Mubadalah.id – Lebaran adalah moment kebahagian dan perayaan yang dinantikan oleh seluruh umat muslim. Lebaran memiliki nilai euphoria tersendiri bagi umat Islam. Baik Idulfitri maupun Iduladha selalu identik dengan perayaan, suka cita dan menikmati makanan bersama. Kebahagiaan ini sangat universal, mulai dari anak-anak hingga lansia, laki-laki dan perempuan, apapun suku dan negaranya ikut berbahagia dangan adanya lebaran.
Euforia Lebaran
Bahkan tak jarang sebagian non muslim juga merasakan euphorianya. Jadi tak heran jika kedua Eid ini kita sebut sebagai hari raya, karena kehadiranya identik dengan perayaan dan suka cita. Maka sudah seharusnya kita fokus pada kebahagiaan yang terdapat pada dua hari raya tersebut. Jangan sampai hanya karena beberapa perbedaan kita malah sibuk menyalahkan orang lain dan merusak moment kebahagiaan universal ini.
Esensi Hari Raya
Berbincang soal esensi biasanya kita akan berhadapan dengan nilai-nilai filosofis. Esensi itu terkait dengan makna atau tujuan sebenarnya dari hal-hal yang bersifat simbolik. Dalam Idulfitri misalnya, puasa selama satu bulan Ramadan bermakna pengekangan dan pengendalian nafsu hewaniyah (makan, minum, sex).
Kita berlatih untuk menahan dan mengendalikan semua itu, agar bisa menemukan jati diri kita yang fitrah sebagai manusia. Oleh kerena itu dalam Idulfitri kita kenal adanya Zakat Fitrah, yang menjadi simbol fitrahnya manusia setelah berhasil mengekang nafsu hewaniyahnya. Itulah kenapa kewajiban zakat fitrah tidak kita kaitkan dengan aturan nisab seperti zakat yang lainya. Namun berkaitan dengan kehidupan dan jiwa seseorang.
Tidak lama setelah Idulfitri kita kembali akan bertemu dengan hari raya lainnya, yakni Iduladha. Jika Idulfitri identik dengan ibadah puasa, maka Iduladha Identik dengan ibadah haji dan kurban. Membahas esensi atau makna filosofis dari Ibadah haji mungkin akan sangat panjang dan tidak mungkin saya tulis disini.
Namun yang jelas Ibadah haji mengajarkan kita akan ukhuwah Islamiyah. Umat Islam yang tersebar di seluruh penjuru dunia, yang terbagi-bagi dalam bermacam-macam bagsa, ras, suku dan golongan dipertemukan dalam satu tempat. Mereka datang memenuhi panggilan Tuhanya, dengan statusnya yang sama sebagai hamba-Nya, tak peduli apapun ideologi, jabatan maupun kelas sosialnya.
Ibadah Kurban
Sementara Ibadah kurban mengajarkan kita arti keikhlasan. Kurban bukan sekedar ritual tahunan, moment pesta daging, atau justru ajang pamer kekayaan. Yang terpenting bukan jumlah, jenis, ataupun nominal dari hewan yang kita kurbankan, melainkan ketakwaan dan keikhlasan orang yang berkurban.
Kurban mengajarkan kita untuk mengikhlaskan sesuatu, bahkan yang sangat kita cintai, serta bersabar menerima semua ketetapan Tuhan. Sebagaimana Nabi Ibrahim dengan ikhlas mengorbankan putranya, dan Nabi Ismail dengan sabar menerima ketetapan-Nya.
Kurban juga mengajarkan kita untuk menempatkan ketaqwaan pada Allah di atas semua hal yang kita cintai. Entah itu cinta terhadap anak ,pasangan, harta atau apapun bentuknya. Hal ini kiranya sesuai dengan QS. Al-Hajj ayat 37, yang menerangkan bahwa esensi Qurban bukan terketak pada hewan sembelihan, namun ada pada ketakwaan orang yang melaksanakanya.
Selain bukti ketakwaan, kurban juga menjadi momen pelatihan syukur bagi manusia. Dengan adanya perintah kurban setiap orang dapat merasakan menikmati makanan daging yang mungkin sulit mereka dapatkan pada hari-hari biasa. Kenikmatan tersebut juga kenikmatan yang universal. Menikmati daging tidak hanya dirasakan orang-orang kaya saja. Pada hari itu orang-orang fakir dan miskin juga dapat menikmatinya.
