• Login
  • Register
Senin, 27 Juni 2022
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hukum Syariat

Apakah Mengasuh Anak Hanya Menjadi Tanggung Jawab Istri dan Mencari Nafkah Hanya Tanggung Jawab Suami?

Mengasuh anak adalah baik dan mulia. Mencari nafkah adalah baik dan mulia. Dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. Ketika mereka menikah, maka yang ideal, baik mengasuh anak maupun mencari nafkah sesungguhnya menjadi tanggung jawab bersama

Faqih Abdul Kodir Faqih Abdul Kodir
11/05/2022
in Hukum Syariat, Rujukan
0
Mengasuh Anak hanya menjadi tanggung jawab istri

Mengasuh Anak hanya menjadi tanggung jawab istri

168
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Mengasuh anak adalah baik dan mulia. Mencari nafkah adalah baik dan mulia. Dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. Ketika mereka menikah, maka yang ideal, baik mengasuh anak maupun mencari nafkah sesungguhnya menjadi tanggung jawab bersama. Mengasuh anak hanya menjadi tanggung jawab istri adalah pandangan yang keliru.

Jika merujuk pada dasar-dasar normatif Islam mengenai mengasuh anak hanya menjadi tanggung jawab istri, jawabannya juga tidak. Karena ayat al-Qur’an dan teks Hadits mengasuh anak maupun mencari dan memenuhi nafkah berlaku untuk laki-laki dan perempuan. Seperti ayat pendidikan keluarga pada surat at-Tahrim (QS. 66: 6) dan hadits Nabi Saw tentang pendidikan kedua orang tua yang akan mempengaruhi agama anak yang awalnya adalah fithrah, atau suci (Sahih Bukhari, no. 1373).

Begitupun hadits-hadits tentang teladan Nabi Saw, sebagai laki-laki, yang mengasuh Hasan ra, Husein ra, dan Ummah ra adalah sangat banyak dan jelas. Nabi Saw bermain dengan mereka, memangku, menggendong, bahkan membawa mereka ke masjid untuk shalat (Sunan Abu Dawud, no. 1111; Sunan at-Turmudzi, no. 4143; Sunan Ibn Majah, no. 3731; Sunan an-Nasai, no. 1424 dan 1149; Musnad Ahmad, no. 16279, 24361 dan 28295).

Beberapa catatan hadits menyebutkan bahwa Nabi Saw pernah shalat dengan tetap menggendong Umamah bint Abu al-‘Ash ra. Ketika beliau sujud, Umamah diletakkan terlebih dahulu, dan ketika mau berdiri digendong lagi (Sahih Bukhari, no. 515; Sahih Muslilm, no. 1240; Sunan Abu Dawud, no. 918; Muwaththa’ Malik, no. 415; dan Musnad Ahmad, no. 22960).

Ayat-ayat dan hadits-hadits tentang bekerja, amal, kasab, infaq dan nafaqah juga sejatinya berlaku umum. Semua teks tentang hal ini menyapa laki-laki dan perempuan. Sebagaimana ayat dan hadits tentang iman, islam, shalat, haji, dan zakat yang menyapa laki-laki dan perempuan. Karena bekerja, menghasilkan uang, dan memenuhi kebutuhan adalah karakter manusia. Ada pada laki-laki dan perempuan. Perempuan yang bekerja dan menafkahi keluarga pada masa Nabi Saw juga menjadi preseden yang tercatat dalam berbagai kitab hadits maupun sejarah.

Baca Juga:

Mengenal 4 Kondisi Paling Penting untuk Anak

Pentingnya Memberikan Dasar Pendidikan Islam bagi Anak-anak

Mengenal 6 Ciri Khas Emosi Anak

Pasangan Suami Istri Diminta untuk Saling Berbuat Baik

عَنْ رَائِطَةَ امْرَأَةِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ وَأُمِّ وَلَدِهِ وَكَانَتِ امْرَأَةً صَنَاعَ الْيَدِ قَالَ فَكَانَتْ تُنْفِقُ عَلَيْهِ وَعَلَى وَلَدِهِ مِنْ صَنْعَتِهَا قَالَتْ فَقُلْتُ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ لَقَدْ شَغَلْتَنِى أَنْتَ وَوَلَدُكَ عَنِ الصَّدَقَةِ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَتَصَدَّقَ مَعَكُمْ بِشَىْءٍ فَقَالَ لَهَا عَبْدُ اللَّهِ وَاللَّهِ مَا أُحِبُّ إِنْ لَمْ يَكُنْ فِى ذَلِكَ أَجْرٌ أَنْ تَفْعَلِى فَأَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى امْرَأَةٌ ذَاتُ صَنْعَةٍ أَبِيعُ مِنْهَا وَلَيْسَ لِى وَلاَ لِوَلَدِى وَلاَ لِزَوْجِى نَفَقَةٌ غَيْرُهَا وَقَدْ شَغَلُونِى عَنِ الصَّدَقَةِ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَتَصَدَّقَ بِشَىْءٍ فَهَلْ لِى مِنْ أَجْرٍ فِيمَا أَنْفَقْتُ قَالَ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنْفِقِى عَلَيْهِمْ فَإِنَّ لَكِ فِى ذَلِكَ أَجْرَ مَا أَنْفَقْتِ عَلَيْهِمْ (مسند أحمد، رقم: 16334).

