• Login
  • Register
Jumat, 4 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Pernak-pernik

Kisah Istri Para Pendamping Raksasa

Kisah-kisah mereka dapat menjadi pembelajaran bagaimana relasi resiprokal hanya dapat terjadi jika interaksi kekeluargaan terbangun atas dasar kemitraan yang mempertimbangkan kompromi, dialog dan saling menopang bahu masing-masing

Libasut Taqwa Libasut Taqwa
08/11/2022
in Pernak-pernik, Rekomendasi
0
Kisah Istri

Kisah Istri

491
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – “Malam mau melahirkan, sorenya dia masih kerja,” ungkap Azyumardi Azra dalam buku Cerita Azra: Biografi Cendekiawan Muslim Azyumardi Azra yang dianggit Andina Dwifatma. Ungkapan tersebut ia sampaikan untuk memuji kegigihan kisah istrinya Ipah Fariha. Di mana ketika Azra menyelesaikan pendidikan di Universitas Colombia, Amerika Serikat, turut bekerja membantu keuangan keluarga yang tak cukup hanya ia biayai dengan beasiswa.

Cerita di atas hanya satu dari rangkaian kisah getir kehidupan keluarga Azra, khususnya Ipah Fariha semasa merantau ke Amerika. Berpindah-pindah menyewa rumah, menjadi pengasuh anak, hampir semua perempuan Banten ini lakoni. Semata agar ia dapat bertahan hidup mendampingi suami dan anak-anak mereka di Amerika.

Cerita lain hadir dari kisah Istri Ahmad Syafi’i Ma’arif (Buya Syafi’i) sebagaimana ia tuturkan sendiri dalam Memoar Seorang Anak Kampung. Nurkhalifah, atau Lip, sebagaimana ia biasa dipanggil, berangkat menyusul Syafi’i Ma’arif ke Amerika pada 1979 melewati Jakarta, Hongkong hingga Chicago tanpa bekal bahasa Inggris.

Praktis, tutur Ma’arif, Istri dan anaknya yang waktu itu berumur kurang dari 5 tahun, berangkat dengan bantuan bahasa Isyarat. Setali tiga uang dengan istri Pak Azra, Ibu Lip juga nyambi bekerja di berbagai keluarga Amerika sebagai baby sitter untuk menopang penghasilan keluarga. Dari hasil bekerja ini, gaji Lip sungguh jauh lebih tinggi jika dibanding beasiswa yang diterima Ma’arif dari universitas.

Kisah Para Istri yang Sepi dari Penulisan

Kedua lakon kisah istri para raksasa (Towering Figures) Islam Indonesia di atas menunjukkan peranan mereka yang tak sedikit dalam menyokong senarai kehidupan orang-orang. Di mana yang kita nilai berjasa bagi bangsa dan kehidupan beragama di Indonesia. Namun, ibarat peran sutradara, tak jarang kisah-kisah mereka hanya sekunder dari cerita utama. Sekadar pemanis dari biografi para tokoh yang kita anggap seolah berdiri sendiri dengan kokoh, tanpa ada orang lain yang berjasa penuh di belakang mereka.

Baca Juga:

Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?

Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan

Fikih yang Kerap Merugikan Perempuan

Cerita-cerita peranan para istri menjadi pendamping yang mengorbankan segalanya. Pendidikan, karir, waktu dan kesejahteraan mereka bagi para suami. Menjadi sangat penting kita angkat sebagai narasi baru dalam melihat perkembangan biografi intelektual orang-orang berpengaruh di dunia, Indonesia khususnya.

Dalam mengarungi susah senang kehidupan itu, terkadang mereka berfungsi sebagai penentu yang menjadi solusi dari tantangan yang suami mereka hadapi selama menempuh pendidikan. Tak jarang juga, para suami yang ‘melanggar’ aturan-aturan perumah-tangga-an, di-omeli guna mewujudkan keseimbangan berumah tangga di tanah orang.

Peran Istri Menentukan Masa Depan

Dalam konteks ini, dua riwayat berikut menarik menjadi pelajaran. Omi Komariah, istri Nurcholish Madjid (Cak Nur), pernah ikut mendampingi Cak Nur sewaktu melobi Universitas Chicago agar diizinkan pindah jurusan. Dalam Api Islam; Nurcholish Madjid, Jalan Hidup Seorang Visioner, Ahmad Gaus AF bercerita bahwa sebelum berada di bawah bimbingan Fazlur Rahman, -pemikir Islam asal Pakistan yang terkenal- Cak Nur sebenarnya mengambil jurusan Ilmu politik.

Namun karena berbagai pertimbangan, ia berpindah dari Departemen Ilmu Politik ke filsafat dan Pemikiran Islam. Nah, dalam proses perpindahan jurusan inilah peran Ibu Omi menentukan jalan hidup ‘lokomotif pembaruan Islam Indonesia’ tersebut.

Jadilah Cak Nur menemui pihak universitas bersama istrinya. Tentu saja, permintaan pindah jurusan mereka tolak. Merasa mentok, Cak Nur kemudian menyenggol istrinya itu agar ikut berbicara meyakinkan universitas. Alhasil, dalam waktu singkat universitas menyetujui perpindahan tersebut. Kita tak bisa membayangkan Cak Nur yang melegenda sebagai tokoh Islam jika urusan pindah jurusan ini tak melibatkan Ibu Omi.

Ada lagi cerita agak ‘kocak’ dari Ibu Shinta Nuriyah Wahid, istri kinasih Gus Dur. Sebagaimana dituturkan kembali oleh Fachry Ali melalui Martin van Bruinessen Buka Rahasia Gus Dur di Depan Bu Sinta Nuriyah yang tayang di alif.id. Gus Dur yang ‘melanggar’ pantangan untuk tidak makan banyak di luar rumah. Gus Dur hanya diam saja ketika diomeli Ibu Shinta. Fakta ini disaksikan pula oleh Martin Bruinessen, Herbert Feith dan Fachly Ali. Peran sentral Ibu Shinta menjaga kesehatan suaminya, kita tahu, bahkan sampai mengabaikan kesehatannya sendiri.

