Mubadalah.id – “Keputusan ini saya kira tidak objektif kalau kita berpijak pada sumber hukum kita, kepada fikih. Jadi, tidak ada kejujuran fikih di dalamnya.” Kata kiai Zahro Wardi atau yang akrab disapa Gus Zahro dalam sebuah video yang di-upload di kanal youtube miliknya sejak lima hari lalu. Atau sejak saya menulis artikel ini. Statement itu keluar sebagai ekspresi atas penilaiannya terhadap keputusan fatwa KUPI II tentang keharaman Pemotongan dan Pelukaan Genetalia Perempuan (P2GP), atau lumrah dengan istilah “sunat perempuan”.
Rupanya, pengasuh Ponpes Darussalam Trenggalek itu sangat tidak sependapat dengan rumusan fatwa KUPI II tersebut. Lantaran tidak ada satu pun dari para pionir empat mazhab (al-madzahib al-arba’ah) berikut para pengikutnya yang sampai ada pengharaman P2GP. Atau mengharamkan sunat perempuan (al-khitan linnisa’).
Jika pun ada, itu adalah pendapat yang sangat lemah. Rata-rata, secara umum para ulama empat mazhab hanya berkutat antara dua hukum; wajib dan tidak wajib.
Terlepas dari kajian hukum tersebut, tulisan kali ini akan bicara soal objektivitas KUPI dalam pengharaman P2GP. Penulis akan mengajak sekalian pembaca untuk sama-sama menilai tingkat objektivitas tersebut, dan mana yang lebih objektif daripada hasil pengamatan Gus Zahro yang ia sampaikan dalam video tersebut.
Hasil Penelitian tentang P2GP
Pada 2017 lalu, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bersama Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada melakukan sebuah penelitian gabungan. Penelitian itu dalam rangka mencari informasi lebih banyak dan akurat terkait praktik Pemotongan dan Perlukaan Genetalia Perempuan (P2GP) di 17 Kabupaten di 10 Provinsi di Indonesia.
Komnas Perempuan terjun lapangan menggawangi penelitian kualitatif, sedang PSKK UGM fokus mengurusi penelitian kuantitatifnya. Dan, yang terpenting, Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), dalam memfatwakan keharaman P2GP berdasar pada hasil penelitian ini.
Dari penelitian ini, lahirlah sebuah buku berharga yang berjudul, “Pemotongan dan Perlukaan Genetalia Perempuan (P2GP): dalam Persimpangan antara Tradisi dan Modernitas”. Berikut penulis kutipkan data hasil penelitian kualitatifnya terkait dampak kesehatan P2GP dalam buku tersebut (hal. 49);
“Kurang lebih 3,8% responden menyatakan bahwa P2GP menyebabkan sakit akut pada anak perempuan. Terutama ketika mereka buang air kecil pada hari-hari setelah P2GP. 1,5% menyebutkan bahwa P2GP menyebabkan demam dan 1% menyebutkan mengalami mual dan pendarahan.”
Walaupun kematian tidak terlaporkan sebagai dampak kesehatan. Namun di satu daerah dalam penelitian kualitatif seorang informan menyebutkan bahwa “Ada kasus kematian seorang anak perempuan beberapa jam setelah dilakukan P2GP dengan masalah pembekuan darah.”
Penelitian di atas, sekaligus menguatkan penelitian mutakhir lembaga kesehatan dunia (WHO) pada tahun 2010 yang menyatakan bahwa P2GP dapat menimbulkan komplikasi kesehatan reproduksi terutama membahayakan rahim, infertilitas, gangguan urinary, masalah seksual dan psikologis.
Bahkan bisa berdampak pada masalah serius hingga kematian bagi anak-anak perempuan. Sehingga, WHO berkesimpulan bahwa praktik P2GP termasuk praktik berbahaya (harmfull practices) dan pelanggaran hak asasi perempuan. Data ini juga bisa ditemukan dalam buku “40 Tanya-Jawab Sunat Perempuan” yang dikeluarkan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia.
Hasil Pengamatan
Gus Zahro, di awal-awal videonya menyampaikan statement ketidaksepakatannya dengan rumusan fatwa KUPI terkait pengharaman P2GP. Ia juga menyampaikan hasil pengamatannya selama berkecimpung dalam kajian-kajian fiqh an-nisa’ dan persoalan reproduksi. Di Ponpes Lirboyo di bawah asuhan KH M Anwar Manshur, selama lima tahun mengajar fiqh an-nisa’.
Selain itu, di pondok asuhannya, Ponpes Darussalam Trenggalek memiliki kegiatan ekstrakurikuler terkait fiqh an-nisa’ juga. Dari sekian banyak santriwati yang turut dalam kajian fiqh an-nisa’ tersebut, tidak satu pun dari mereka mempermasalahkan khitan perempuan tersebut.