Dari Raithah ra, istri Abdullah bin Mas’ud dan ibu anaknya, seorang perempuan yang bekerja dengan kerajinan tangan,  hasilnya untuk menafkahi suaminya dan anak-anaknya. Suatu saat dia berkata pada Abdullah bin Mas’ud ra, sang suami: “Kamu dan anakmu membuatku tidak bisa bersedekah (karena hasil kerjaku untuk kalian semua)”. “Aku juga tidak senang jika hal ini tidak membuatmu memperoleh pahala”, jawab suaminya.

Lalu, Raithah mendatangi Rasulullah Saw dan bertanya: “Wahai Rasul, aku perempuan pekerja, dengan membuat sesuatu dan menjualnya, sementara tidak ada nafkah untuk (memenuhi kebutuhan) suami dan anak-anakku (kecuali dari hasil kerjaku). Mereka semua, karena itu, membuatkan tidak bisa ikut bersedekah. Apakah aku memperoleh pahala dengan kerja dan nafkah yang aku berikan?”. Rasulullah Saw menjawabnya:
“Ya, nafkahilah mereka dan kamu memperoleh pahala dari apa yang kamu nafkahkan kepada mereka”. (Musnad Ahmad, no. 16334).

Namun, secara faktual, kultural, dan sosial, terutama pada masa lalu, memang lebih banyak perempuan yang mengasuh anak di rumah dan lebih banyak laki-laki yang mencari nafkah di luar rumah. Pembagian ini, bisa jadi, dimaksudkan agar tatanan keluarga bisa harmonis, saling berbagi dengan tanggung-jawab masing-masing.

Tetapi ketika banyak kondisi sosial, sebagaimana sekarang, yang menuntut perempuan untuk bekerja di luar rumah, atau kondisi yang memaksa laki-laki tidak lagi memiliki kerja, pembagian peran tersebut tidak lagi ideal dan harus diinterpretasikan.

Apalagi pandangan tersebut telah melahirkan diskriminasi, dimana mengasuh anak yang menjadi tanggung jawab perempuan tidak diapresiasi secara faktul dibanding mencari nafkah yang menjadi tanggung jawab laki-laki. Yang mencari nafkah dianggap kepala keluarga, yang selalu memegang keputusan, diikuti, dilayani, dan dihormati.

Sementara yang mengasuh anak, yaitu perempuan, mencari waktu untuk istirahat saja sangat sulit, karena dibarengi juga dengan seluruh pekerjaan rumah tangga yang lain. Diskriminasi ini bertentangan dengan norma dasar Islam.

Karena itu, yang ideal dari sisi dasar norma Islam, sesungguhnhya adalah bahwa setiap kebaikan itu adalah mulia. Ia dikerjakan oleh laki-laki maupun perempuan. Mengasuh anak adalah baik dan mulia. Mencari nafkah adalah baik dan mulia. Dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. Ketika mereka menikah, maka yang ideal, baik mengasuh anak maupun mencari nafkah sesungguhnya menjadi tanggung jawab bersama.

Tanggung jawab bersama ini bukan berarti keduanya harus selalu bersama dan dengan intensitas dan kualitas yang sama, untuk mengasuh dan mencari nafkah. Bukan. Tetapi menjadi komitmen dan perhatian bersama, yang praktiknya bisa disesuaikan dengan kapasitas, kondisi, kesempatan, dan kesepakatan. Bisa jadi bersama-sama, jika memungkinkan.

Namun, terkadang banyak kondisi yang membuat pasangan pasutri harus berbagi. Yang satu mengasuh anak dan yang lain mencari nafkah. Pembagian ini juga baik selama tidak membuahkan diskriminasi dan tidak menutup pembagian peran tersebut dan membakukannya secara final. Lagi-lagi, karena dasar pengasuhan adalah baik dan tanggung-jawab bersama. Begitupun mencari nafkah adalah baik dan tanggung-jawab bersama.

