Mubadalah.id – Mbak Prima, seorang sarjana ilmu politik lulusan Universitas Gajah Mada. Dia berpendidikan dan melek literasi. Namun pergulatan hidup telah menutupnya dari ruang lain yang lebih terbuka dan merdeka. Pasangan hidupnya kerap tidak membolehkan dia untuk berinteraksi dengan dunia luar. Karir moncrengnya sebagai pegawai Bank swasta harus terhenti, demi mengikuti keinginan pasangan. Meski itu sangat berat, namun ia mencoba bertahan, demi dua orang buah hati.
Pertahanan Mbak Prima sampai pada batas akhir. Dia tidak bisa lagi mentoleransi kekangan pasangannya. Berpisah adalah jalan terbaik. Dia tidak akan menggantungkan hidupnya kepada orang lain, termasuk pasangan. Untuk itu, ia segera membuka usaha catering dari rumahnya. Usahanya maju, terbukti mampu membiayai kebutuhan hidup bersama 2 orang anak kesayangannya.
Mbak Tami telah 8 tahun meneruskan usaha dagang kelontong di Stasiun Wates. 30 tahun sebelumnya, kios itu telah sang ibu kelola, dan terbukti mampu menghidupi putra-putrinya hingga dewasa dan hidup mandiri. Kios kelontong itu adalah satu-satunya usaha yang mereka miliki, sebagai sumber kehidupan keluarga. Selama itu pula dia merasa tidak melanggar aturan apapun dalam mengelola usaha tersebut.
Penggusuran Lahan
Tahun 2021, pihak manajemen KAI dan Satpol PP Kebapaten Kulonprogo menggusur para pedagang dari lokasi di seputaran Stasiun Wates. Salah satu alasannya, karena lahan merupakan lahan terbuka hijau. Para pedagang melawan keputusan tanpa musyawarah-mufakat itu. Pilihan jalan keluar belum bisa diterima oleh para pedagang. Proses negosiasi dan musyawarah belum menemukan jalan keluar hingga saat ini.
Mbak Novi, seorang guru matemetika di sebuah SMP. Baginya, menjadi guru pelajaran matemetika tidak semata-mata mengajarkan siswa untuk pandai menghitung angka. Melalui pelajaran itu, seorang siswa juga harus mampu menemukan persoalan-persoalan warga di tengah masyarakat. Terutama persoalan akibat praktek dan perilaku yang mendiskriminasi, pelanggaran hukum dan tatanan warga, sehingga bisa menimbulkan ketidakadilan sosial.
Setelah menemukan masalah, para siswa harapannya bisa melakukan analisis hingga menemukan akar masalah tersebut. Termasuk akibat-akibat yang ditimbulkanya. Ilmu matematika, bisa sangat berguna dan memudahkan penggunanya dalam proses melihat suatu masalah dengan lebih cermat. Kemudian menganalisis sebab dan akibatnya dengan lebih tajam.
Ibu Asih, tiba-tiba harus menjadi perempuan penyandang disabilitas. Ia pernah terjatuh, hingga melumpuhkan sebagian fungsi tulang di tubuhnya. Kenyataan tersebut telah menimbulkan prasangka-prasangka baru di dalam diri. Mulai dari cemo’ohan, hingga cap negative, seolah kehadirnya akan menimbulkan kerepotan baru bagi lingkungan sekitarnya.
Pak Gati, jurnalis warga yang sekaligus penghayat. Dia sering dicap sebagai manusia tidak beragama. Banyak prasangka macam-macam disematkan kepada dirinya. Pak Gati, mengasah kemampuan menulisnya karena ingin menjelaskan pandangannya sebagai seorang penghayat. Sebagai manusia, dia tidak pernah berbuat kejahatan yang merugikan orang lain. Hanya karena pilihan keyakinannya sebagai penghayat, ia berhak dirundung? Dia terus mempertanyakan praktek demokrasi yang selama ini ia pahami.
Mereka adalah sekumpulan jurnalis warga, yang memiliki kegelisahan dengan praktik demokrasi di komunitasnya.
Interaksi dengan CSO
Kegelisahan mereka hanya bisa diratapi sendiri. Sulit sekali menemukan ruang dialog, sekedar untuk mendiskusikan masalah. Ruang itu pun tidak mereka temukan di lingkungan pemerintah daerah apalagi dewan perwakilan rakyat. Jikapun ada, mereka sulit menemukan mitra sejajar untuk bisa berdialog.
