Mubadalah.id – Saya termenung ketika membaca novel Gadis Kretek yang Ratih Kumala tulis. Pada cerita itu, saya dibuat penasaran sekaligus menjadi salah satu perjalanan batin yang menuntut saya refleksi dalam kehidupan pribadi sebagai perempuan.
Adalah tokoh Jeng Yah, Gadis Kretek yang bernama asli Dasiyah yang sudah ditinggalkan oleh kekasihnya bernama Raja. Sialnya Raja tidak hanya meninggalkan, akan tetapi juga dikhianati dengan membocorkan saus kretek kepada lawan bisnis ayahnya, Soedjagat. Atas dedikasi Raja, Soedjagat kemudian mendirikan perusahaan kretek yang bernama Kretek Soedjagat Raja. Merk ini terkenal dan menjadi nomor wahid pada zaman ini. Konon, tidak ada yang bisa mengalahkan kretek ini.
Belajar dari Dasiyah, seandainya saya di posisinya, pasti saya akan melabrak Sooedjagat dengan membuat propaganda agar orang tidak perlu membeli kretek miliknya. Dengan kekuatan multi yang saya miliki berwujud media sosial, saya akan mengumpulkan para influencers untuk mengkampanyekan kretek milik Soedjagat ini tidak enak, berbahaya apabila di konsumsi.
Kira-kira, hampir sama lah ya, dengan upaya pemerintah yang mengumpulkan influencers ketika mengesahkan KUHP. Sayangnya, Dasiyah di masa silam hidup tanpa media sosial. Apalagi pada waktu itu, ia ditangkap bersama sang ayah karena dianggap bagian dari PKI.
Perjalanan Mencari Gadis Kretek
Ketenaran kretek ini yang membuat Soedjagat merasa bahwa, Jeng Yah memiliki andil besar, bahkan dirinya kualat kepada Jeng Yah. Pantas saja, ia tidak kunjung mati karena belum meminta maaf kepada Jeng Yah. Dari sinilah, perjalanan ketiga anak Sodjagat dimulai untuk mencari sosok ‘Gadis Kretek’.
**
Baik. Mari kita tinggalkan perkara Jeng Yah dengan segala dendam kesumat di masa silam dan perjalanan hidup seorang perempuan. Suatu waktu dalam sebuah forum, saya mencoba memulai forum dengan memberikan clue pada semua peserta, termasuk saya, menggambarkan diri menjadi satu barang, entah itu hewan, kartun, barang, bahkan sebuah buah. Tapi, rasanya agak kebingungan untuk menggambarkan diri sendiri menjadi satu kata yang berbentuk benda, barang, kartun ataupun yang lain.
Mengapa ini terjadi? Sebab manusia itu kompleks. Misal saya menggambarkan diri menjadi Dora the Explorer, lantaran sikap eksploratif yang saya miliki menjadi manusia. Namun, apakah kartun tersebut sangat cukup untuk menggambarkan diri saya? Tentu tidak, sebab di satu sisi saya adalah orang yang mager melakukan beberapa hal, bad mood, ataupun yang lain.
Tak Ada yang Bisa Menggambarkan Diri
Saya pikir semua orang juga akan merasa demikian. Sebab dalam diri kita terdiri dari berbagai unsur kemalasan, keinginan, kebutuhan, skala prioritas, sikap bad mood, dll. Dari sinilah kita memahami bahwa, tidak ada yang benar-benar bisa menggambarkan diri kita sendiri. Kalaupun mencoba untuk menggambarkan pada 1 benda, itu hanya sebagian kecil dari diri kita yang kompleks.
Kenyataan ini juga sama dengan banyak perjalanan yang kita sudah lalui. Pernahkah kita berpikir bahwa kita kuat sampai hari ini? Mungkin kalau mencoba mengingat kejadian 5 tahun silam, rasanya tidak mungkin berada di titik ini. Dari sekian banyak perjalanan, bertemu dengan berbagai jenis orang, berkenalan dengan latar belakang orang yang berbeda, membuat kita semakin memahami bahwa, Tuhan punya rencana baik bagi setiap umatnya, termasuk kita yang tidak pernah merencanakan besok ingin melakukan hal apa saja.
Perjalanan semacam ini akan sama dengan perubahan cita-cita dalam diri. Dulu waktu SD, saya masih ingat cita-cita saya ingin menjadi penyiar radio karena bagi saya, akan sangat seru untuk memberikan informasi kepada banyak orang. lambat laun, cita-cita tersebut berubah.
Saya tidak lagi ingin menjadi penyiar radio, karena orang-orang sudah tidak banyak mendengarkan radio dan beralih ke youtube. Akhirnya, saya ingin menjadi seorang perawat ataupun bidang supaya bisa memberikan kebermanfaatan yang lain.
Lambat laun, cita-cita tersebut berubah lagi. Saya justru nyaman untuk melaksanakan aktivitas bertemu dengan banyak orang, membaca buku, ataupun melakukan kegiatan yang berhubungan dengan orang lain. Dari sinilah saya memahami bahwa, hidup adalah perjalanan.
Menjadi perempuan yang sangat kompleks, dengan kisah yang pada waktu silam masih bersitegang dengan orang tua untuk mendapatkan akses pendidikan tinggi, hari ini mulai terkikis. Kenyataan sudah berbeda hari ini.
Meskipun ada banyak perempuan yang berusaha untuk mendapatkan akses pendidikan dari lingkungan dan keluarga, kenyataan yang lain untuk kita lakukan adalah bagaimana memaknai proses menjadi perempuan dari berbagai perjalanan yang kita lakukan. []