Mubadalah.id – Islam merupakan agama yang hadir untuk membebaskan serta mengakui eksistensi perempuan. Bahkan Kiai Faqihuddin Abdul Qodir dalam Buku Qira’ah Mubadalah menyebutnya sebagai revolusi peradaban.
Semenjak Islam datang, perempuan menjadi manusia yang bermartabat. Awalnya perempuan dijadikan barang dagangan dan harta warisan, Islam memberinya hak untuk mendapatkan warisan.
Perempuan yang awalnya boleh dipoligami sebanyak-banyaknya, Islam memberinya hak untuk diperlakukan dengan baik oleh pasangannya. Awalnya perempuan dikubur hidup-hidup, Islam memberinya hak untuk hidup merdeka sebagai manusia seutuhnya.
Hal ini dibenarkan oleh sahabat Nabi Muhammad Saw yaitu Umar bin Khattab dalam sebuah hadits yang berbunyi:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُما – قَالَ : قَالَ عُمَرُ بْنُ الخَطَابِ رَضِيَ الله عنه:كنا في الْجَاهِلِيَّةِ لَا تَعُدُّ النِّسَاءَ شَيْئًا، فَلَمَّا جَاءَ الإِسْلامُ وَذَكَرَهُنَّ اللَّهُ ، رَأَيْنَا لَهُنَّ بِذَلِكَ عَلَيْنَا حَقًّا. رَوَاهُ البخاري.
Artinya: Dari Ibn Abbas Ra, Umar bin Khattab Ra berkata: “Dulu kami pada masa jahiliyah, tidak memperhitungkan perempuan sama sekali. Ketika Islam turun, dan Allah mengakui mereka, kemudian kami memandang bahwa mereka pun memiliki hak atas kami”. (Shahih Bukhari)
Hadis ini adalah sebuah penegasan bahwa Islam hadir membawa visi dan misi untuk mengakui eksistensi perempuan dan juga membebaskannya dari segala bentuk kezaliman dari masyarakat jahiliyah waktu itu.
Meskipun begitu, nyatanya diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan sampai saat ini masih banyak terjadi. Perempuan kerapkali direndahkan, menjadi korban kekerasan dan juga mengalami berbagai bentuk ketidakadilan.
Hal ini terjadi karena masih banyak masyarakat yang gagal paham dalam menafsirkan teks-teks sumber dan sejarah awal Islam yang kita terapkan pada kondisi dan perilaku kita terhadap perempuan sekarang ini di berbagai belahan dunia Islam.
Islam Rahmatan Li al-’Alamin
Untuk itu, jika kita yakin bahwa Islam adalah agama yang rahmatan li al-’alamin, segala bentuk penindasan perempuan atas nama agama harus segera kita hapuskan. Salah satunya dengan mengkaji dan menyebarkan tafisr-tafsir agama yang ramah terhadap perempuan.
Di sisi lain, tafsir teks agama juga harus menyesuaikan dengan kondisi dan keadaan masyarakatnya. Seperti yang Buya Husein Muhammad sampaikan dalam Ngaji Kamisan bahwa ayat al-Qur’an turun tidak dalam ruang kosong, tetapi beberapa turun karena untuk merespon realitas waktu itu.
Dengan begitu, teks tersebut bukan hanya sekedar hadir, tapi menjadi solusi atau jawaban terhadap persoalan yang tengah masyarakat hadapi pada masa itu.
Maka dari itu, saya kira dalam menafsirkan teks-teks keagamaan, kita juga perlu melihat realitas sosial yang tengah kita hadapi. Sehingga cara pandang terhadap teks itu berangkat dari kebutuhan dan pengalaman masyarakat.
Misalnya dalam persoalan isu perempuan, sebagaimana para Ulama Perempuan Indonesia lakukan. Yaitu menjadikan pengalaman dan suara perempuan sebagai sumber pengetahuan dalam menafsirkan sebuah teks keagamaan. Dengan begitu, hasil dari penafsirannya akan sesuai dengan kebutuhan perempuan. []