Mubadalah.id – Apa pernah dengar syahadat tauhid dan syahadat Rasul? Syahadat sendiri adalah pintu pertama Islam. Seseorang bisa disebut muslim (mengikuti atau beragama Islam) setelah ia mengucapkan kalimat Syahadat. Secara literal, Syahadat berarti kesaksian dengan sungguh-sungguh dan jujur. Syahadat juga berarti pengakuan yang tulus.
Ada dua bentuk Syahadat Islam; kesaksian kepada keesaan Tuhan yaitu syahadat tauhid dan kesaksian kepada kerasulan Muhammad Saw. yaitu syahadat Rasul. Syahadat yang pertama; “Asyhadu an Lâ ilâha illa Allah”, disebut juga ‘Syahadat Tauhid’. Ini merupakan inti utama dan kepercayaan paling fundamental dari sistem keberagamaan Islam. Tauhîd adalah basis, titik focus awal dan akhir dari seluruh pandangan, tradisi, budaya dan peradaban masyarakat muslim.
Syahâdat, kesaksian kepada Tuhan Yang Esa sesungguhnya merupakan sesuatu yang intrinsik pada setiap diri manusia. Ia bersifat primordial dan telah tertanam dalam relung-relung hati manusia yang paling dalam. Ia telah ada sebelum manusia pertama dilahirkan. Ketika manusia masih dalam bentuk potensi untuk mewujud menjadi manusia faktual dan eksistensial, Tuhan bertanya: “Alastu bi Rabbikum” (Bukankah Aku Tuhanmu?). Potensi manusia itu menjawab: “Balaa” (Benar sekali, Engkaulah satu-satunya Tuhanku).
Ikrar perjanjian primordial tersebut mengandung implikasi-implikasi dan refleksi-refleksi besar dan luas: moral, intelektual dan spiritual.
Ikrar kesaksian bahwa Tuhan (Allah) adalah Satu dan tidak ada sesuatu apapun yang lain yang menyekutui-Nya bukanlah sekedar pernyataan verbal individual semata, melainkan juga seruan untuk menjadikan ke-Esa-an itu sebagai basis utama bagi pembentukan tatanan sosial-ekonomi-politik-kebudayaan masyarakat manusia.
Pada dimensi individual, Syahâdat Tauhîd berarti doktrin pembebasan manusia dari segala bentuk belenggu perbudakan dalam artinya yang luas; perbudakan manusia atas manusia, perbudakan diri atas benda-benda dan atas segala bentuk kesenangan-kesenangan diri, kebanggaan diri, kebesaran diri, kebenaran diri dan kesombongan diri. Sikap-sikap dan tindakan tersebut sama dengan menyaingi dan menantang Tuhan.
Kalimat ‘lâ ilâha’ (tidak ada tuhan) merupakan pernyataan penolakan atau penegasian terhadap segala hal yang diagungkan, dipuja atau disembah. Semua bentuk pengagungan terhadap diri sendiri atau terhadap benda-benda dan yang lain sama artinya dengan menuhankan diri sendiri atau benda-benda atau yang lain itu. Cara-cara seperti ini oleh al-Qur’ân dinyatakan sebagai kesesatan dan menyesatkan. Ia juga dinyatakan sebagai bentuk penyekutuan terhadap Tuhan.
Dalam waktu yang sama kesaksian Tauhid: “illa Allah” (kecuali Allah) berarti mengukuhkan bahwa hanya Allah sendiri dan satu-satunya yang memiliki kebesaran, kekuasaan dan kebenaran itu. Sebuah hadits qudsi menyebutkan: “Al-‘Izzu Izâri wa al-Kibriyâ Ridâiy fa man nâza’ani minhumâ syai-an ‘Adzdzabtuhu” (Kebesaran dan kekuatan adalah pakaian-Ku dan Kesombongan adalah selendang-Ku. Siapa yang menantang-Ku, Aku akan menghukumnya).
Di sinilah maka kita dapat mengatakan bahwa dalam sistem Syahâdat Tauhîd, semua manusia adalah makhluk yang setara di hadapan Tuhan, sama-sama harus merendahkan diri di hadapan-Nya dan bukan kepada selain Dia.
Syahâdat Rasûl adalah kesaksian tentang utusan Tuhan; Muhammad bin ‘Abdullah. Meskipun Nabi Muhammad adalah utusan Tuhan yang terakhir dan tidak ada lagi Nabi sesudahnya, tetapi ia sekaligus adalah rasul yang pertama. Dalam bahasa kaum sufi, Muhammad saw dinyatakan sebagai rasul pertama dalam wujud ide atau konseptual dan terakhir dalam wujud real atau faktual. Ia hadir untuk melengkapi, melanjutkan dan menyempurnakan misi kerasulan utusan-utusan Tuhan sebelumnya.
Al-Qur’ân menyatakan: ”Dan Kami telah mewahyukan kepadamu al-Qur’ân dengan membawa kebenaran (al-haq), membenarkan Kitab-Kitab yang sebelumnya dan yang menjaganya (dari perubahan-perubahan)” [Qs. Al-Maidah (5):48]. Secara eksplisit, al-Qur’ân juga menyatakan bahwa Muhammad adalah pengikut misi dan ‘millah’ Nabi Ibrâhim, bapak para Nabi dan Rasul. Nabi Ibrâhim dalam al-Qur’ân adalah pengikut agama Tauhid, seorang muslim. Al-Qur’ân menyatakan: ”Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): ”Ikutilah millah (agama) Ibrâhim. Ia seorang yang hanîf (lurus) dan bukan termasuk orang-orang yang menyekutukan Allah”.[Qs. An-Nahl (16): 123].
Dengan begitu, seorang muslim yang mengucapkan Syahâdat Rasûl Muhammad saw; “wa Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah” sejatinya juga memberikan kesaksian terhadap agama-agama yang dibawa para nabi-nabi sebelumnya.[]