Mubadalah.id – Beberapa bulan terakhir, kekerasan di pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan kembali menjadi perbincangan panas di berbagai media nasional. Kasus yang masih menjadi sorotan ialah penganiayaan terhadap seorang santri hingga meninggal dunia di salah satu pesantren di Jawa Timur.
Hingga tulisan ini saya buat, Kasus yang viral semenjak pengacara kondang, Hotman Paris, membuat unggahan video instagram terkait seorang ibu yang mengadukan penganiayaan anaknya tersebut masih dalam proses penyelidikan pihak kepolisian.
Sebenarnya, Kasus kekerasan di pesantren bukanlah hal baru di Indonesia. Di tahun ini saja, kasus kekerasan di pesantren masih sering kita temukan di berita nasional. Kasus 20 santriwati yang dicabuli pimpinan pondok pesantren di Katapang Bandung, kasus santri di pesantren Tangerang yang tewas setelah dikeroyok 12 temannya, kasus pencabulan oleh mas Bechi (anak kandung pengasuh pesantren di Jombang), dan kasus lainnya.
Kasus kekerasan yang terjadi di beberapa pesantren tersebut tentu menimbulkan rasa khawatir, khususnya bagi orang tua atau wali santri. Hal ini bisa kita lihat dari komentar-komentar yang muncul di media, beberapa dari mereka khawatir anaknya dapat menjadi salah satu korban dari kekerasan, atau bahkan menjadi pelaku kekerasan itu sendiri. Ada juga orang tua yang berniat menyekolahkan anaknya di pesantren yang menjadi ragu setelah adanya berbagai kasus-kasus tersebut.
Pesantren Bukan Pelaku Kekerasan
Sebelum terlalu jauh, tulisan ini tidak bermaksud menyudutkan atau menjelek-jelekan pesantren manapun. Sebagai alumni pesantren, bagi saya pondok pesantren masih menjadi salah satu lembaga pendidikan terbaik menuntut ilmu. Bahkan, jika sejenak kita lihat, banyak tokoh nasional, baik tokoh agama, politik, pendidikan, ekonomi, maupun tokoh lainnya, yang merupakan lulusan dari pesantren.
Selain itu, perlu kita ketahui juga bahwa pesantren telah ada, bahkan sebelum Indonesia merdeka pada 1945. Bagaimana Kiai dan santri-santri berjuang di garis terdepan dalam melawan penjajah di Tanah Air. Pesantren mempunyai andil besar dalam kemerdekaan Indonesia serta memberikan warna tersendiri bagi perjalanan bangsa ini hingga sekarang.
Untuk itu, justifikasi terhadap pesantren sebagai pelaku kekerasan merupakan anggapan salah kaprah. Sebab, kekerasan terhadap anak, baik perundungan, kekerasan fisik, hingga kekerasan seksual, juga berpotensi terjadi di lembaga pendidikan lain (bukan pesantren).
Bahkan, sebelum kasus kekerasan pesantren menjadi ramai, kasus kekerasan lebih banyak terjadi di lembaga pendidikan non-pesantren. Meskipun, apabila kita bandingkan jumlah pesantren di seluruh Indonesia yang berjumlah puluhan ribu, beberapa kasus di atas tidak mencerminkan wajah pondok pesantren secara keseluruhan.
Meski begitu, tulisan ini juga tidak bermaksud memaklumi kasus kekerasan di beberapa pesantren. Kekerasan tetaplah kekerasan, dan pidana tetaplah pidana. Kasus kekerasan seharusnya tidak boleh berkembang di lembaga pendidikan, khususnya di pesantren yang mengajarkan nilai keagamaan dan moral. Nilai-nilai agama yang diajarkan di pesantren kita harapkan dapat mengurangi potensi munculnya kekerasan dalam bentuk apapun.
Pesantren sudah seharusnya memberi perhatian yang sangat serius dalam hal kekerasan tersebut. Pengelola pesantren harus melakukan evaluasi terhadap sistem pengelolaan santri-santrinya selama ini.
Menanti PMA
Kasus kekerasan ini merupakan masalah serius yang perlu kita tanggapi secara serius pula. Perlu suatu regulasi yang kuat untuk mencegah kasus kekerasan di pesantren kembali terulang. Kementerian Agama harus segera mengeluarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) terkait penanganan kasus kekerasan di lembaga pendidikan keagamaan, khususnya pondok pesantren.
Sekitar dua bulan yang lalu, saya sempat menulis tentang urgensi PMA terhadap maraknya kasus kekerasan seksual di pesantren. Kala itu sedang heboh dengan kasus Bechi yang melakukan pencabulan terhadap santri-santrinya. Namun, hingga saat ini, seiring dengan munculnya kasus-kasus serupa, Kementerian Agama tak juga menerbitkan PMA.
Padahal, penerbitan PMA terkait edukasi, pencegahan, penanganan kekerasan di pesantren serta pemulihan korban merupakan regulasi yang sangat kita tunggu. Hal ini menjadi penting mengingat kasus kekerasan di pesantren masih terjadi di beberapa daerah.
Selain itu, dalam setiap kasus kekerasan di pesantren, yang menjadi sorotan seringkali bukanlah kasus kekerasannya, melainkan pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan dianggap ‘lalai’ oleh sebagian masyarakat dalam hal menjaga atau menjadikan pesantren sebagai ruang aman bagi anak.
Untuk itu, kehadiran PMA sebagai langkah mitigasi dan antisipasi kasus-kasus serupa terulang, harus segera terselesaikan dan diterbitkan oleh Kementerian Agama. Memang, sekilas pembuatan aturan di negeri kita terkesan seperti ‘Pemadam Kebakaran’ yang menunggu api membesar baru kemudian kita padamkan.
Namun, penerbitan PMA tetap harus segera untuk kemudian menjadi payung hukum lembaga pendidikan keagamaan, khususnya pesantren, agar dapat menjadi ruang aman bagi santri, dan semua orang. []