Mubadalah.id – Perbincangan mengenai perempuan selalu menarik sebagai alat untuk mendatangkan keuntungan. Kita menemukan fenomena dalam narasi iklan Rabbani di reklame atau di Twitter, berikut ini:
“ Rok Makin di atas, Prestasi makin di bawah”
“Wanita yang berpakaian terbuka itu bodoh
“Tidak Memberikan kesempatan untuk pria yang berfikiran jorok”
“ Dari pada ngurusin boneka, lebih baik ngurusin janda”
“Wanita yang berpakaian terbuka akan mengundang seorang pria yang berniat berfikiran buruk
”Pria yang salah, atau wanita yang bodoh”, respon Rabbani terkait maraknya kasus kekerasan seksual
“ Diskon 50% all produk Rabbani, bagi yang bernama Rina”, pada saat viralnya Rina Nose memutuskan mencopot kerudung.
Rabbani menujukkan dalam industri fashion, tubuh perempuan mereka anggap bernilai tinggi untuk mampu meraup keuntungan. Perempuan mereka gunakan sebagai “daya tarik” memikat konsumen serta meningkatkan daya beli masyarakat dari brand tersebut. Narasi itu berisi tayangan narasi provokatif dengan bahasa yang kurang etis.
Kalimat iklan di atas terdapat dalam papan reklame dan status Twitter. Kalimat yang mengandung perundungan tersistematis. Iklan terkemas dengan memamerkan betapa salihahnya konsumen jika memakai brand ini. Memasang iklan pada reklame di sudut strategis, dengan menampilkan standar kesalehan perempuan melalui tren fashion kaum kapitalis.
Dianggap sebagai Standar Kesalehan Perempuan
Seolah standar kesalehan hanya dengan memakai brand Rabbani. Iklan yang sesunggunya tidak merepresentasikan kaum muslim di Indonesia, sebuah fasisme religius. Beragamnya cara menutup aurat kaum muslim di Indonesia, ada yang memakai kerudung berupa selendang, sampai dengan memakai cadar menutupi wajah kecuali mata dan telapak tangan. Sehingga simbol beragam perempuan muslim tidak bisa kita standarkan melalui satu brand saja, yaitu Rabbani.
Mari mengupas bagaimana deskripsi eksploitasi tubuh perempuan dalam iklan ini. Brand ini sangat ngeyel dan masif dalam iklannya. Keindahan perempuan mereka tempatkan dalam stereotip bahwa perempuan yang memakai pakaian minim tidak dapat terhindarkan dari kekerasan seksual. Sebaliknya, jika perempuan memakai pakaian tertutup akan terhindar dari perilaku kekerasan seksual dan dijauhkan dari pikiran negatif dari pelaku kekerasan seksual.
Faktanya, kasus kekerasan terjadi pada santriwati dengan balutan pakaian panjang menutupi aurat. Kita dipaksa sepakat bahwa narasi iklannya sebagai bentuk labeling terhadap perempuan, bahwa korban kekerasan seksual karena pakaiannya. Padahal beragam pemberitaan banyak anak di bawah umur yang jadi korban kekerasan, termasuk santriwati dan bahkan bayi usia 7 bulan sebagai korban kekerasan hingga meninggal dunia, dan yang terbaru korban masih berusia 5 tahun .
Stereotip ini menjadi ide, citra dan sumber eksploitasi perempuan di berbagai media. Dalam kehidupan sehari-hari perempuan banyak mereka gunakan dalam iklan televisi. Keterlibatan tersebut berdasarkan dua faktor utama. Pertama, perempuan mereka sebut sebagai pasar yang sangat besar dalam perindustrian. Kedua adalah bahwa perempuan memiliki kepercayaan yang terakui mampu menguatkan pesan dalam iklan.
Iklan Menggiring Opini Publik
Tayangan iklan mampu menghadirkan gambar serta audio visual bagi khalayak yang menyaksikannya. Iklan membawa pola pikir perempuan harus tampil berkerudung dan memakai pakaian panjang. Selain itu menggiring opini, perempuan berpakaian terbuka bisa mengundang syahwat para kaum pria, dan menganggap wajar jika menerima tindak kekerasan.
