Mubadalah.id – Diktum-diktum Islam telah memberikan ruang pilihan bagi perempuan—dan juga laki-laki—untuk menjalani peran-peran politik domestik maupun publik, untuk menjadi cerdas dan terampil.
Sejarah kenabian mencatat sejumlah besar perempuan yang ikut memainkan peran-peran ini bersama kaum laki-laki. Khadijah Ra., Aisyah Ra., Ummu Salamah Ra., dan para istri nabi yang lain.
Fathimah Ra. (putri nabi), Zainab Ra. (cucu nabi), dan Sukainah Ra. (cicit nabi) adalah perempuan-perempuan terkemuka yang cerdas.
Mereka sering terlibat dalarn diskusi tentang tema-tema sosial dan politik, bahkan mengkritik kebijakan-kebijakan domestik maupun publik yang patriarkis.
Partisipasi perempuan juga muncul di sejumlah barat (perjanjian, kontrak) untuk kesetiaan dan loyalitas kepada pemerintah.
Sejumlah perempuan sahabat Nabi Muhammad Saw., seperti Nusaibah binti Ka’ab Ra., Ummu Athiyyah al-Anshariyah Ra., dan Rabi’ binti al-Mu’awwadz Ra. ikut bersama kaum laki-laki dalam perjuangan bersenjata melawan penindasan dan ketidakadilan.
Umar bin Khathab Ra. juga pernah mengangkat Asy-Syifa, seorang perempuan cerdas dan tepercaya, untuk jabatan manajer pasar di Madinah.
Politik Perempuan Alami Reduksi
Sayangnya, dalam perjalanan sejarah politik kaum Muslimin, partisipasi politik perempuan mengalami proses degradasi dan reduksi secara besar-besaran.
Ruang aktivitas perempuan dibatasi hanya pada wilayah domestik dan diposisikan secara subordinat. Pembatasan-pembatasan ini bukan hanya terbaca dalam kitab-kitab klasik, tetapi juga muncul dalam realitas sosial.
Sejarah politik Islam sejak wafatnya Nabi Muhammad Saw. dan masa Khulafaur Rasyidin sampai pada awal abad ke-20 tidak banyak menampilkan tokoh perempuan dalam peran-peran mereka di ranah publik.
Secara umum, alasan yang digunakan bagi peminggiran sekaligus pemingitan perempuan ini adalah bahwa pada umumnya, kaum perempuan dipandang sebagai pemicu hubungan seksual yang terlarang.
Bahkan kehadiran mereka di tempat umum dipandang sebagai sumber godaan (fitnah) dan memotivasi atau menstimulasi konflik sosial.
Karena itu, pemingitan perempuan merupakan suatu keharusan, sebagai cara menjaga kesucian dan kemuliaan agama. []