• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Urgensi Moderasi Beragama untuk Meningkatkan Toleransi Beragama

Praktik ibadah atau aktivitas yang kita lakukan di musala tersebut bukanlah sesuatu yang dapat kita tolerir, karena sudah berlebihan dan menganggu orang di sekitar mereka

Sarifah Mudaim Sarifah Mudaim
08/04/2023
in Personal
0
Toleransi Beragama

Toleransi Beragama

599
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Bulan Ramadan yang penuh berkah membuat setiap umat Islam berlomba-lomba dalam beribadah dan berbuat kebaikan. Termasuk didalamnya adalah praktik moderasi beragama untuk menjaga nilai-nilai toleransi. Kok bisa? Ini berkaca pada pengalaman teman saya. Di mana ia bercerita bahwa akhir-akhir ini dia agak terganggu dengan aktivitas di musala saat Ramadan pada malam hingga dini hari. Dia tinggal di dekat musala , dan menjalankan ritual ibadah selama Ramadan di musala tersebut.

Namun, selama Ramadan kegiatan di musala berlangsung hingga dini hari. Bahkan tersiar melalui pengeras suara, di mana kondisi tersebut cukup menganggu. Sebab aktivitas itu bukanlah mengaji dan tarawih, melainkan hanya memutar musik dengan volume tinggi. Bertambah pula kebisingan datang dari suara gaduh yang datang dari warga sekitar. Di mana mereka bermain game dan tawa terbahak-bahak hingga dini hari. Sebagai orang yang tinggal di dekat musala, tentu saja hal ini menganggu, karena esok harinya teman saya harus kuliah.

Kebisingan yang teman saya gambarkan di atas, juga mempengaruhi warga sekitar yang merasa terganggu dengan aktivitas di musala, yang ternyata justru lebih banyak aktivitasnya bukan untuk beribadah. Bagaimana jika ada orang yang sedang sakit, keluarga yang memiliki bayi dan lansia yang mudah terbangun karena suara gaduh?

Hal ini pasti menganggu mereka, hingga mereka kesulitan untuk istirahat. Bahkan tidak jarang saat siang dan sore hari pun memutar musik atau lagu dengan menggunakan pengeras suara musala. Alasannya karena mencintai kanjeng Nabi Muhammad.

Aturan Penggunaan Pengeras Suara

Sejauh ini, jika kita merujuk pada Surat Edaran Menteri Agama Nomor 05 Tahun 2022, tentang aturan pengeras suara luar musala dan masjid. Di mana dalam aturan tersebut menjelaskan bahwa pengeras suara hanya boleh digunakan untuk lima kegiatan saja. Pertama, pengeras suara luar hanya boleh untuk pembacaan Alquran atau selawat sebelum azan selama maksimal 10 menit.

Baca Juga:

Kontekstualisasi Ajaran Islam terhadap Hari Raya Waisak

Bekerja adalah Ibadah

Keheningan Melalui Noble Silence dan Khusyuk sebagai Jembatan Menuju Ketenangan Hati

Pesan Toleransi dari Perjalanan Suci Para Biksu Thudong di Cirebon

Kedua, mengumandangkan azan salat lima waktu. Ketiga, takbir pada tanggal 1 Syawal atau 10 Zulhijah dapat dilakukan hingga pukul 22.00 waktu setempat. Keempat, pelaksanaan salat Idul Fitri dan Idul Adha. Lima, upacara peringatan hari besar Islam atau pengajian dengan jamaah yang banyak.

Teman saya sudah mencoba berbicara dengan pengurus musala mengenai akivitas yang menganggu tersebut. “Bulan Ramadan adalah bulan mulia dengan berbagai keutamaan di dalamnya, nafas orang yang sedang menjalankan ibadah puasa bernilai pahala, bulan Ramadan merupakan panen pahala dan disunnahkan untuk menghidupkan malamnya. Semoga mbak bisa bertoleransi’.’ Jawab sang pengurus musala. Apa makna toleransi yang dimaksud pengurus musala itu, jika hal tersebut mengganggu orang lain?

Istilah toleransi dalam konteks sosial, budaya dan agama berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok atau golongan yang berbeda dalam suatu masyarakat. Praktik ibadah atau aktivitas yang kita lakukan di musala tersebut bukanlah sesuatu yang dapat kita tolerir, karena sudah berlebihan dan menganggu orang di sekitar mereka.  Sikap yang berlebih-lebihan dalam agama Islam dilarang. Bahkan terhadap sesuatu yang baik pun menjadi buruk. Apalagi yang jelas-jelas buruk.