Iklan Rabbani memiliki tujuan akhir mempersuasi dan menarik khalayak untuk respek terhadap tayangan yang mereka tawarkan. Perempuan mereka jadikan objek utama, model perempuan menjadi senjata psikologis iklan yang ampuh memberikan kepuasan tersendiri pada kaum sesamanya.
Hal inilah yang mendasari industri kapitalis untuk meraup keuntungan dalam mengembangkan dan memasarkan produk fashion. Dengan adanya kritik narasi dari iklan Rabbani yang mengandung kekerasan simbolik, harapannya mampu membuka mata hati para khalayak masyarakat. Supaya perempuan tidak hanya mendapat nilai sebagai objek.
Kekerasan simbolik sulit teratasi adalah karena dampak tidak terlihat seperti kekerasan biasa. Perempuan adalah salah satu kelompok sosial yang menjadi objek kekerasan simbolik. Konten Rabbani melalui kata-kata dan mengandung ujaran kebencian dengan latar belakang yang bersifat seksis dan bertujuan melukai integritas pribadi perempuan.
Mengupas Analisa Wacana Sara Mills
Analisis wacana Sara Mills melalui konsep kekerasan simbolik yang iklan Rabbani gunakan menunjukkan bahwa; (1) dominasi mengatasnamakan agama dalam berpakaian, (2) dominasi menempatkan perempuan sebagai objek iklan, dan (3) dominasi dengan membungkam perempuan sebagai korban kekerasan berdasarkan penampilannya.
Hasil analisa wacana ini menunjukkan bahwa empat tahap yaitu konstruksi karakter lelaki dan perempuan dalam teks pemberitaan (character), penggambaran bagian tubuh perempuan (fragmentation), sudut pandang gender (focalization) dan bagaimana ideologi dominan yang ada tumbuh dalam perbedaan gender.
Adapun viktimisasi korban kekerasan seksual mereka lakukan dengan menggunakan bahasa di Twitter. Di mana pembaca mereka giring untuk menyalahkan dan menyudutkan penampilan korban.
Iklan Rabbani memberikan konstruksi berbagai berita tentang opini terhadap perempuan yang mereka pandang melalui penampilan, bukan pada pemikiran dan karyanya. Di mana narasi dibumbui berbagai opini tambahan, yang terkemas menjadi status sok asyik. Padahal hal ini berpotensi menjadikan pembaca terus menerus dijejali informasi stigma negatif terhadap perempuan. Dampaknya, masyarakat menjadi tidak sensitif terhadap masalah kaum perempuan.
Viktimisasi Korban Kekerasan Seksual
Fragmentation muncul dalam teks melalui penggambaran perempuan berpakaian tertutup menurut standar Rabbani. Perempuan terlihat sebagai obyek dalam berpakaian dianggap membuat banyak konsumen akan tertarik. Selanjutnya, strategi teks mereka lakukan melalui cara focalization. Hal ini melihat penggambaran bentuk dominasi dalam teks secara teks. Terlihat bahwa prioritas teks membela pelaku kekerasan menjadi tidak bersalah. Namun kesalahan mereka letakkan pada cara berpakaian korban, bukan pada pelaku.
Secara focalization, ada beberapa hal yang mereka munculkan seperti perempuan yang berpakaian terbuka adalah bodoh, dan anggapan wajar jika terjadi pemerkosaan. Rabbani juga pernah menampilkan gambar kambing yang memakai kerudung di papan reklame.
Terakhir adalah schemata, merupakan kerangka paling luas yang terkait dengan pola pikir dominan telah berlaku di masyarakat yang kita temukan dalam teks. Melalui schemata muncul beberapa hal seperti kedudukan pelaku superior dibandingkan korban, korban memikul jika menggunakan pakaian yang tidak mengikuti standar Rabbani.
Iklan Rabbani menunjukkan viktimisasi korban kekerasan seksual. Rabbani menarik simpati tanpa rasa manusiawi dan menjadikan perempuan sebagai obyek dalam iklan. Viktimisasi ini mereka lakukan melalui naturalisasi dengan menyudutkan korban yang mengarah kepada victim blaming. Narasi iklan tersebut memasang target utama kaum perempuan, namun dengan cara membuat posisi perempuan semakin tidak beruntung. []