Gus Zahro juga bilang bahwa di Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri se Jawa-Madura, di mana dalam forum itu dipenuhi sekian banyak ibu Nyai, namun tidak satu pun yang mempersoalkan khitan perempuan. Selain karena sudah ia percaya sebagai syariat Islam, juga karena tidak menemukan bahaya pada khitan perempuan tersebut.
Tidak hanya itu, Gus Zahro juga menyampaikan ihwal forum WhatsAap yang berisi 78 anggota tak terkecuali dirinya, 99% di antaranya adalah para ibu Nyai lintas provinsi. Ia menambahkan bahwa di forum itu saat ini tengah mempersoalkan rumusan fatwa KUPI terkait keharaman P2GP. Dan, tidak ada yang sependapat dengan fatwa tersebut. Ini menjadi bukti bahwa fatwa keharaman P2GP ini adalah fatwa yang bermasalah.
Baru-baru ini, tepatnya beberapa hari setelah para tokoh ulama perempuan Indonesia menutup acara Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) kedua di Jepara, tersebarlah sebuah video kiai Agus H Zahro Wardi, salah seorang perumus Lembaga Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur di satu kanal youtube miliknya.
Tanggapan atas Hasil Musyawarah Keagamaan KUPI II
Dalam video itu, Gus Zahro-demikian ia karib disapa dan banyak disebut di media sosial-menyampaikan tanggapannya terkait fatwa pengharaman khitan perempuan (khitan lil untsa) yang KUPI keluarkan, dan dibacakan langsung pada acara kongres di Jepara bebarapa waktu lalu.
Dalam tanggapan tersebut, poinnya, Gus Zahro tidak sepakat dengan hasil fatwa KUPI karena dianggap menyimpang dan melawan arus mayoritas ulama (Syafi’iyah, Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah) sebagaimana yang termaktub dalam banyak literatur ulama klasik. Sebab, tidak satu pun di antara mereka yang sampai mengharamkan khitan perempuan. Semuanya, secara umum bermuara antara hukum wajib dan tidak wajib. Tidak ada yang sampai mengharamkan.
Saya tertarik merespon tanggapan Gus Zahro kali ini, dalam kapasitas sebagai anak pesantren yang cukup akrab dengan literasi kitab kuning dan istinbath al-ahkam, selain juga sebagai pengamat isu-isu perempuan. Karena itu, penulis akan lebih fokus menilik beberapa literatur kitab kuning yang menjadi rujukan Gus Zahro.
Tidak dalam rangka mengkaji ulang teks-teks tersebut, karena itu sudah jelas. Tetapi lebih spesifik terhadap kajian metode bermazhab (at-tamadzhub) antara Gus Zahro dengan KUPI yang melatari silang pendapat pengharaman P2GP tersebut.
Sekilas Tentang Metode Bermazhab
Bermazhab, atau menjadi pengikut mazhab merupakan opsi terbaik dalam menjalankan atau merumuskan syariat Islam (fiqh) jika tidak mampu membuat mazhab sendiri. Terkait dengan merumuskan hukum atau memberi jawaban hukum atas berbagai masalah fiqhiyah, para ulama merekomendasikan dua metode; pertama, metode tamadzhub qauli intiqadi, yaitu dengan merujuk pendapat para ulama fikih, dan kedua, metode at-tamadzhub al-manhaji, yaitu dengan merujuk metodologi perumuskan hukum mereka.
Jadi, dalam bermazhab, ada yang langsung mengambil produk hukum hasil ijtihad para ulama, ada juga yang berupaya sendiri mencari hukum tersebut dengan panduan metodologi rumusan para ulama yang mereka ikuti.
Perlu kita ketahui, bahwa metode itu hadir hanya sebagai alat. Ibarat alat pemotong dengan pelbagai bentuk dan macamnya, ia bekerja sesuai fungsi dan kegunaannya. Contoh, mengiris bawang dengan parang dan menebang pohon dengan pisau dapur, adalah pekerjaan yang dapat kita nilai benar dengan perspektif kefungsian alat secara umum. Sama-sama kita gunakan memotong.
Namun, menjadi jauh berbeda jika sudut pandangnya adalah aspek tingkat keberhasilan metode atau alat tersebut. Jika demikian, maka contoh di atas tentu sebuah kesalahan. Karena tingkat keberhasilannya tidak menjamin sempurna.
Perumpamaan Praktik Perbedaan Mazhab
Mengiris bawang dengan parang jelas tidak akan menghasilkan irisan yang baik, dan pasti kecepatan mengirisnya menjadi berkurang. Belum lagi melihat bahaya dan resiko buruk yang lebih tinggi. Demikian pula contoh menebang pohon dengan pisau dapur. Sulit kemungkinan bisa memperoleh hasil maksimal, bahkan walau harus menghabiskan waktu yang lama.
