Mubadalah.id – Pada fase al-tamyiz, seseorang anak memiliki ahliyyah al-ada’ al-naqishah, di mana sebagian perbuatannya terutama ibadah sudah bisa diperhitungkan dan dianggap sah.
Beberapa ulama, kata Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Fikih Hak Anak juga memperbolehkannya untuk menjual dan membeli hal-hal sederhana dan ringan, terkait kebutuhan dasarnya, kecuali yang dikhawatirkan akan merugikannya.
Sekalipun ibadah sang anak sah, namun semua ulama memandang dalam fase al-tamyiz ini seseorang tidak memiliki kewajiban ibadah apapun kepada Allah SWT.
Namun pada fase ini, kata Kang Faqih, sudah menetapkan tanggungjawab keperdataan, ketika seseorang merusak barang orang lain, misalnya, dan beban hukuman yang bersifat mendidik (ta’dibiyyah) ketika melakukan pidana kepada orang lain.
Fase-fase perkembangan anak dalam fikih ini, bisa menjadi inspirasi bagi hukum positif Indonesia dalam menentukan konsepsi anak.
Sehingga usia anak tidak bisa terukur antara 0 sampai 18 tahun. Misalnya, seperti pada UU Perlindungan Anak. Karena ada perkembangan fisik dan mental yang membedakan dalam fase-fase pertumbuhan seorang anak.
Namun, batasan akhir usia anak, sepertinya sulit untuk menyatukan antara berbagai norma, karena berbagai pertimbangan.
Tetapi perbedaan batasan akhir usia anak ini perlu penjelasan yang rasional dan berbasis pada kondisi dan kebutuhan anak.
Untuk urusan ritual dan kultural, untuk umat muslim, lebih tepat kembali kepada fikih klasik. Tetapi, untuk urusan perdata, ekonomi, sosial, politik, dan pidana harus merujuk pada perundang-undangan yang berlaku.
Perumusannya bisa merujuk pada fikih klasik, dengan tetap merujuk pada kondisi dan kebutuhan anak dalam kehidupan nyata mereka. (Rul)