Mubadalah.id – Salah satu ketua Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (MM KUPI), Nyai Hj. Badriyah Fayumi, Lc. MA menyebutkan bahwa, dalam hadis diriwayatkan, banyak yang menyebutkan kalau pernikahan Nabi dengan Aisyah ra terjadi saat Aisyah berusia 6, 7, atau 9 tahun, dan mulai berumah tangga saat berusia sembilan tahun.
Secara sanad (jalur riwayat) hadis ini kuat karena perawinya adalah Bukhari dan Muslim.
Meski ada perselisihan pada Perawi Hisyam bin Urwah yang meriwayatkan dari ayahnya, Urwah bin Zubair dari Aisyah.
Hisyam, menurut Nyai Badriyah, kurang akurat ingatannya, pasalnya saat itu Hisyam sudah berusia di atas 70 tahun dan tinggal di Irak.
Padahal, hadis tentang usia pernikahan Aisyah ini Hisyam sampaikan saat sudah tinggal di Irak.
Terlepas dari kritik sanad yang ada, jika melihat dari kitab-kitab sejarah terkemuka dan terpercaya.
Seperti karya Ibnu Katsir, adz-Dzahabi dan Ibnu Hajar al-Asqallani.
Mereka semua berpendapat bahwa usia pernikahan Aisyah ra menyebutkan bahwa lebih muda 10 tahun dari kakaknya, Asma’ binti Abu Bakar.
Jika Asma’ wafat tahun 73 H di usia 100 tahun sebagaimana tertulis dalam sumber-sumber tersebut, berarti ketika hijrah berusia 27 tahun.
Itu berarti bahwa Aisyah saat hijrah berusia 17 tahun, yaitu usia ketika Aisyah mulai berumah tangga dengan Nabi.
Argumentasi lain adalah bahwa pernikahan usia dini Aisyah ra bertentangan dengan konsep kedewasaan yang menjadi syarat utama seseorang menjadi subyek hukum.
Menolak Pernikahan Dini
Penolakan terhadap pernikahan dini yang merujuk kepada kesahihan hadis sebagaimana tertulis di atas antara lain yang pernah TO Shanavas sampaikan, intelektual muslim India. Syafi’i Antonio juga berpendapat yang kurang lebih sama.
Saat ini, Nyai Badriyah mengungkapkan, wacana yang mempertanyakan keabsahan hadis pernikahan dini Aisyah ra semakin meluas.
Dalam disiplin ilmu hadis hal demikian sah-sah saja, karena hadis ini bukan termasuk kelompok hadis mutawatir.
Kelompok hadis mutawatir adalah sekelompok besar orang dalam setiap generasi yang mustahil mereka bersepakat dusta.
Dengan posisi yang demikian, maka tidak mengherankan jika dalam fikih sebagian ulama setuju pernikahan dini dengan syarat-syarat khusus, dan sebagian justru melarangnya.
Alasan utama yang menjadi dasar adalah kemudaratan akibat pernikahan dini.
Di antara fukaha salaf yang melarangnya adalah Usman al-Batti (w.143 H), Ibn Syubramah (w.144 H), dan Abu Bakar al-Ashamm (w.225 H).
Hadis Aisyah dipahami Ibn Syumbramah sebagai kekhususan untuk Nabi, bukan untuk umatnya, sehingga setiap pernikahan mensyaratkan kedewasaan.
Imam Abu Hanifah memberi batasan, usia yang cukup untuk menikah adalah 18 tahun untuk laki-laki dan 17 tahun untuk perempuan. Pandangan para ulama ini kemudian menjadi rujukan para penyusun hukum keluarga di berbagai negara mayoritas muslim. (Rul)