Mubadalah.id – Sebuah potongan video (namanya juga potongan video, pasti durasinya pendek) dalam waktu yang cepat langsung viral. Video itu secara jelas (tidak perlu kita tafsirkan sedemikian rupa) menyatakan bahwa KH. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) yang notabene Ketua Umum PBNU secara terang-terangan menolak feminisme. Dan secara terang benderang Gus Yahya menekankan agar para perempuan Fatayat dan Muslimat tidak ikut-ikutan feminisme. Solusi dari Gus Yahya cukup berdasar, bahwa pembelaan kita terhadap perempuan harus punya akar ilmu dan tradisi sendiri yang sesuai dengan khazanah Islam di Indonesia.
Kalau saja Gus Yahya bukan Ketua Umum PBNU, maka sudah pasti ia akan diserang oleh para aktivis feminisme Muslim yang notabene adalah para aktivis di Fatayat dan Muslimat. Di sinilah kejujuran dan keadilan intelektual kita diuji. Saya juga tidak bisa membayangkan, bahwa para aktivis feminisme akan marah kepada Gus Yahya kalau saja ia bukan Ketua Umum PBNU.
Namun seperti yang telah saya duga, sangat sulit (untuk enggan mengatakan mustahil) jika para aktivis Fatayat dan Muslimat menyerang Ketua Umumnya sendiri. Maka akan sebisa mungkin, para aktivis Fatayat dan Muslimat atau umumnya para aktivis feminisme Muslim akan gencar melakukan “pembelaan” atau minimalnya husnuzhan.
Dalam video itu Gus Yahya tidak sedang basa-basi menyatakan bahwa kita (warga NU) tidak perlu ikut-ikutan ideologi gender dari budaya lain. Yakni feminisme yang asalnya dari Barat. Dengan kata lain, dari berbagai aliran feminisme yang ada, sebaiknya tetap tidak perlu merujuk pada ideologi gender budaya lain. Bagaimana pun feminisme tidak berakar dari khazanah keilmuan dan budaya Islam di Indonesia. Pernyataan Gus Yahya ini selain tegas, juga mutlak. Tidak basa-basi, dan tidak ada multi-tafsir. Dan kalau mau fair, sudah pasti Gus Yahya akan digeruduk oleh para aktivis Fatayat dan Muslimat.
Kontribusi Feminisme untuk Pembebasan Perempuan
Apalagi di NU itu, para Kiai kebanyakan punya kebiasaan bicara ceplas-ceplos tanpa beban. Mau ngomong apa saja bebas, seperti tidak takut salah. Maqamnya sudah selevel dengan Alm Gus Dur. Pernyataan Gus Yahya ini akan menjadi angin segar bagi para aktivis Muslim hijrah yang selama ini memang tidak pernah basa-basi menolak feminisme, apa pun bentuk dan alirannya. Sebab menurut para aktivis Muslim hijrah, Islam sudah sangat memuliakan perempuan, sehingga tidak perlu ada ideologi gender selain ajaran Islam yang ramah perempuan. Bagaimana sampai sini?
Menolak feminisme bukan tanpa konsekuensi. Sekali lagi, menolak feminisme itu sejurus dengan menolak pluralisme, demokrasi, hak asasi manusia dan konsep-konsep kemanusiaan di berbagai bidang kehidupan. Yang memang harus kita akui datangnya bukan dari Islam. Pernyataan dan argumen menolak feminisme itu sungguh sangat lemah dan mengada-ada. Para aktivis feminisme Muslim yang notabene jadi kekuatan pergerakan aktivis Fatayat dan Muslimat harus mengakui bahwa feminisme mempunyai kontribusi besar terhadap apa yang kita sebut kontekstualisasi kitab kuning dan garapan sosialnya.
Jadi feminisme bukan lagi soal alternatif pemikiran dan gerakan. Ia justru ruh dalam pembebasan perempuan dari kezaliman. Kejujuran intelektual tidak boleh kita kalahkan oleh hanya sebuah “unggah-ungguh.” Feminisme itu sebuah perjalanan dan perjuangan panjang dari pemerdekaan perempuan. Tidak boleh gugur barang sebentar pun, hanya karena penolakan dari salah satu orang saja. Di sinilah konsistensi terhadap feminisme kita uji. Benar saja, bagi para intelektual maupun elit NU yang berada dalam kungkungan “struktur” dan “unggah-ungguh” malah cenderung membela Gus Yahya dengan argumen yang sebetulnya lemah.
Menolak Feminisme, artinya Menolak Kemanusiaan
Saya dan siapa pun sebetulnya sangat menyadari bahwa feminisme itu dakwah kemanusiaan yang sangat berat. Boleh dibilang, siapa “musuh” terberat feminisme? Tidak lain ada tradisi keilmuan dan perilaku Muslim Pesantren dan NU. Sebab feminisme tidak parsial, ia merupakan upaya pembebasan menyeluruh dari belenggu patriarkhi.
Sebuah tradisi patriarkhi yang telah melekat ratusan tahun di Pesantren (NU) tidak mungkin (untuk enggan mengatakan mustahil) bisa kita bongkar dalam sekejap. Karena itulah muncul konsep “mubadalah” yang dipelopori organisasi internasional Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Ini tidak lain adalah gerbong feminisme Muslim terbesar di dunia yang sebetulnya hendak didakwahkan untuk menumpas tradisi patriarkhi di Pesantren dan umat Muslim pada umumnya.
Yang paling subtansial adalah bahwa menolak feminisme itu sama saja menolak kemanusiaan. Pernyataan Gus Yahya kita sadari atau tidak sangat meruntuhkan bangunan feminisme yang selama ini kita perjuangkan berdarah-darah. Kini panggilan hati nurani saya tujukan kepada para aktivis feminisme Muslim. Pernyataan Gus Yahya bukan enteng-entengan, bukan angin lalu. Jangan sampai Gus Yahya yang membenturkan antara feminisme dengan Islam.
Dan yang pasti perjalanan dan perjuangan feminisme itu berjejaring di banyak Perguruan Tinggi di Indonesia. Entah telah berapa banyak proyek feminisme yang telah tergarap oleh berbagai Ormas maupun LSM di Indonesia. Lalu tiba-tiba semua itu digempur hanya oleh satu pernyataan Ketua Umum PBNU, sungguh ini pengerdilan yang akut. Oya ini tulisan dan sharing baik-baik, dalam rangka menikmati dinamika feminisme itu sendiri. []