Mubadalah.id – Saat mendengar kata feminisme apa yang terbesit di benak anda? Sebuah paham keperempuanan? Kebangkitan perempuan? Atau justru kesetaraan gender untuk perempuan? Yang jelas pembahasanya tidak akan jauh dari kata perempuan bukan?
Pembahasan tentang perempuan khususnya feminisme memang selalu menarik perhatian, khususnya terkait isu-isu kontemporer. Terlebih lagi jika sudah disangkut pautkan dengan nilai dan norma-norma agama. Dalam hal ini feminisme telah memancing pro dan kontra berbagai pihak, tak terkecuali dalam dunia Islam.
Kemunculan Feminisme dalam dunia Islam
Bibit-bibit feminisme muncul di Barat pada akhir abad ke-18 dan mulai berkembang pesat pada abad ke-19, sebagai respons atas sistem patriarki yang telah mengekang perempuan selama berabad-abad lamanya. Dalam perjalanannya gerakan feminisme memunculkan berbagai aliran seperti feminisme liberal, marxsis, radikal, sosialis hingga aliran feminisme yang baru muncul pada abad ke-21.
Setiap aliran feminisme memiliki pandangan yang berbeda khususnya mengenai penyebab terjadinya sistem patriarki dan jalan penyelesainya. Namun semua aliran tersebut memiliki kesamaan dalam memperjuangkan hak-hak perempuan yang selama ini terkubur oleh sistem patriarki.
Kemunculan feminisme di Barat telah menginspirasi berbagai kalangan untuk membongkar sistem patriarki, dan menciptakan dunia baru yang lebih adil bagi perempuan. Tak terkecuali para aktivis dan cendekiawan muslim yang mulai mengadopsi ide-ide feminisme untuk mereka terapkan dalam dunia Islam. Hal tersebut mereka lakukan karena adanya anggapan bahwa budaya patriarki tidak hanya terjadi di Barat namun juga dalam kehidupan umat muslim.
Feminisme dalam Interpretasi teks-teks agama
Selain disebabkan oleh faktor sosio-kultural, kemunculan sistem patriarki dalam kehidupan umat Islam juga dipengaruhi oleh interpretasi teks-teks agama (Al-Qur’an dan Hadist). Teks agama yang menjadi sumber rujukan utama umat Islam mempengaruhi norma dan hukum-hukum turunannya (fiqih). Hal ini membuat interpretasi teks agama memegang andil yang cukup besar terhadap adanya sistem patriarki dalam kehidupan umat Islam.
Menurut beberapa mufasir seperti Riffat Hasan dan Amina Wadud, ketimpangan gender sebagai bibit dari sistem patriarki muncul akibat adanya dominasi para mufassir laki-laki. Hal ini menyebabkan orientasi hasil penafsiran lebih berpihak pada kepentingan laki-laki, atau setidaknya sudut pandang dan pengalaman perempuan kurang dieksplor di dalamnya.
Fakta tersebut mendorong beberapa mufasir untuk melakukan suatu pembaharuan metode penafsiran dengan memasukan nilai-nilai feminisme dalam menafsirkan teks-teks agama yang bernuansa gender. Para mufasir ini selanjutnya lebih kita kenal dengan istilah mufassir feminis. Mereka banyak menyuarakan konsep keadilan gender dalam Islam melalui penafsiran Al-Qur’an dan Hadis.
Feminisme hanya sebagai alat
Satu hal yang perlu kita garis bawahi adalah bahwa para mufasir ini tidak pernah meragukan eksistensi dan validitas teks-teks agama, khususnya terhadap Al-Qur’an. Mereka hanya menyoal interpretasinya yang dianggap sarat akan ketimpangan gender dan mendukung sistem patriarki.
Para mufassir yang tergolong sebagai mufasir kontemporer ini, banyak menggunakan pendekatan baru dalam menafsirkan teks-teks agama. Misalnya pendekatan hermeneutika kontekstual dan sosio historis untuk menemukan makna teks yang lebih relevan dengan zamannya.
Beberapa mufasir kontemporer yang beraliran feminis, banyak menggunakan sudut pandang feminisme dalam menafsirkan teks-teks agama. Mereka menggunakan feminisme sebagai alat untuk membongkar penafsiran bernada patriarkis yang telah mapan sebelumnya.
Interpretasi yang mereka hasilkan dari sudut pandang feminisme ini pun jauh berbeda dari hasil penafsiran para mufasir klasik. Hasil penafsiran feminisme banyak menyuarakan ayat-ayat yang mendukung kesetaraan gender. Mengkaji ulang hukum-hukum di ranah publik maupun domestik (rumah tangga), bahkan menyoal eksistensi wanita dari segi penciptaan nya.
