Mubadalah.id – Beberapa waktu kemarin, saya mengikuti webinar series dengan pembicara seorang mahasiswi Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia, Stella Anjani. Yang sangat menarik perhatian dari webinar ini adalah topik pembahasannya yang ter-highlight pada flyer, Apakah Relasi Setara Sungguh Ada?
Pada awal diskusi, Stella memberikan contoh beberapa pasangan untuk memantik gambaran relasi setara. Mulai dari pasangan yang seumuran, laki-laki yang lebih tua dari perempuan, pun sebaliknya laki-laki yang lebih muda dari pasangannya. Ternyata, menentukan relasi setara tidak bisa hanya kita ukur dari faktor usia saja.
Menilai kesetaraan dalam sebuah relasi sepatutnya memahami terlebih dahulu arti dari kata “setara”. Dalam pemaparannya, Stella menjelaskan bahwa setara tidak berarti sama rata. Hal ini dikarenakan kesetaraan erat kaitannya dengan kekuasaan (power) dan kendali (control). Latar belakang individu juga dapat mempengaruhi seseorang untuk dapat berkuasa dan memiliki kendali atas sesuatu atau orang lain.
Khususnya dalam relasi intim dengan pasangan, membutuhkan waktu dan proses yang tidak singkat untuk benar-benar mewujudkan relasi setara. Karena akan melewati diskusi yang panjang untuk dapat berkompromi membahas apa yang adil bagi kedua pihak.
Kesetaraan dan Keadilan
Dalam memahami keadilan, kebanyakan orang fokus terhadap pembagian peran kerja rumah tangga, biaya pengeluaran atau kesempatan berkarir maupun berkarya. Misalnya, suami mencuci piring sedangkan istri memasak, suami mengurus pengeluaran gaji karyawan sedangkan istri mengurus pengeluaran bahan pokok, atau istri bekerja kembali saat anak sudah berusia 4 tahun sedangkan suami bekerja setelah jatah cuti untuk menemani istri melahirkan selesai.
Secara prinsipnya, contoh di atas terlihat menandakan relasi setara. Namun, pembagian peran tersebut juga sebenarnya menimbulkan cela. Ketika peran suami dalam ranah domestik hanyalah mencuci piring dan melimpahkan tugas memasak kepada istri, maka suami tidak akan punya keterampilan memasak. Jika istri sakit, suami akan kewalahan untuk menyediakan makanan di rumah.
Saat suaminya tidak ada, istri juga akan kewalahan mengurus pengeluaran gaji karyawan, karena keterampilan manajerial yang ia urus hanya untuk pengeluaran bahan pokok saja. Istri yang sempat terhenti masa karirnya, karena mengurus anak lebih lama, mendapatkan peluang kenaikan jabatan atau eksplorasi potensi dalam pekerjaan lebih sedikit.
Pembagian Peran
Oleh karenanya, pembagian peran juga bukan faktor mutlak terwujudnya relasi yang setara. Jika pasangan sakit atau tiada, dan kita tidak memiliki keterampilan yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan tersebut, maka sama halnya dengan menggantungkan diri pada pasangan. Padahal, relasi setara menciptakan individu yang berkembang, dan memiliki kuasa serta kontrol penuh atas diri.
Dalam memahami kekuasaan, perlu kita ketahui juga bahwa sifat kuasa ialah dinamis. Stella juga menambahkan bahwa pada dasarnya kekuasaan bisa kita perebutkan, sehingga kedudukan dalam suatu relasi bisa kita seimbangkan. Namun, berdasarkan jenisnya, ada kuasa yang bersifat keseluruhan dan situasional.
Kuasa keseluruhan dapat terjadi ketika sebagian besar keputusan dilimpahkan pada satu orang yang dominan, sedangkan orang lain hanya sebagai ‘penumpang’. Dominasi kekuasaan seperti ini rentan menimbulkan kebencian atas satu orang terhadap lainnya, karena hanya satu orang yang terus menerus membuat keputusan.
Sedangkan kuasa situasional di mana tiap individu memiliki otoritas pada bidangnya masing-masing, sehingga ia dapat melakukan yang terbaik atas apa yang menjadi tanggung jawabnya. Namun, hal ini juga terdapat sisi lemahnya. Di mana tidak ada peningkatan keahlian pada bidang lainnya. Dalam hal ini ialah dampak dari pembagian peran.
Belum lagi identitas yang melekat pada tiap-tiap individu, seperti gender, suku, kelas sosial, pendidikan, agama, warna kulit, identitas gender, dan masih banyak identitas lainnya, dapat mempengaruhi posisi seseorang di relasi intimnya dengan pasangan.
“Identitas yang seseorang miliki dapat menguatkan atau melemahkan posisinya di masyarakat. Dan hal ini dapat berpengaruh juga dalam perebutan kuasa pada relasi intim,” terang Stella.
Misalnya, seorang laki-laki, suku Jawa, Muslim, berasal dari kelas menangah atas, dan heteroseksual, maka ia akan memiliki lebih besar power, control, juga privilege di masyarakat. Karena ia termasuk kelompok mayoritas di Indonesia, dan yang dianggap ‘ideal’.
Memperjuangkan Relasi Setara
Dari diskusi tersebut, hal menarik lainnya adalah sebuah hasil pemikiran yang mengatakan bahwa relasi setara sebenarnya tidak benar-benar ada. Namun, yang ada ialah upaya untuk memperjuangkan relasi setara.
Setiap individu dengan identitas yang melekat pada diri masing-masing memiliki power dan control tersendiri yang mana bisa bersifat given (pemberian dari Tuhan) atau hasil dari pilihan hidupnya. Tinggal bagaimana hal tersebut digunakan untuk membantu pasangan mewujudkan kesetaraan dalam berelasi, alih-alih mendominasi, menindas bahkan merampas hak orang lain.
Setiap orang punya konsep dan keyakinan masing-masing untuk menentukan kesetaraan yang tentunya berlandaskan keadilan, serta nilai baik dan buruk. Oleh karena itu, dalam memperjuangkan relasi setara, dua individu dengan latar belakang berbeda membutuhkan kompromi dan komunikasi yang baik dari kedua belah pihak. Agar hubungan dapat berjalan dengan sehat. []