Mubadalah.id – Sejak tahun 2000, tanggal 4 Februari ditetapkan sebagai hari kanker sedunia. Peringatan tersebut bukan tanpa sebab. Peningkatan drastis penderita kanker, terutama kaum perempuan, menyebabkan banyak pihak untuk menjadikan tanggal keempat pada bulan kedua ini sebagai tonggak aktivisme pencegahan dan sosialisasi bahaya kanker.
Sejarah Hari Kanker
Peneguhan awal peringatan hari kanker sedunia sendiri, saat berlangsungnya World Summit Against Cancer pertama, yang diadakan di Paris. Pada pertemuan ini, para pemimpin lembaga pemerintah dan organisasi kanker dari seluruh dunia menandatangani Piagam Paris Melawan Kanker. Yakni sebuah dokumen yang berisi 10 artikel yang menguraikan komitmen global untuk meningkatkan kualitas hidup pasien penderita kanker dan investasi berkelanjutan terkait penelitian kanker, pencegahan, dan pengobatannya. Secara spesifik, pasal X piagam tersebut secara resmi mendeklarasikan 4 Februari sebagai Hari Kanker Sedunia.
Merujuk laman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kanker adalah istilah umum untuk sekelompok besar penyakit yang dapat menyerang bagian tubuh manapun. Istilah lain yang digunakan adalah tumor ganas dan neoplasma. Salah satu ciri kanker adalah pembentukan sel abnormal yang tumbuh dengan cepat, melampaui batas biasa.
Selanjutnya kanker ini dapat menyerang bagian tubuh yang berdekatan dan menyebar ke organ lain. Jika tidak kita obati secara intens, proses terakhir yang akan terjadi disebut sebagai metastasis. Metastasis disebut sebagai penyebab utama kematian akibat kanker.
Mirisnya, dari tahun ke tahun kasus kanker terus meningkat drastis. Jumlah kematian akibat kanker di seluruh dunia diperkirakan akan meningkat menjadi lebih dari 16,3 juta di tahun 2040.
Meski begitu, menurut WHO, sebanyak 40 persen kematian akibat kanker dapat kita cegah sejak dini. Intinya, meningkatkan kesadaran akan pencegahan kanker bisa membantu dampak negatif agar dapat kita tekan seawal mungkin.
Masalah Kanker di Indonesia
Sayangnya deteksi dini akan kanker jarang orang yang melakukannya di Indonesia ini. Karena masih banyak stigma buruk yang melekat pada kanker. Stigma yang umum berkembang di masyarakat meyakini bahwa penyakit kanker merupakan penyakit mengerikan dan tidak dapat kita sembuhkan. Bahkan ada pula yang menyebutnya sebagai penyakit kutukan karena perbuatan buruk di masa lampau yang selanjutnya membuat pencegahan dan penanganan yang diambil tidak tepat.
Di samping itu, kanker masih dianggap sebagai penyakit menular. Sehingga, alih-alih mendampingi penderita, kerap kali penderita kanker justru kita jauhi karena dianggap akan membuat orang terdekatnya menderita penyakit sama.
Tentunya kondisi seperti ini akan membuat kondisi mental penderita kanker menjadi buruk dan bahkan bisa membuatnya frustasi. Kondisi kejiwaan seperti inilah yang banyak membuat penderita kanker akhirnya merasa putus asa dan tak berdaya. Sehingga para penderita pun enggan untuk mencari tahu tentang pengobatan kanker dan pasrah dengan kondisinya.
Padahal jika merujuk data Kementerian Kesehatan tahun 2020 lalu, kasus penderita kanker di Indonesia mengalami penambahan sebanyak 396.914 kasus baru dengan lima jenis kanker terbanyak, yaitu kanker payudara (16.6%), kanker serviks (9.2%), kanker paru (8.8%), kanker kolorektal (8.6%), dan kanker hati (5.4%), yang berarti meningkat 13,8% dibandingkan penambahan kasus baru di tahun 2018.
Dari data tadi, semakin terlihat bahwa menambatkan stigma sosial pada penyakit kanker akan kian memperburuk kondisi penderitanya. Bahkan semakin banyak individu yang urung melakukan deteksi dini karena kekhawatiran bahwa ia ke depannya akan terkucilkan atau mendapatkan cibiran dari lingkungan sosial.
Kanker Payudara dan Kaum Perempuan
Terlebih ketika yang diderita adalah kanker payudara. Banyak perempuan di Indonesia mendapati bahwa ia menderita kanker ketika kondisinya sudah semakin kritis. Padahal kanker payudara sendiri menempati urutan pertama terkait jumlah kanker terbanyak di Indonesia serta menjadi salah satu penyumbang kematian pertama akibat kanker.
Data Globocan tahun 2020, jumlah kasus baru kanker payudara mencapai 68.858 kasus (16,6%) dari total 396.914 kasus baru kanker di Indonesia. Sementara itu, untuk jumlah kematiannya mencapai lebih dari 22 ribu jiwa kasus.
Selain angka kematian yang cukup tinggi, penanganan pasien kanker yang terlambat menyebabkan beban pembiayaan yang kian membengkak. Pada periode 2019-2020, pengobatan kanker telah menghabiskan pembiayaan BPJS kurang lebih 7,6 triliun rupiah.
Terlambatnya penanganan kanker payudara juga berkelindan dengan budaya perendahan status perempuan penderita kanker. Dalam banyak kasus di Indonesia, ketika terdeteksi menderita kanker, perempuan kita cap sebagai perempuan yang tak lagi normal dan cacat. Hal tersebut bagi masyarakat kita yang sebagian besar masih memandang perempuan sebagai makhluk fisik dan domestik akan semakin menyudutkan posisi perempuan, terutama ketika ia sudah menikah. Ia terlihat sebagai perempuan yang tak lagi sempurna.
Oleh karenanya, penting bagi seluruh pihak untuk tidak lagi memandang sebelah mata penyakit ini. Salah satunya dengan rutin memeriksakan diri dan ketika sudah ada tanda bahwa penyakit itu ada, jangan jauhi penderitanya. Dampingi mereka untuk sembuh karena semakin mereka kita kucilkan, semakin mereka merasa tak ada lagi harapan untuk melanjutkan hidup. (Bebarengan)