Pro dan Kontra Feminisme
Oleh sebab itu, kita akui atau tidak keberadaan feminisme yang telah masuk dalam ranah interpretasi teks agama, telah membawa revolusi besar pada pandangan umat Islam terhadap perempuan. Hal ini, sudah tentu memancing pro dan kontra dari berbagai kalangan terkait feminisme itu sendiri.
Misalnya, seorang perempuan bernama Maryam Jameela, ulama perempuan keturunan Yahudi dari Amerika yang justru mengkritik keras sekularisme di Barat. Ia menganggap bahwa feminisme adalah produk barat yang justru dapat merusak syariat Islam. Terutama tentang hukum keluarga. Nada kontra terhadap feminisme juga pernah viral beberapa saat yang lalu oleh Ketua Umum Nahdlatul Ulama dalam pidatonya.
Namun faktanya hingga saat ini feminisme tetap tumbuh subur dalam tubuh umat Islam, bahkan geraknya semakin massif. Khususnya di Indonesia, sebagai negara dengan populasi muslim terbanyak. Hal ini dapat kita lihat dengan berjamurnya para ulama bercorak feminis seerti; Siti Musdah Mulia, Nur Rofiah, Faqihuddin Abdul Kodir, Husein Muhammad, dengan berbagai macam konsep feminismenya. Belum lagi diadakan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang menjadi wujud gerakan nyata feminisme Islam di Indonesia
Islam sudah lebih dulu Feminis
Jika feminisme kita artikan sebagai paham pembebasan terhadap perempuan dari kekangan budaya patriarki, maka sebenarnya Islam sudah lebih dulu feminis dari pada feminisme itu sendiri. Ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah telah membawa banyak hal yang revolusioner dan berhasil mengangkat derajat perempuan pada masanya.
Kita bisa melihat bagaimana teologi Islam sedikit-demi sedikit membongkar budaya patriarki yang sangat melekat pada masyarakat Arab jahiliyah saat itu. Misalnya saja tentang hak waris yang harus diberikan kepada perempuan. Di mana sebelum itu jangankan mendapat hak waris, status perempuan justru sebagai benda yang diwariskan. Juga terhadap perintah poligami sebagai jumlah pembatasan, yang mana dahulu laki-laki boleh memiliki istri tanpa batas. Ataupun tentang aturan zihar, ila’ dan hijab sebagai bentuk perlindungan terhadap perempuan.
Melihat fakta tersebut, bukankah Islam sudah sangat feminis? Yang menjadi pertanyaan sekarang apakah Islam juga mendukung feminisme modern? Hal inilah yang banyak memancing pro dan kontra, dan banyak orang yang berdebat karena istilah tersebut.
Jangan berdebat hanya karena Istilah
Sejauh yang saya pahami, jika feminisme yang dimaksud adalah bentuk pembelaan dan pembebasan perempuan, maka Islam tidak melarang bahkan mendukungnya. Namun yang perlu kita tanyakan adalah apakah ideologi yang mendasarinya? dan ke mana orientasinya?
Jika feminisme itu berideologi tauhid terlebih memiliki landasan qurani, maka itulah bentuk feminisme yang dibenarkan. Bukan feminisme berhaluan liberal, radikal atau pun ideologi lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai keislaman.
Kemudian kemanakah orientasinya? Jika feminisme ini bertujuan meningkatkan ketaatan secara spiritual, menciptakan kestabilan sosial, dan meminimalisir adanya kezaliman yang berbasis gender. Maka itulah bentuk feminisme yang dapat diterima. Namun jika feminisme ini berorientasi pada upaya balas dendam, atau dalam rangka melegitimasi kebenaran atas dorongan hawa nafsu, terlebih bertentangan dengan nilai-nilai dasar keislaman. Maka upaya feminisme tersebut harus kita tolak.
Intinya jangan hanya memperdebatkan istilah “feminisme” saja. Kita harus lebih jeli bentuk feminisme apa yang sedang dibicarakan. Istilah tersebut memang berasal dari Barat, tapi esensinya sendiri sebenarnya sudah ada dalam Islam.
Karena semua itu hanya permasalahan istilah, bolehkah kita menyebutnya dengan nama lain? Tentu saja boleh. Misalnya Faqihuddin Abdul Kodir yang menyebutnya dengan mubadalah, atau R.A Kartini yang dikenal dengan emansipasi wanitanya. Atau apakah anda ingin membuat Istilah lain? Silahkan…