatan makna “ardh” sebagai ibu bumi (mother earth) semakin nampak jelas apabila kita membaca Tafsir Ibnu Katsir. Penjelasan Imam Ibnu Katsir dalam menguraikan makna surat Hud ayat 61 tersebut dapat kita lihat sebagaimana narasi berikut:
هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الأرْضِ أي: ابتدأ خلقكم منها، )من الأرض التي( خلق منها أباكم آدم
“Makna ayat ‘Dia telah menciptakan kalian dari bumi’ yaitu Allah memulai penciptaan kalian dari bumi (dari saripati tanah) yang dari bumi (saripati tanah) itulah Dia menciptakan ayah kalian, Adam.”
Makna Al-ardh sebagai Penciptaan Manusia
Meski ayat tersebut memakai kata al-ardh sebagai muasal penciptaan manusia. Akan tetapi makna yang paling dekat dengan lafazh tersebut adalah saripati tanah, yang menjadi asal mula Nabi Adam tercipta. Namun, perlu kita ingat, secara esensinya, tanah merupakan unsur utama dalam bumi. Sehingga secara tidak langsung, bisa kita katakan bahwa Nabi Adam Allah ciptakan dari bumi.
Ulasan lebih gamblang mengenai makna “ardh” sebagai ibu bumi dalam surat Hud ayat 61 di atas Imam Fakhruddin Ar-Razi sampaikan dalam Tafsir Mafatih Al-Ghaib (juz 8, hlm. 431). Imam Ar-Razi menjelaskan dengan redaksi:
أن الكل مخلوقون من صلب آدم، وهو كان مخلوقاً من الأرض. وأقول: هذا صحيح لكن فيه وجه آخر وهو أقرب منه، وذلك لأن الإنسان مخلوق من المني ومن دم الطمث، والمني إنما تولد من الدم، فالإنسان مخلوق من الدم، والدم إنما تولد من الأغذية، وهذه الأغذية إما حيوانية وإما نباتية، والحيوانات حالها كحال الإنسان، فوجب انتهاء الكل إلى النبات وظاهر أن تولد النبات من الأرض، فثبت أنه تعالى أنشأنا من الأرض.
“Setiap manusia tercipta dari tulang sulbi Adam, sementara Adam diciptakan dari bumi (saripati tanah). Saya berpendapat, hal ini memang betul, namun terdapat sudut pandang lain yang lebih tepat, yaitu manusia tercipta dari mani dan dari darah haid. Mani sendiri pada dasarnya diproduksi oleh (tubuh manusia yang mayoritas dialiri) darah. Maka, bisa dikatakan, bahwa manusia itu diciptakan dari darah. Sementara itu, darah tercipta dari makanan-makanan yang dikonsumsi, baik yang berasal dari hewan maupun tumbuhan. Status hewan mirip seperti manusia (yang sama-sama mengonsumsi makanan untuk metabolisme tubuh, termasuk memproduksi darah dan zat-zat lain). Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa semuanya bersumber dari tumbuhan, sedangkan tumbuhan itu sendiri tumbuh dari bumi. Dengan demikian, jelaslah makna ayat bahwa Allah SWT menciptakan kita dari bumi.”
Pemaparan dari dua mufassir tersebut mengindikasikan bahwa kesadaran para ulama akan posisi bumi sebagai unsur utama penyokong kehidupan manusia, telah ada sejak lama, jauh sebelum terjadinya degradasi lingkungan. Bahkan, dalam narasi Imam Fakhruddin Ar-Razi, terdapat korelasi yang erat antara bumi, tanaman, dan manusia. Bumi menjadi “ibu”, tempat tersemainya sumber pangan, yang kemudian menyebabkan manusia dapat hidup dan tumbuh berkecukupan. []