Mubadalah.id – Belajar menafsirkan al Qur’an tidaklah mudah. Kita memerlukan seperangkat pengetahuan keagamaan yang banyak dan kriteria yang ketat, demikian biasa kita dengar dan turut yakini. Namun, di kelas metode tafsir yang Buya Husein Muhammad pandu menjadi sangat mudah. Kengerian dan rasa seram yang dimunculkan seperti lenyap diganti dengan semangat dan kegembiraan yang meluap.
Betapa tidak, suasana kelas sangat asik namun tetap khusyuk, gembira dengan tetap menjaga etika, terkadang lucu namun tetap hangat dan syahdu. Hasilnya materi yang mungkin seharusnya berat terasa ringan. Itulah daya pukau yang saya tangkap di kelas tafsir bersama Buya Husein Muhammad.
“Kegelapan menyebabkan kebodohan dan berkaitan dengan kedzaliman. Untuk itu harus menuju cahaya caranya dengan ilmu pengetahuan dan berkeadilan”. Inilah kutipan favorit saya yang mampu menghentak kesadaran sekaligus melecut semangat untuk belajar Tafsir bersama Buya Husein yang beliau pantik di awal kelas.
Al Qur’an dalam pengertian
Al Qur’an tidak menutup adanya penafsiran penafsiran terhadap ayat-ayat yang dikandungnya. Bahkan Al Qur’an sebagai teks suci akan selalu kontekstual (shahih likulli zaman wa makan) sehingga kebenaran yang ada di dalamnya akan mampu menjawab segala problematika umat. Hanya saja penafsiran dan pemahaman atasnya yang terkadang terbatas, karena keterbatasan pengetahuan manusia itu sendiri.
Demikian pula dalam konteks membaca ayat-ayat terkait relasi laki-laki perempuan. Orang kerap melupakan bagaimana konstruksi berpikir seseorang dalam menafsirkan ayat, senantiasa dipengaruhi oleh supr masi kebudayaan tertentu. Terutama kebudayaan yang membentuk cara pandang seseorang terhadap realitas dan teks yang ada. Termasuk membaca al-Qur’an.
Selain itu, orang juga kerap menafikan bahwa ayat al-Qur’an turun dengan menggunakan bahasa, simbol, dan kebudayaan tertentu (Arab). Tujuannya agar masyarakat tersebut memahaminya. Bukan hanya secara tekstual, namun dari substansi bunyi ayat. Termasuk cara pandang terhadap perempuan yang hanya terbatas pada ruang domestik atau dalam konteks kebudayaan Jawa kita kenal dengan konco wingking. Yakni dengan wilayah kerja dapur, sumur, dan kasur.
Pengalaman Mengikuti Kelas Buya Husein
Padahal sejatinya, setelah beberapa kali mengikuti kelas Buya Husein, dengan jelas beliau memaparkan bahwa perempuan juga manusia, sebagaimana laki-laki. Di mana perempuan juga berhak atas ruang publik. Banyak kewajiban yang terbebankan kepada laki-laki dan perempuan itu, tersebutkan dalam al-Qur’an secara setara dan seimbang. Antara lain al-Quran mewajibkan kepada laki-laki dan perempuan untuk menggali ilmu pengetahuan dalam menjalani kehidupan. Dengan kewajiban yang sama, bukankah berarti keduanya setara?
Belajar Tafsir al-Qur’an bersama Buya mengajak dan memandu bahwa perempuan memang menerima tuntutan untuk hidup layaknya manusia yang belajar dan bekerja. Bukan merasa pada posisi manusia ke-2. Itu artinya perempuan sama dengan laki-laki. Bukankah Allah menyuruh manusia sebagai salah satu makhluk ciptaannya berbuat amar ma’ruf nahi munkar?.
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
“Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran [3]: 104).
Prinsip-prinsip dalam Al Qur’an
Prinsip-prinsip kemanusiaan universal itu antara lain terwujud dalam upaya-upaya penegakan keadilan, kesetaraan, kebersamaan, kebebasan dan penghargaan terhadap hak-hak orang lain. Siapa pun dia ini semua berlaku secara universal. Semua orang di mana pun di muka bumi, kapan pun dengan latar belakang apa pun, mencita-citakan hal-hal tersebut. Pernyataan mengenai prinsip-prinsip ini dapat kita jumpai dalam banyak ayat al Qur’an.
Semua proses menuju cahaya bersumber dari al Qur’an sebagai wahyu Allah yang turun kepada Nabi Muhammad Saw untuk manusia. Di mana ia turun di komunitas/peradaban yang tidak mungkin pada komunitas yang tidak dapat dipahaminya. Al Qur’an bukan turun di ruang hampa karena kitab suci Islam ini merupakan respon atas kebudayaan yang ada. Sehingga penafsiran terhadapnya pun sangat beragam dan melahirkan keputusan yang tidak seragam. Begitu juga pemaknaan terhadap hadis. Di mana hadis sebagai penafsir al-Qu’an, juga merupakan segala yang bersandar kepada Nabi Muhammad saw memiliki tafsiran yang berbeda-beda.
Al Qur’an dan al Hadis sebagai sentra utama dalam beragama Islam begitu memberikan ruang terhadap pemaknaan. Maka akan sangat terasa perbedaan tafsirnya jika menggunakan perspektif yang berbeda. Perpektif ini sebagai paradigma pemberi makna akan “tanda” yang ada dalam al Qur’an. Akankah tersingkap kemudian melahirkan makna kemanusaian ataukah tersingkap dangan wajah yang garang?
