Mubadalah.id – Perayaan 17 Agustus kita peringati dengan upacara bendera di berbagai tempat, termasuk di istana negara. Salah satu yang menarik dari momentum upacara kemerdekaan di Istana Negara ini adalah hadirnya para tokoh publik bersama dengan pasangannya. Di mana mereka menggunakan pakaian adat dari berbagai daerah di Indonesia.
Bapak presiden hadir didampingi ibu negara. Begitu pula yang lain dengan istrinya masing-masing. Hal tersebut mengingatkan kita bahwa kemerdekaan dapat kita raih tak hanya berkat para kaum laki-laki saja. Namun juga melibatkan peran perempuan di dalamnya.
Demikian pula saat peristiwa proklamasi kemerdekaan 78 tahun silam. Tentunya ada kontribusi perempuan yang turut menjadikan hari bersejarah tersebut terlaksana.
Sejarah kemerdekaan bangsa ini begitu panjang dan penuh perjuangan yang didalamnya banyak mengajarkan kesejajaran peran laki-laki dan perempuan, atau kesalingan suami-istri dalam kehidupan rumah tangga. Yakni mereka para pejuang kemerdekaan yang terdidik rasa nasionalisme dalam cita-cita perjuangan yang sama.
Perempuan-perempuan Indonesia kala itu sungguh perempuan yang kuat fisik dan mentalnya. Karena harus melepas dan menyaksikan suami, ayah, anak laki-laki atau saudara laki-lakinya turun ke medan perang.
Sebagaimana pesan Sudiro, sekretaris Ahmad Subardjo kepada istrinya ketika menjelang peristiwa proklamasi kemerdekaan, “sekarang kita harus benar-benar mengadakan pembagian pekerjaan. Kau bersama anak-anak harus tinggal di rumah saja. Kau cukup terdidik di dalam pergerakan nasional, sehingga kau pasti mengerti konsekuensi dari Proklamasi hari ini. Kalau sampai aku tidak pulang, kau tahu apa yang harus kau kerjakan. Semoga kita semua selamat.”
Peran Perempuan dalam Persiapan Proklamasi
Pesan tersebut tentu tidak bermaksud mengerdilkan peran perempuan dalam persiapan proklamasi. Justru sebaliknya menandakan bahwa perempuan berperan besar dalam keberhasilan peristiwa proklamasi kemerdekaan meski hanya di belakang panggung.
Keadaan 17 Agustus 1945 kala itu tidak menentu karena kekosongan kekuasaan setelah Jepang menyerah pada sekutu bisa saja menimbulkan bahaya tersendiri. Dalam situasi saat itu berbagi tugas antara suami dan istri adalah solusi terbaik, sehingga ketika perempuan diminta untuk tetap tinggal di rumah bukan berarti mendomestikasikan peran perempuan.
Mengenal sejarah dengan mengenang tokoh di dalamnya dapat menjadi salah satu cara menghargai jasa para pendahulu bangsa. Namun nyatanya masih banyak jasa para pahlawan perempuan yang luput kita ketahui. Demikian pula pada saat proklamasi kemerdekaan, ada banyak perempuan yang turut hadir dalam peristiwa tersebut, beberapa di antaranya ialah:
Satsuki Mishima
Satsuki Mishima merupakan asisten rumah tangga Laksamana Maeda. Meskipun dirinya adalah perempuan berdarah Jepang, namun ia berada di pihak Bangsa Indonesia sama halnya dengan Laksamana Maeda.
Ketika Laksamana Maeda meminjamkan rumahnya untuk menjadi tempat yang aman dalam penyusunan teks proklamasi, Satsuki Mishima lah yang meminjamkan mesin ketik ke kantor Militer Jepang, sehingga Sayuti Melik dapat mengetik teks proklamasi yang masih terngiang bunyinya hingga saat ini.
Kontribusi Satsuki Mishima tak hanya sampai di situ. Peristiwa proklamasi 17 Agustus 1945 bertepatan dengan bulan Ramadan. Di mana kewajiban berpuasa tetap melekat untuk para pendiri bangsa yang beragama muslim. Satsuki Mishima kemudian juga menyiapkan makanan sahur untuk banyak orang yang hadir di sana, karena mayoritas menjalankan ibadah puasa.
Peran perempuan di dapur kerapkali tidak terlihat. Namun kerap pula tak kita sadari bahwa berbekal dari dapur-dapur perempuan lah banyak hal hebat mendapatkan energi untuk terwujud menjadi nyata.
Fatmawati
Banyak dari kita yang tak asing mendengar nama salah satu istri Soekarno ini. Fatmawati terkenal sebagai seorang yang menjahit bendera merah putih yang dikibarkan pada saat peristiwa proklamasi 78 tahun lalu.
Tak hanya itu, Fatmawati juga berperan dalam mengadakan dapur umum untuk memberi suplai makanan kepada ratusan masyarakat yang sukarela membentuk benteng manusia di sekeliling tempat pelaksanaan proklamasi kemerdekaan. Yakni rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur No.56 demi menjaga keamanan agenda proklamasi. Kelompok inilah yang kemudian terkenal dengan Barisan Berani Mati.
Trimurti
Sama halnya dengan Satsuki Mishima, nama Trimurti juga masih asing di telinga sebagian besar masyarakat Indonesia. Surastri Karma Trimurti atau S.K. Trimurti adalah istri dari Sayuti Melik. Selain karena mendampingi suaminya, dirinya turut hadir dalam peristiwa proklamasi sebagai tokoh yang bertindak membawa baki bendera.
Awalnya, Trimurti sempat diminta oleh Bung Karno untuk menjadi pengerek bendera, namun ia menolak dengan alasan seharusnya tugas itu dilakukan oleh seorang prajurit. Kemudian Trimurti menyodorkan baki kepada Latief Hendraningrat.
“Aku hanya sebagai ‘abdi’ yang menyerahkan jiwa raga kepada tujuan untuk memerdekakan Indonesia. Tetapi aku bukan termasuk arsiteknya, bukan designernya”, begitulah ucapan Trimurti dengan penuh kerendahan hati atas perannya dalam memperjuangkan kemerdekaan. []