Mubadalah.id – Pada 25 Agustus lalu, sutradara Angga Dwimas Sasongko kembali menggebrak dunia perfilman tanah air dengan karya drama baru berjudul “Mencuri Raden Saleh”, yang bercerita tentang aksi perampokan sekelompok anak muda yang nihil pengalaman namun nekat mencuri dengan iming-iming sejumlah uang.
Berbeda dengan film-film Indonesia dengan topik sama. Fokus barang curian kali ini berupa barang lukisan cagar budaya “Penangkapan Pangeran Diponegoro “yang dibuat maestro kawakan Indonesia, Raden Saleh.
Raden Saleh dan Politik Seni Perlawanan
Berbicara seni lukis di Indonesia, nama Raden Saleh tentu tidak asing lagi. Pelukis dengan nama lengkap Raden Saleh Syarif Bustaman ini mempunyai gaya lukis dan tema serta obyek yang amat beragam. Bahkan pada zamannya, ia disebut-sebut sebagai pelopor seni lukis modern Indonesia.
Tak hanya mampu berkarya dengan aliran naturalis romantis. Yaitu aliran yang memvisualisasikan bentuk aslinya dan mengandung cerita dahsyat, emosional, penuh gerak, menyentuh perasaan dan terkesan hidup. Ciri romantisme muncul dalam lukisan-lukisan Raden Saleh juga mengandung paradoks, atau menentang banyak hal yang terkadang sudah terlanjur diyakini oleh masyarakat setempat, termasuk bagaimana ia melukis dengan cara berbeda ketika menggambarkan bagaimana Pangeran Diponegoro ditangkap (Endriawan, 2020).
Perlu kita ketahui, sebelum Raden Saleh, seniman pertama yang mengangkat tema sama adalah Nicolaas Pieneman dalam lukisan berjudul “Penyerahan Pangeran Diponegoro kepada Jenderal De Kock” (1830-1835). Gambar yang Nicolaas buat dengan apa yang Raden Saleh ilustrasikan amatlah berbeda.
Lukisan Diponegoro
Pada karya Nicolaas, terlihat jelas bahwa Diponegoro berdiri di sebelah de Kock. Yakni di tangga sebuah rumah kolonial, dan dikelilingi oleh perwira Belanda. Lalu di sekitarnya amat banyak orang Jawa yang mereka lucuti dan menyerah takluk pada kekuasaan Belanda. Pelukis asal negeri kincir angin itu juga menggambarkan pada saat itu posisi Belanda sangat kuat. Sehingga banyak warga pribumi yang tak berkutik dan hanya bisa menuruti apa kemauan mereka.
Kekuasaan kolonial dan ketidakberdayaan warga negara jajahan itu ia simbolkan dengan gambaran sosok orang-orang Belanda yang menduduki dan berdiri lebih tinggi dari orang-orang lokal. Bahkan ada satu gambar yang memperlihatkan pimpinan kompeni menunjuk lantang ke arah atas, pertanda bahwa mereka diposisikan lebih tinggi derajat dan kuasanya.
Hal tersebut berbeda dengan orang-orang lokal yang tampak lunglai, dan sebagian dari mereka ada di posisi menunduk, menyembah kalah serta tampak menyerah pasrah pada apapun yang pihak penjajah sampaikan.
Tidak terima akan penggambaran kolonialisme Belanda dalam memandang peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro, Raden Saleh mereka ulang peristiwa bersejarah tadi dengan ilustrasi yang penuh cahaya fajar, tak lagi gelap dan kelam seperti yang dilukis oleh Pieneman. Ia juga menggambarkan Diponegoro dan de Kock sejajar dengan latar fajar hari baru, sehingga mengisyaratkan, menurut para kritikus, pembebasan masa depan Jawa dari kolonialisme (Kraus, 2005).
Diponegoro berdiri di depan de Kock dalam pose menantang. Ppada tingkat yang sama, saling berhadapan sebagai manifestasi dari fakta bahwa orang Jawa sejajar dengan orang Belanda. Letnan jenderal tergambarkan tidak simetris, kepalanya agak lebih besar. Banyak yang menilai ukuran tersebut Raden Saleh sengaja sebagai caranya menonjolkan sikap angkuh sang kompeni.
Karya Fenomenal Raden Saleh
Pada karya fenomenal itu, Diponegoro ia lukiskan tampak berjuang untuk menahan perasaannya, seperti yang menjadi harapan dari seorang priyayi. Tetapi wajahnya masih penuh kemarahan dan penghinaan. Bahasa tubuh Diponegoro, khususnya sikap tegas yang ia padukan dengan dagu yang terangkat dan dada yang membusung, menunjukkan bahwa ia tak takut pada Belanda.
Di dekatnya, di sisi kiri de Kok, terlihat sekelompok perwira Belanda, di antaranya sejarawan seni mengidentifikasikannya sebagai Kolonel Louis du Perr, Letnan Kolonel V. A. Rust, Ajudan Mayor François Vincent Henri Antoine de Stuers (Carey, 1982).
Satu hal yang menarik. Meski melawan narasi kompeni, Raden Saleh berani secara pribadi untuk menyerahkan karyanya kepada Raja Willem III dari Belanda. Di satu sisi, Belanda menerima interpretasi baru Saleh dalam menggambarkan peristiwa penting itu.
Lalu, pada tahun-tahun berikutnya, lukisan karya Raden Saleh tersebut mereka simpan di Istana Het Loo, Den Haag. Hingga akhirnya pada tahun 1978, lukisan itu ia sumbangkan kepada pemerintah Indonesia yang sudah merdeka, yang selanjutnya diputuskan untuk dipamerkan di Museum Nasional Indonesia dan Istana Kepresidenan di Jakarta.
Kini lukisan tersebut menjadi koleksi Museum Kepresidenan dan masih kita kenang sebagai manifestasi politik perlawanan kolonialisme melalui jalur seni. []