Mubadalah.id – Petisi perempuan Saudi Arabia untuk menolak aturan perwalian yang mengungkung perempuan dalam semua gerak langkah mereka sedang membesar dan menggedor para pengambil kebijakan. Hatoon al-Fassi termasuk perempuan yang ikut protes. Aturan ini mengharuskan perempuan ditemani walinya (mahram) jika mau keluar rumah, berbelanja, ke rumah sakit, sekolah, terutama ke luar negeri. Aturan ini tentu saja produk ijtihad konservatif dari para ulama Saudi. Tetapi, akhir-akhir ini, ada seorang ulama besar negri ini, Syekh Abdullah al-Mani’, yang bersuara lantang bahwa aturan tersebut sama sekali tidak islami. Bahwa perempuan yang sudah dewasa sama sekali tidak perlu lagi ada wali (mahram), kecuali ketika akad pernikahan.
perwalian adalah ijtihad fiqh manusia atas teks-teks Islam
Hatoon al-Fassi, seorang perempuan pakar Islam dan isu-isu perempuan dari Saudi Arabia merespon positif pernyataan ulama tersebut. Perwalian terhadap perempuan dewasa di Saudi telah menjadi persoalan yang begitu kompleks, menyulitkan gerak langkah perempuan untuk memperoleh layanan publik, terutama ketika harus pergi ke rumah sakit, tempat belajar, pengadilan, atau tempat-tempat penting lainnya. Kepentingan laki-laki juga sesungguhnya, dalam banyak hal, ikut direpotkan dengan peraturan seperti ini.
Menurut Hatoon al-Fassi, perwalian adalah ijtihad fiqh manusia atas teks-teks Islam. Ia pada awalnya bermakna perlindungan dan pengambilan wewenang oleh seseorang terhadapa orang lain sebagai wakil atasnya. Konsep perwalian ini dihadirkan untuk melindungi orang-orang yang belum cukup umur dan belum memiliki kecakapan dan memastikan hak-hak mereka terpenuhi. Konsep ini diberlakukan pada anak-anak yang belum dewasa, laki-laki maupun perempuan. Jadi, tidak secara khusus untuk perempuan.
Anehnya, beberapa ulama menganalogikan perempuan dewasa sebagai anak-anak yang belum cakap, sehingga tetap harus didampingi seorang wali. Pandangan inilah yang justru dipakai di Saudi Arabia dan menjadi aturan resmi pemerintah. Jika saja konsep ini dikembalikan pada fiqh semula, ia hanya menyasar mereka yang belum cukup usia, belum matang secara mental sosial, atau belum dewasa. Jadi, bukan persoalan jenis kelamin. Tetapi kecakapan dan kematangan. Yaitu mereka yang masih usia anak-anak atau dewasa tetapi secara kejiwaaan sedang terganggu.
Pemahaman perwalian sebagai perlindungan disebutkan dalam al-Qur’an mengenai anak-anak yatim (QS. An-Nisa, 4: 6). Kata perwalian sendiri, dengan pemahaman yang dikenal sekarang, sama sekali tidak ada dalam al-Qur’an. Justru, al-Qur’an malah menyebutkan di antara perempuan dan laki-laki, satu sama lain bisa menjadi wali, yang saling menolong, dan saling menopang (QS. At-Taubah, 9: 71). Sayangnya, tidak ada satupuan Undang-undang yang mendasarkan pada ayat yang indah ini.
Konsep perwalian terhadap perempuan hanya ada dalam akad nikah. Konsep fiqh ini didasarkan pada hadis Ibn Majah yang menurut Imam Abu Hanifah adalah lemah. Karena itu, menurut sang Imam, perempuan bisa menikahkan dirinya sendiri tanpa perlu wali. Menikah adalah persoalan akad. Dalam hal akad yang dituntut adalah kematangan dan kecakapan seseorang. Yang sudah dewasa dan matang, dalam hal akad, sama sekali tidak memerlukan wali untuk mengesahkan akad tersebut. Ini tentu saja diskusi panjang dalam fiqh. Tetapi menjadikan konsep perwalian dalam akad nikah diperluas kepada semua aktivitas perempuan adalah berlebihan. Seperti kata Syekh Abdullah al-Mani’, ini adalah tidak islami. (FAK).
Sumber: http://www.alriyadh.com/1532496