Perjumpaan dengan CSO (YLKIS, SIGAB, LBH) di Kulonprogo cukup menggemberikan. Mereka sadar, bahwa CSO bukanlah pihak yang bisa menjanjikan jalan keluar. Tetapi, mereka adalah teman diskusi yang bisa bareng-bareng membuka “pintu” dari gudang masalah. Persentuhan dengan komunitas CSO, telah menumbuhkan optimisme baru dalam hidup mereka.
Pergulatan antara komunitas CSO dan jurnalis warga, seolah telah menemukan lampu senter yang mampu menerangi jalan panjang nan gelap. Mereka sadar, tujuan akhir belumlah mereka capai. Namun energi mereka semakin hari semakin bertambah segar, menguatkan batin untuk melangkah maju.
Secara teori, para jurnalis warga mampu memahami makna dan prinsip demokrasi. Tapi, apa yang mereka rasakan saat ini, adalah anomali demokrasi. Ada pengekangan ruang gerak yang hadapi oleh Mbak Prima. Perampasan hak ekonomi yang menimpa Mbak Tami, Ada prasangka negatif yang menimpa Mbak Asih dan Pak Gati. Praktik tersebut telah mencederai demokrasi. Adapun cita-cita Mbak Novi, adalah rintisan jalan panjang dari mimpi indah demokrasi.
Metani Masalah
Pergulatan mereka dengan komunitas CSO, telah mendorong para jurnalis warga untuk bersama-sama belajar, melihat setiap akar masalah dengan cermat. Sepakat, bahwa apa yang menimpa mereka hanyalah akibat dari satu persoalan yang harus mereka bedah.
Proses belajar bersama tersebut, berhasil membuka ruang-ruang diskusi dan perjumpaan dengan berbagai pihak. Mereka bisa saling belajar, mengisi ruang-ruang kosong, baik sendiri maupun bersama-sama. Mulai dari proses membaca berbagai topik, seperti; soal tata aturan terkait masalah penggunaan lahan dan sarana umum.
Soal hak-hak asasi manusia, terutama hak ekonomi, sosial budaya. Tentang prinsip kesalingan dalam membina rumah tangga. Bacaan tentang perlindungan terhadap orang-orang yang memiliki kebutuhan khusus juga tidak luput.
Menjadi Jurnalis Warga
Usaha YLKIS tidak berhenti di situ. Para jurnalis warga telah memiliki pengetahuan dari berbagai media training, workshop, diskusi, serta pergulatan dengan banyak orang. Selanjutnya, YLKIS melatih mereka menulis. Mulai dari menuliskan persoalan di seputar mereka. Dari berbagai peristiwa yang yang telah mereka lihat, dengar, dan rasakan.
YLKIS memiliki energi dan kemampuan cukup baik dalam membimbing para jurnalis warga. Mulai dari belajar menuliskan peristiwa biasa, hingga yang tidak biasa. Terutama, peristiwa ketidakadilan yang berlawanan dan bisa mengancam prinsip demokrasi.
Dari proses panjang itu, kemampuan mereka terus meningkat. Jika sebelumnya mereka hanya mampu menuliskan persoalan pribadi, sekarang sudah bisa menuliskan peristiwa-peristiwa yang tengah dialami orang lain.
Mbak Tami mampu menyampaikan kisah lewat tulisan tentang peristiwa penggusuran pedagang di Stasiun Wates. Mbak Prima berhasil membuat catatan beberapa kejadian perusakan lingkungan akibat aktivitas tambang. Mbak Novi bisa menuliskan pembagian zakat dan sedekah berdasarkan hitung-hitungan yang benar.
Mbak Asih bisa menorehkan tulisan tentang prasangka yang sering para penyandang disabilitas alami. Pak Gati menulis argumen bagus untuk mengkonter dugaan kurang baik yang sering tersematkan kepada para penghayat.
Berbagai tulisan para jurnalis warga tersebut baru sampai pada tahap menyajikan data dan meramaikan wacana publik. Ke depan, diharapkan mampu menggugah kesadaran orang lain. Melalui tulisan-tulisan itu, pemerintah daerah, dewan perwakilan rakyat dan warga lain menjadi lebih mengerti, bahwa mereka sedang menghadapi masalah dalam praktek demokrasi.
Masih perlu proses panjang untuk bisa mencapai cita-cita demokrasi. Yaitu; adanya peningkatan layanan publik, terbukanya ruang dialog, kritik dan kebebasan informasi yang bertanggungjawab. []