Kenikmatan ini akan menjadi pengantar syukur bagi setiap orang yang merasakanya. Hal ini juga memperkuat keyakinan kita terhadap sifat pemurah Allah. Sebagaimana tersebutkan dalam Al-Qur’an bahwa Allah telah memberi banyak kenikmatan dan manfaat dengan adanya hewan ternak. Sebagian kita kendarai, lalu sebagian kita manfaatkan kulitnya dan sebagainya lagi untuk kita makan.
Dimensi Kehambaan dalam Menikmati Makanan
Baik Iduladha maupun Idulfitri memiliki esensi tersendiri, banyak pelajaran yang dapat kita ambil dari ritual Ibadah yang disyariatkan. Selain itu, keduanya juga memiliki nilai euphoria tersendiri. Euphoria dalam hal ini tidak bermakna negatif, ia adalah semacam bentuk kebahagiaan masal yang terekspresikan melalui tidakan nyata.
Pada saat lebaran kita biasa menyaksikan adanya tradisi takbir keliling, menyalakan petasan, kembang api, halal bi halal, dan acara makan-makan. Tanpa perlu analisis panjang, kita bisa tahu bahwa hal-hal tersebut bukan bagian dari syariat, melainkan sebuah ekspresi kebahagiaan dalam menyambut kedatangan hari raya. Hari yang memang sudah seharusnya dirayakan oleh umat Islam.
Sebagian besar tradisi di atas hanya kita lakukan saat Idulfitri, dan tidak pada Iduladha. Namun ada satu tradisi yang menjadi kesamaan setiap hari raya, baik Idulfitri maupun Iduladha. “Ya, tepat sekali” tradisi menikmati makanan bersama.
Hampir semua orang Indonesia tentu tahu, bahwa Idulfitri identik dengan ketupat, dan Iduladha Identik dengan sate. Keduanya sama-sama memiliki makanan sebagai Iconnya. Pertanyaanya, Apakah makan-makan juga sekedar euphoria lebaran saja? Atau adakah pelajaran yang dapat kita ambil darinya?
Jawabanya tentu ada. Kita bisa melihat bagaimana Al-Qur’an banyak mengapresiasi perihal makanan. Dari mulai perintah makan, kaidah halal-haram makanan, sampai dengan cerita dan mukjizat para rasul berupa makanan.
Saking pentingnya makanan, sampai dijadikan nama salah satu surat dalam Al-Qur’an. Tidak berhenti sampai di situ, bahkan syariat mengharamkan puasa di hari raya dan hari tasyrik yang notabene kita disuruh untuk merayakan lebaran dengan makan-makan.
Hikmah di Balik Mneikmati Makanan Hari Raya
Apa yang dapat kita ambil pelajaran dari semua itu? Salah satu pelajaran yang pernah saya dapat dari guru saya, perihal makanan adalah bahwa makanan menunjukan sisi kehambaan manusia. Makanan adalah kebutuhan pokok manusia. Manusia membutuhkan makanan untuk bertahan hidup. Sekuat apapun manusia, setinggi apapun ilmu, jabatan, maupun kastanya, ia tetap tidak akan bisa hidup tanpa makanan.
Jika kita menghayati hal ini menunjukan sisi kelemahan manusia. Untuk dapat hidup saja manusia masih membutuhkan makanan sebagai penyambungnya. Lantas apa yang mau kita sombongkan? Sehingga pada akhirnya ia akan menyadari bahwa untuk mendapatkan makanan ia masih harus bergantung pada rizki yang diberikan Tuhan.
Mungkin penjelasan di atas terlalu dalam, jika kita hanya menikmati makanan dan moment hari raya sebagai euphoria saja. Maka dari itu, Al-Qur’an berulang kali mengingatkan manusia untuk berpikir dan mau mengambil pelajaran. Bahkan ada satu fakta menarik. Bahwa Al-Qur’an pernah menggunakan makanan untuk membela tauhid.
Anda dapat melihatnya dalam QS. Al-Maidah ayat 75 dan QS. Al-Furqan ayat 20. Ayat tersebut menjadi bantahan terhadap pengkultusan Nabi atau Rasul sebagai Tuhan yang kita sembah, karena mereka juga manusia yang masih membutuhkan makanan. Hanya Allah S.W.T saja yang tidak membutuhkan makanan, apa lagi diberi makan (QS.Az-Zariyat : 57). []