Praktik Moderasi Beragama

Maka penting untuk memahami moderasi dalam beragama agar praktik ibadah yang tidak menganggu orang lain. Moderasi dalam kamus bahasa Indonesia ialah menghindari kekerasan, menghindari keekstreman, atau sesuatu yang berada di tengah. Menurut buku saku Moderasi Beragama terbitan Kemenag pada 2019, menerangkan bahwa moderasi beragama adalah cara beragama jalan tengah sesuai pengertian moderasi yang telah saya sebutkan di atas. Dengan moderasi beragama, seseorang tidak berlebih-lebihan saat menjalani ajaran agamanya. Karena memegang teguh pada prinsip beragama yang moderat. Yakni adil dan berimbang.

Masih dari buku saku moderasi beragama, dalam buku tersebut ada penjelasan sesuatu yang dinilai berlebihan jika melanggar tiga hal. Yaitu nilai kemanusiaan, kesepakatan bersama, dan mengganggu ketertiban umum. Menghidupkan malam di bulan Ramadan memang sungguh dianjurkan. Namun jika praktiknya seperti yang teman saya alami, maka hal tersebut termasuk berlebih-lebihan dan tidak sesuai dengan moderasi beragama.

Selain itu, ada nilai lain yang harus kita perhatikan. Yakni terkait kemanusiaan sebagai salah satu esensi agama. Inti pokok ajaran agama adalah untuk menjaga kemanusiaan dan memanusiakan manusia. Melalui toleransi itulah kemudian muncul sikap moderasi beragama. Jadi, kata toleransi bukan sebagai dalih untuk membenarkan keinginan perorangan. Tetapi kita juga ikut peduli dengan kondisi orang lain yang merasa terganggu.

Adil dan Berimbang

Sementara itu, Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm., dalam buku Nalar Kritis Muslimah menjelaskan bahwa watak asli agama adalah moderat. Namun manusia membuatnya berlebih-lebihan atau sebaliknya. Maka penting dalam moderasi beragama untuk melihat bukan karena  agamanya yang kita moderasi. Akan tetapi praktik beragama yang perlu kita moderasi. Selanjutnya Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm., juga menjelaskan bahwa moderasi beragama memiliki nilai kunci. Yaitu adil dan berimbang, khususnya dalam mengatur relasi manusia dengan Allah SWT, dan dengan alam semesta raya.

Melalui penjelasan di atas, maka moderasi beragama bertujuan untuk menjadi penengah serta mengontrol ke dalam agama, bagaimana untuk bergerak ke tengah-tengah kembali pada esensi ajaran agama. Yakni memanusiakan manusia dengan menjaga semangat keseimbangan yang kita tekankan dalam moderasi beragama. Jadi, agama harus kita amalkan untuk menebarkan rahmat dan kasih sayang bagi alam semesta dengan segala isinya. Semoga kita sama-sama terus belajar bermoderasi dalam beragama untuk lebih meningkatkan rasa toleransi beragama. []

 

 

Tags: ibadahModerasi BeragamaMusalapuasaRamadan 2023toleransi
Sarifah Mudaim

Sarifah Mudaim

Sarifah Mudaim perempuan yang lahir di kota Indramayu penikmat kopi, tanpa senja dan puisi apalagi filosofi. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa STKIP Pangeran Dharma Kusuma, segeran, Juntinyuat, Indramayu juga sebagai salah satu anggota dari Perempuan Membaca, Puan Menulis dan Waderlis (wadon dermayu menulis). Bisa disapa-sapa melalui akun instagram @sarifah104 atau email [email protected]

Terkait Posts

Inspirational Porn

Stop Inspirational Porn kepada Disabilitas!

19 Mei 2025
Kehamilan Tak Diinginkan

Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial

18 Mei 2025
Noble Silence

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

17 Mei 2025
Suami Pengangguran

Suami Pengangguran, Istri dan 11 Anak Jadi Korban

16 Mei 2025
Keadilan Semu

Membuka Tabir Keadilan Semu: Seruan Islam untuk Menegakkan Keadilan

15 Mei 2025
Memahami Disabilitas

Memahami Disabilitas: Lebih Dari Sekadar Tubuh

14 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version