Prinsip Kemanusiaan dalam Al Qur’an
Eksistensi al-Qur’an melingkupi risalah ketuhanan (ikmal ar-Risalah al-illahiyah), abadi (abadiyyah), universal (alamiyyah), kompherensif (syumuliyah), dan utuh /tidak saling bertentangan (‘adam al ta’arudh). Fungsi al-Qur’an sebagi petunjuk dan pelajaran bagi umat manusia (hidayah li an-nas) dan visinya terdiri dari kerahmatan semesta (rahmatan li’ alamin) dan budi pekerti luhur (al Akhlaq al karimah). Sebagai konsekuensi logis dari keesaan Tuhan dan diberikannya manusia ruang untuk kebebasan dengan perangkat akal. Harapannya memiliki kemampuan untuk menggali wahyu Allah tersebut, sehingga sangat nampak bawa al Qur’an mengandung prinsip kemanusiaan seperti tersebut.
Selain itu, ayat al Qur’an juga dapat kita kategorisasi menjadi ayat yang bersifat universal dan partikular. Universal ditujukan kepada manusia, kepada segala tempat dan waktu, dan berisi prinsip-prinsip kehidupan. Kemudian berlaku tetap (tidak berubah), tidak bisa kita batalkan, muhkamat/Qath’iyat, mendasari segala kebijaksanaan dan aturan, yang terkumpul dalam ayat-ayat makiyyah.
Sedangkan yang partikural merupakan ayat saat merespon problem sosial dengan peristiwa dan kasus yang berbeda. Lalu kita maknai berbeda-beda (interpretable), kontekstual dengan kandungan atau pemaknaannya dapat berubah dari waktu ke waktu. Dari tempat ke tempat lain disebut ayat mutasyabihat/dhanniyyat, umumnya dalam ayat-ayat madaniyah.
Sekali lagi perlu kita ingat bahwa al Qur’an turun pada masa jahiliyyah. Di mana chauvinism meraja, ucapan kasar di mana-mana, dan dendam kesumat antar manusia menjadi biasa. Sehingga pada masa itu perempuan kita anggap manusia yang belum selesai, sehingga perlakuannya pun sangat tidak manusiawi. Perempuan menjadi objek seks dan kemarahan. Makanya al Qur’an turun, kemudian ayat-ayatnya menjadi landasan untuk membuat konstitusi yang berprinsip Hak Asasi Manusia.
Al Qur’an untuk Kemanusiaan dan Keadilan
Al Qur’an diturunkan secara bertahap, berangsur dan tidak sekaligus, berjalan sesuai dengan perkembangan social (evolutif), merepon isu dan menawarkan solusi (dialogis-negosiatif), memudahkan (tidak menyulitkan), melakukan perubahan (transformative), dan melakukan pemihakan kepada yang tertindas-teraniya (advokatif). Hal ini dapat kita maknai sebagai strategi dan policy Allah sehingga menjadi Mantiqatul iltiqo’– mantiqatul jisr, ruang pertemuan/kompromi/negosiasi-ruang penyebrangan menuju cita-cita universal.
Kehadiran Nabi Muhammad saw dengan akhlak mulia dan terlibat dalam setiap persoalan umat sehingga memperjelas makna al Qur’an di zamannya. Sebagai pengikutnya tentu kita memiliki pandangan terhadap sang manusia suci dan sang pemberi pelekat keisitimewaan padanya dengan konsep dan fungsinya; kepercayaan pada bentuk metafisis dan eksatologis (‘aqidah/al iman bi al ghaibiyyat), dan redaksi berbentuk berbeda (khabar).
Tuhan dan Nabi sebagai penyampai berita (mukhbir), hubungan manusia dengan Tuhan secara personal (ibadah), bentuk kreasi Tuhan dan atau nabi (ibtikari/kreativistas), tetap Tuhan dan nabi sebagai creator, pencipta (mubtakir), hubungan antar manusia (mu’ammalat). bentuk: kritik (naqdi), Tuhan dan Nabi sebagai kritikus (naqid); dialektis.
Metode Memahami Pesan Al Qur’an
Melihat hubungan antar manusia ini pendekatan dalam bermuammalat adalah dengan tidak mendzalimi (‘adam adh-dhulm), tidak merugikan / menyakiti (‘adam adh-dharar), tidak manipulative/menipu/memanipulasi (‘adam al-gharar), non-diskriminatif (‘adam al-ihtiqar), tidak spekulasi naïf (‘adam al-ihtiqar), saling menerima (‘an tardhi), musyawarah dan kesepakatan (asy-syura wa at-ittifaq), dan kepentingan umum/kebaikan umum (maslahat ‘ammmah).
Maka untuk mengungkap maksud dalam al Qur’an memiliki metode, memahami terhadap teks-teks (ayat-ayat) al Qur’an dengan memahami bahasa (nafs al khitab), memahami situasi/kondisi orang yang menyampaikan dan penerima (mukhatib-mukhatab), memahami latar belakang ayat (asbab an nuzul), memahami tradisi, dan system social, ekonomi, politik dan budaya (al-umur al-kharijiyyah), dan memahami rasionalitas teks (‘illat al hukm).
Masih panjang perjalanan untuk terus belajar untuk menggali firman Tuhan yang dieksternalisasikan untuk umat manusia dalam bentuk al Qur’an. Bagaimanapun tekad akan kemanusiaan dan keadilan menjadi pegangan untuk menafsirkannya. Sungguh, betapapun sulitnya proses belajar menafsirkan al Qur’an ini akan sangat mudah dan menyenangkan jika kita saling berbagi hal positif dalam bentuk energi dan sinergi. Tentunya kita belajar tafsir al Qur’an bersama Buya Husein sebagai salah satu Ulama yang memiliki kapasitas keilmuan, otoritas di masyarakat dan solidaritas terhadap kemanusian menuju peradaban yang berkeadilan. []