Istri Penopang Ekonomi Keluarga

Dari sejumlah cerita di atas, ada juga riwayat yang tak kurang menyayat hati. Misalnya, karena Kyai Wahid Hasyim sering tak ada di rumah, Nyai Sholihah Munawwaroh, sang istri, menghadapi banyak kesulitan guna menopang kebutuhan keluarga.

Karenanya, menurut Greg Barton dalam GUS DUR; The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, Ibunda dari presiden ke-4 Indonesia ini harus berjualan kue dan permen di depan rumahnya. Kisah yang sama juga dapat kita temukan dari keluarga Amien Rais, pemimpin Muhammadiyah jelang akhir Orde Baru.

Mengutip dari Djoko Susilo dan Masyhud SM dalam kumpulan tulisan Sikap Kami (1999), Kusnasriyati Sri Rahayu, istri Pak Amien, tidak malu membuka dan berjualan ‘warung Solo’ di seberang rumahnya di Yogyakarta. Padahal, waktu itu nama Amien Rais sudah cukup melejit di kancah perpolitikan nasional.

Harus kita akui bahwa terlalu banyak kisah-kisah seperti ini yang tak kita angkat ke permukaan. Kumpulan kisah yang jika secara jujur kita akui, dapat berdiri sendiri menjadi sebuah biografi Independen. Tentu bakal tak kalah populer dan menginspirasi banyak orang jika saja kita tekuni. Hal ini sebagai bagian dari upaya mengimbangi timpangnya arus informasi peran laki-laki dan perempuan dalam ruang publik dan privat.

Selain itu, kisah-kisah mereka dapat menjadi pembelajaran bagaimana relasi resiprokal hanya dapat terjadi jika interaksi kekeluargaan terbangun atas dasar kemitraan yang mempertimbangkan kompromi, dialog dan saling menopang bahu masing-masing.

Istri yang Menulis Kisahnya Sendiri

Tentu saja, ada di antara para ‘pendamping’ ini ada yang berhasil menulis kisah mereka sendiri. Salah satunya, walaupun serba minim, seperti Ibu Zahara lakukan. Ia adalah istri Deliar Noer, salah satu tokoh politik Islam Indonesia abad yang lalu.

Zahara menulis Perempuan, Catatan Sepanjang Jalan yang berkisah tentang jalan hidup dan perjuangannya ‘sendiri.’ Mungkin karena peran besar sang Istri itulah, Deliar Noer mempersembahkan satu bab khusus “Istriku Zahara” dalam otobiografinya, 80 Tahun Deliar Noer, yang terbit 2007 lalu.

Sayang sekali tulisan ini tak mampu memuat banyak kisah lain yang menarik. Namun patut kita catat, tulisan ini dipetik dari berbagai review atas baris-baris paragraf singkat biografi para tokoh utama. Semata-mata saya ingin menegaskan kembali. Bahwa di balik orang-orang besar yang kita baca dan dengar kisahnya, terdapat para pendamping. Mereka yang tak kenal lelah mengorbankan segala hal, yang mungkin dapat mereka miliki untuk mendukung suami mereka.

Kisah-kisah istri yang seringkali hanya berada di pinggiran narasi besar para tokoh, menjadi sekadar catatan kaki, atau hanya berada dalam satu-dua halaman biografi sang lakon utama, menurut saya perlu kita bangkitan menjadi satu kesatuan narasi utuh tentang perjuangan dan kegigihan tak kenal lelah. Bukan tak mungkin, dalam masa-masa pelik kehidupan sebuah keluarga, di pundak merekalah cita-cita dan harapan para tokoh itu sepenuhnya kita gantungkan.

Karena itu, apresiasi yang lebih utuh dan komprehensif untuk memahami sepak terjang mereka, sudah sepantasnya kita tulis dan kita gaungkan kembali. Misalnya sebagai sebuah biografi yang benar-benar utuh. Jika ini dapat kita lakukan, maka kita tidak hanya akan menulis kisah para ‘pendamping’ lagi. Namun Kisah Istri Para Pendamping ‘Raksasa’ itu sendiri. []

 

Tags: Cendekiawan Muslimistrikisahperempuansuami
Libasut Taqwa

Libasut Taqwa

Libasut Taqwa adalah mahasiswa program MA Ilmu Politik Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Sebelum menempuh pendidikan di UIII, terlebih dahulu menyelesaikan program Pascasarjana Kajian Timur Tengah dan Islam di Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia. Pengetahuan seputar politik dan Hukum Tata Negara Islam diperoleh ketika menempuh studi sarjana di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Libasut Taqwa tidak memiliki media sosial dan dapat dihubungi melalui e-mail, libasut.taqwa281@gmail.com

Terkait Posts

Gerakan KUPI

Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI

4 Juli 2025
Oligarki

Islam Melawan Oligarki: Pelajaran dari Dakwah Nabi

4 Juli 2025
Islam Harus

Mengapa Islam Harus Membela Kaum Lemah?

3 Juli 2025
Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Laki-laki dan Perempuan dalam fikih

Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?

3 Juli 2025
Perceraian untuk

Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

2 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Isu Iklim

    Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Islam Harus Membela Kaum Lemah?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Islam Melawan Oligarki: Pelajaran dari Dakwah Nabi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Pesan Pram Melalui Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer
  • Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak
  • Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI
  • Islam Melawan Oligarki: Pelajaran dari Dakwah Nabi
  • Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID