Mubadalah.id_Tulisan ini akan sedikit bercerita tentang kisah seorang perempuan yang suaranya telah mengetuk pintu langit. Berkat suara perempuan sebuah hukum ditetapkan. Bahkan kisahnya terus abadi dalam lembaran-lembaran kitab suci.
Akibat Terbawa Emosi
Alkisah pada zaman kenabian, hiduplah seorang perempuan yang baik akhlaqnya. Ia adalah seorang perempuan yang telah bersuami dan memiliki anak. Suatu hari dia sedang asyik bersujud pada Tuhannya. Namun ternyata Sang Suami telah datang dan memperhatiakannya cukup lama. Hingga selesai menunaikan salat Sang suami pun mengutarakan hajatnya. Namun karena suatu alasan dia pun menolak ajakan suaminya.
Mendapatkan penolakan saat hasrat bergelora mungkin membuatnya kesal. Dalam keadaan marah Sang Suami mengeluarkan kata-kata yang tidak semestinya. Kata-kata itu sebenarnya adalah kiasan. Namun memiliki akibat yang cukup fatal.
Sadar telah mengucapkanya dalam keadaan emosi, Sang Suami sangat menyesalinya. Namun mau bagaimana lagi, nasi sudah jadi bubur. Setelah kata-kata itu keluar, sebuah hukum pun mulai berlaku (hukum setempat).
Hukum yang Tidak Menyelesaikan Masalah
Kata-kata itu kita kenal dengan istilah “dzihar”. Ia adalah sebuah kiasan yang menyamakan tubuh istri dengan tubuh ibunya. Dengan kalimat itu maka Sang istri tidak lagi halal bagi suami. Keharaman ini berlaku permanen seperti haramnya hubungan ibu dengan anak laki-lakinya. Pada saat itu, hukum orang yang mendzihar istrinya, sama seperti talak, dengan perkataan itu maka mereka harus bercerai namun tidak dapat rujuk kembali.
Perempuan yang Menggugat
Mendengar perkataan suaminya, dia tidak hanya tinggal diam. Dia mengetahui keburukan apa yang akan terjadi pada dirinya dan anak-anakya jika menerima hukum dzihar. Merasa mengalami ketidakadilan dalam hubungan pernikahanya dia pun datang dan mengadukan nasibnya pada Rasulullah.
“Wahai rasulullah…, suamiku telah menikahiku di saat aku masih gadis dan disukai banyak laki-laki, namun sekarang saat aku sudah tua dan memiliki banyak anak dia menyamakan aku dengan pungugng ibunya. Aku memiliki anak yang masih kecil-kecil, jika kubiarkan suamiku mengurusnya mereka akan terlantar, namun jika aku yang mengurusnya mereka akan kelaparan.”
Di satu sisi sebagai perempuan dia berusaha menyuarakan rasa ketidakadilan yang menimpanya, namun di sisi lain sebagi seorang ibu dia juga berusaha menyelamatkan nasib anak-anaknya. Dengan demikian dia berharap jika Rasulullah memberikan keputusan lain pada status pernikahannya, selain dengan menghukumi talak. Namun, sebagaimana hukum yang berlaku Rasululllah tetap menghukumi talak karena ucapan suaminya itu.
Mempertimbangkan nasib anak-anaknya dan juga rasa cinta yang masih ada untuk suaminya, Dia tetap bersikeras.”Wahai Rasulullah, sesungguhnya suamiku tidak mengatakan kalimat talak sama sekali, dan ayah dari anak-anakku itu adalah orang yang paling aku cintai.” Namun Rasululllah tetap menghukumi jatuhnya talak untuk pernikahan mereka karena belum ada wahyu yang turun saat itu.
Sebagai seorang Rasul yang mendapatkan nubuwah, Rasulullah tidak akan memutuskan sebuah hukum tanpa adanya wahyu. Begitu pula dengan kasus ini. Karena belum ada wahyu yang turun secara khusus maka Rasulullah pun menolak permohonan perempuan tersebut untuk memutuskannya dengan hukum lain.
Suara Perempuan yang Mengetuk Pintu Langit
Menyadari Rasulullah tidak akan memenuhi permohonanya, dia pun berkata “Baiklah akan ku adukan permasalahan ini langsung kepada Allah”. Setelah itu, dia menenggadahkan tanganya ke langit dengan suara lantang dia berseru “Ya Allah, aku mengadu pada-Mu, turunkanlah solusi bagi masalahku ini melalui lisan nabi-Mu.” Dia terus berseru dan mengadukan keadaanya pada Allah.
Tidak lama kemudian, tampak ada perubahan di wajah Rasulullah yang mulia. Ternyata sebuah wahyu telah turun untuk menjawab permasalahan perempuan itu. Kepada Beliau turun sebuah wahyu yang menghukumi masalah dzihar. Hukum dzihar berbeda dengan talak.
Bagi suami yang telah mendzihar istrinya dan berkeinginan untuk mencabut perkataanya, maka ia tidak boleh menggauli istrinya kecuali telah memerdekakan seorang budak, atau berpuasa selama dua bulan berturut-turut, atau memberi makan enam puluh orang miskin. (jika opsi pertama dan kedua tidak mampu)
Kisahnya Abadi dalam Al-Qur’an
Wahyu tersebut terabadikan dalam Qur’an Surat Al-Mujadilah ayat 1-4 yang kira-kira terjemahanya adalah sebagai berikut:
Sungguh, Allah telah mendengar ucapan perempuan yang mengajukan gugatan kepadamu (Nabi Muhammad) tentang suaminya dan mengadukan kepada Allah, padahal Allah mendengar percakapan kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat
Orang-orang yang mendzihar istrinya (menganggapnya sebagai ibu) di antara kamu, istri mereka itu bukanlah ibunya. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah perempuan yang melahirkannya. Sesungguhnya mereka benar-benar telah mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
Orang-orang yang mendzihar istrinya kemudian menarik kembali apa yang telah mereka ucapkan wajib memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu berhubungan badan. Demikianlah yang diajarkan kepadamu. Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.
Siapa yang tidak mendapatkan (hamba sahaya) wajib berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya berhubungan badan. Akan tetapi, siapa yang tidak mampu, (wajib) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah agar kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Itulah ketentuan-ketentuan Allah. Orang-orang kafir mendapat azab yang pedih. (Terjemah Qur’an Kemenag 2019)
Dengan turunnya ayat tersebut maka terjawab sudahlah pemasalahanya. Seorang perempuan yang suaranya telah mengetuk pintu langit, perempuan yang berani bersuara pada saat hukum tak dapat menyelesaikan masalahnya. Dialah Khaulah binti Tsa‘labah yang kisahnya diabadikan dalam surat Al-Mujadilah.
Pertanyaanya masihkah kita akan mengabaikan suara-suara perempuan di luar sana? Perempuan yang berteriak atau bahkan yang hanya bisa diam saat merasakan ketidakadilan. Sedangkan Allah yang Maha Mendengar telah menjawab suara perempuan dan mengabadikan kisahnya dalam Al-Qur’an yang mulia. []