Mubadalah.id – Dalam Islam, penghormatan anak kepada orangtua mempunyai banyak bentuk. Salah satu bentuk penghormatan kepada orangtua di antaranya adalah dengan berbuat baik kepada mereka, mendoakan dan memenuhi kejnginan mereka, atau menaati perintah-perintahnya.
Penghormatan ini sekali lagi merupakan perimbangan dari pengorbanan orangtua terhadap anak.
Demikian tingginya pengorbanan itu sehingga Islam menetapkan bahwa durhaka terhadap kedua orangtua termasuk salah satu dosa besar.
Dalam sebuah Hadis menyebutkan:
Dari Anas r.a. berkata: Rasulullah suatu saat ditanya mengenai dosa-dosa besar. Nabi menjawab, “Menyekutukan Allah, durhaka kepada orangtua, membunuh jiwa, dan memberikan kesaksian palsu.” (Shahih al-Bukhari, no. 2692).
Dalam Hadis lain, Nabi pernah menyatakan bahwa durhaka kepada kedua orangtua itu haram dan bisa mengakibatkan seseorang terjatuh ke dalam su’ al-khatimah (meninggal dalam keadaan tidak baik). Ini menunjukkan bahwa menaati orangtua adalah wajib.
Namun, ketaatan itu tidaklah mutlak. Ketaatan terhadap orangtua perlu anak lakukan selama orangtua tidak menyuruh anak pada kemaksiatan, kezaliman, dan sebagainya.
Artinya, anak tak perlu menaati orangtua sekiranya ketaatan itu menyebabkan anak terjatuh kepada tindakan melanggar hukum.
Nabi Muhammad Saw. bersabda:
Dari Abi Abdurrahman al-Sulami, dari Ali r.a. bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Tidak ada ketaatan untuk kemaksiatan kepada Allah, ketaatan hanya untuk hal-hal yang baik.” (Sunan Abi Dawud, no. 2621).
Syarat lain adalah perintah itu tidak menyengsarakan atau mencederai hak-hak kemanusiaan anak. Jika anak merasa disengsarakan dengan perintah tersebut, ia berhak untuk menolak.
Kasus Pernikahan
Misalnya dalam kasus pernikahan yang menyebabkan perselisihan antara anak dan orangtua. Anak menyatakan bahwa laki-laki itulah yang terbaik buat dirinya, sementara orangtua menyatakan sebaliknya.
Orangtua berusaha untuk membatalkan pernikahan anaknya sekalipun yang bersangkutan sudah merasa cocok dengan laki-laki pilihannya.
Jika ada kasus seperti ini, ada sebuah Hadis yang diriwayatkan Aisyah yang menyatakan bahwa jika orangtua dan anak berselisih pendapat mengenai pernikahan. Maka wali hakim yang harus melerai dan memutuskan.
Ini berarti, orangtua tidak punya hak untuk memaksa. Dan sekalipun terus memaksa, anak tidak wajib untuk mengikuti kemauan orangtua.
Dalam Hadis lain yang diriwayatkan Imam Bukhari, Imam Malik, Imam Abu Dawud dan Imam an-Nasa’i disebutkan bahwa ketika Khansa bint Khidam dipaksa untuk dikawinkan oleh orangtuanya.
Nabi kemudian mengembalikan keputusan itu kepada si anak, mau ia teruskan atau batalkan. Nabi tidak mengembalikan keputusan akhir kepada orangtua.
Hadis ini bisa kita pahami bahwa anak punya hak untuk menolak dan memiliki otonomi untuk menentukan siapa pendamping hidup yang terbaik buatnya.
Keluarga yang penuh dengan kasih sayang dan penghormatan satu sama lain adalah keluarga bahagia yang al-Qur’an gambarkan dalam QS. ar-Rum (30): 21, yakni keluarga mawadah, rahmah dan sakinah. []