Begitu juga dalam bermazhab. Manakah di antara metode-metode bermazhab yang paling optimal melahirkan hukum-hukum yang membawa kemaslahatan, keadilan, kesetaraan, rasa aman dan lain-lain, maka itulah yang seharusnya kita gunakan. Bukan hukum yang malah mengancam kesehatan, menabrak nilai keadilan, perlakuan yang tidak menyetarakan, memberi rasa takut, trauma, dan seterusnya.
Jadi, hendak menggunakan metode apa pun, secara umum tidak salah. Namun, akan menjadi persoalan kala “menengok” lebih dalam terkait tingkat keberhasilan metode yang kita gunakan. Jika mencapai tingkat keberhasilan tinggi, akan berbuah kemaslahatan. Namun jika rendah, atau bahkan gagal total, jangan heran saat hukum-hukum itu “menelurkan” banyak kerusakan.
Metode Bermazhab
Melihat beberapa redaksi kitab rujukan yang Gus Zahro kutip pada bagian akhir videonya, memberi indikasi kuat bahwa dalam menjawab persoalan sunat perempuan, ia menggunakan metode qauli intiqadi. Di mana, seseorang atau sekelompok orang mengadopsi qaul (pendapat atau hasil ijtihad) para pakar hukum (fuqaha’) setelah melakukan telaah kritis atas pendapat tersebut.
Dan, saya yakin Gus Zahro telah menelaah rujukan-rujukannya dengan sangat teliti. Terlebih, rujukan tersebut tidak keluar dari empat mazhab fikih yang menjadi pedoman dasar mayoritas masyarakat musim Indonesia. Yakni Syafi’iyah, Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah. Artinya, kualitas rujukan dan penelaahnya sudah terjamin tinggi. Akan tetapi-lagi-lagi kembali ke konsep metodologi-bahwa metode-metode tersebut adalah makhluk telanjang yang pakaiannya adalah tingkat keberhasilan dan pencapaian masing-masing metode.
Pencapaian tinggi suatu metode itu sangat tergantung pada tempat, waktu dan kondisi masyarakat yang hidup di sana (al-amkinah, al-azman, wal ahwal). Artinya suatu metode tidak akan berhasil menelurkan hukum yang maslahat jika tidak memperhitungkan tiga hal itu.
Adapun maksud dengan kondisi masyarakat dalam hal ini adalah kondisi perempuan yang mengalami pemotongan atau pelukaan genetalia. Maka dari itu, sangat penting mempertimbangkan pengalaman perempuan terlebih dahulu sebelum merumuskan hukum khitan perempuan.
Metode Bermazhab KUPI
Adapun metode bermazhab KUPI dalam menjawab persoalan sunat perempuan atau yang modern ini disebut P2GP (Pemotongan dan Pelukaan Genetalia Perempuan), tidak melulu menggunakan metode tamadzhub qauli intiqadi.
Tetapi juga menggunakan metode at-tamadzhub al-manhaji dan penelitian atas realitas kehidupan dan pengalaman perempuan. Dengan mendialogkan keempat pendekatan di atas, lahirlah fatwa keagamaan KUPI. Dalam hal ini adalah mengharamkan praktik bahaya P2GP/sunat perempuan tanpa alasan medis.
Jadi, metodologi fatwa KUPI dalam menjawab setiap persoalan tidak hanya merujuk kitab-kitab fikih karya fukaha. Tetapi juga merujuk basis intelektual mereka secara metodologis (at-tamadzhub al-manhaji). Dengan catatan jika memang butuh untuk memperkuat rujukan qauli intiqadi itu, atau bahkan metode qauli intiqadi telah tidak relevan lagi untuk meregup kemaslahan optimal.
Maka, demi optimalisasi kemaslahatan ini, baik menggunakan metode qauli intiqadi maupun at-tamadzhub al-manhaji, tetap tidak lekang dari melihat kondisi masyarakat dan pengalaman perempuan dalam rumusan fatwa-fatwa KUPI.
Dari semua keterangan di atas, dapat kita simpulkan bahwa kehadiran sanggahan Gus Zahro terhadap hasil fatwa KUPI yang mengharamkan bahaya praktik pemotongan dan pelukaan genetalia perempuan tanpa alasan medis, berawal dari perbedaan metode bermazhab antara keduanya.
Dan manakah di antara metode tersebut yang lebih maslahat? Insya Allah akan terjawab dalam kajian berikutnya. Di sana penulis akan mengkaji kasus P2GP lebih mendalam, dari aspek hukum, istidlal, dan sejarah P2GP. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawab. []