Memang, laki-laki dipanggil duluan untuk bertanggung-jawab mencari nafkah. Karena dalam relasi pernikahan perempuan akan berpotensi hamil, melahirkan, dan menyusui. Sebuah peran reproduksi yang cukup melelahkan  yang harus diimbangi oleh tanggung-jawab suaminya untuk bekerja dan memenuhi kebutuhanya.

Tetapi norma dasarnya adalah mengasuh anak dan mencari nafkah adalah hal mulia dalam Islam. Bisa dilakukan laki-laki dan bisa perempuan. Kedua hal ini, dalam relasi pernikahan, menjadi tanggung-jawab bersama suami dan istri, yang implementasinya disesuaikan dengan keadaan dan kesepakatan. Kondisi perempuan yang hamil, melahirkan, dan menyusui harus diperhatikankan untuk memutuskan siapa berperan apa dalam pengasuhan maupun mencari nafkah.

Perhatian ini diperlukan untuk memastikan tidak ada kekerasan, keburukan, diskriminasi, beban yang tidak seimbang, terutama yang dialami oleh perempuan. Sebaliknya, untuk memastikan tanggung jawab bersama, relasi kesalingan, kerjasama, dan kemitraan dalam pernikahan yang keduanya mengalami sakinah, serta bisa menjadi maslahah (menghadirkan kebaikan), untuk mereka berdua, anak-anak, dan masyarakat, fiddunya wal akhirah. Wallah a’lam. []

Tags: keluargaMengasuh anakorang tuaParenting Islamiperempuan bekerja
Faqih Abdul Kodir

Faqih Abdul Kodir

Faqih Abdul Kodir, biasa disapa Kang Faqih adalah alumni PP Dar al-Tauhid Arjawinangun, salah satu wakil ketua Yayasan Fahmina, dosen di IAIN Syekh Nurjati Cirebon dan ISIF Cirebon. Saat ini dipercaya menjadi Sekretaris ALIMAT, Gerakan keadilan keluarga Indonesia perspektif Islam.

Terkait Posts

Perempuan Haid

Siapa Bilang Perempuan Haid Tidak Lebih Mulia dari yang Suci?

27 Juni 2022
KDRT

6 Cara Penangan saat Menjadi Korban KDRT

24 Juni 2022
tawaf

Rahasia Kehebatan Tawaf saat Ibadah Haji

23 Juni 2022
Membangun Komitmen

6 Cara Membangun Komitmen Bagi Pasangan Suami Istri yang LDR

23 Juni 2022
Kekerasan terhadap anak

Pentingnya Memahami 3 Bentuk Kekerasan Terhadap Anak

23 Juni 2022
Menggabungkan Niat Akikah dan Kurban

Bolehkah Menggabungkan Niat Akikah dan Kurban ?

22 Juni 2022

Discussion about this post

No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Darurat Sampah

    Re Grow Solusi Darurat Sampah Pangan di Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Legenda Malahayati dari Aceh yang Jauh dari Stigma Negatif Janda

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Siapa Bilang Perempuan Haid Tidak Lebih Mulia dari yang Suci?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Makna Wukuf di Arafah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Doa Ketika Wukuf di Arafah Sesuai Anjuran Rasulullah Saw

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Mengenal 4 Kondisi Paling Penting untuk Anak
  • Siapa Bilang Perempuan Haid Tidak Lebih Mulia dari yang Suci?
  • Doa Ketika Sampai di Tempat Tujuan
  • Legenda Malahayati dari Aceh yang Jauh dari Stigma Negatif Janda
  • Doa Ketika Wukuf di Arafah Sesuai Anjuran Rasulullah Saw

Komentar Terbaru

  • Tradisi Haul Sebagai Sarana Memperkuat Solidaritas Sosial pada Kecerdasan Spiritual Menurut Danah Zohar dan Ian Marshal
  • 7 Prinsip dalam Perkawinan dan Keluarga pada 7 Macam Kondisi Perkawinan yang Wajib Dipahami Suami dan Istri
  • Konsep Tahadduts bin Nikmah yang Baik dalam Postingan di Media Sosial - NUTIZEN pada Bermedia Sosial Secara Mubadalah? Why Not?
  • Tasawuf, dan Praktik Keagamaan yang Ramah Perempuan - NUTIZEN pada Mengenang Sufi Perempuan Rabi’ah Al-Adawiyah
  • Doa agar Dijauhkan dari Perilaku Zalim pada Islam Ajarkan untuk Saling Berbuat Baik Kepada Seluruh Umat Manusia
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2021 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Login
  • Sign Up

© 2021 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist