Mubadalah.id – Pada satu kesempatan saya menghadiri Halaqah Peradaban yang diadakan di Pondok Kebon Jambu Al-Islamy. Salah seorang pembicaranya adalah Ibu Nur Rofiah. Beliau menyampaikan secara lugas bahwa berislam di Indonesia harus menjadi anugerah yang berarti menghadirkan anugerah bagi warga negara tanpa terkecuali.
Hal ini penting demi terwujudnya kebaikan dalam suatu negara. Kebaikan sendiri lahir dari akhlak yang mulia, dan akhlak yang mulia adalah misi utama Nabi Muhammad Saw. untuk umat manusia.
إَنَّماَ بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
Mulia di sini ditafsirkan dalam konteks yang luas, yakni mulia apapun sukunya, bangsanya, dan agamanya. Dengan hal ini berarti bahwa semua manusia dari berbagai lintas suku, ras, bangsa dan agama adalah mulia. Sehingga segala macam bentuk yang merendahkan salah satu pihak merupakan penyimpang.
Apa yang beliau sampaikan dengan kata pengantar dan isi cukup memuaskan untuk menguatkan argumentasi perihal halaqah peradaban ini. Namun, ada beberapa poin yang saya tangkap terkait anugrah beragama islam di Indonesia, yang akan saya paparkan dalam tulisan ini.
Agama Islam sebagai Anugrah bagi Bangsa Indonesia
Dalam konteks Indonesia, anugerah yang harus kita syukuri adalah, bahwa Indonesia merupakan Negara Kesatuan milik bersama dari berbagai macam agama, suku, dan bangsa. Telah tertanam dalam diri kita prinsip terkait hubbul wathan minal iman, bahwa tanah air merupakan tanggung jawab dari keimanan kita.
Dalam berbagai pandangan hal ini berarti bahwa siapapun berkewajiban membela negara dengan tidak melihat apa agamanya, sukunya, maupun rasnya. Membela negara adalah bagian dari iman. Karenanya, membela negara ini telah mengaktualkan pemahaman kita.
Dengan pemahaman itu kemudian kita memproklamirkan diri sebagai pembela negara. Maka kita berkewajiban menjaganya, melindungi, memberikan kenyamanan kepada warganya dan berlaku rahmah terhadap segala perbedaan yang ada di dalamnya.
Ibu Nur kemudian menjadikan Maqsoshidu Syari’ah sebagai prinsip dasar dalam sistem kenegaraan. Tugasnya ialah mewujudkan kemaslahatan di muka bumi berlandaskan syariat islam dengan kulliyatul khams-nya. Kita mengenalnya dengan menjaga agama (hifdz ad-din), jiwa (hifdz al-nafs), akal (hifdz al-aql), keturunan (hifdz al-nasl), dan harta (hifdz al-maal). Kelimanya dapat menjadi pondasi yang menguatkan tekad mewujudkan kemaslahatan ini.
Terkait pengamalan kelima prinsip ini, kita juga harus menengok kembali hakikat bangsa Indonesia. Sebagai negara yang bukan negara agama dan bukan pula negara sekuler harus tetap menyetarakan kelima prinsip ini untuk kemaslahatan warganya. Hal ini berarti, berupaya mengamalkan kelima prinsip ini telah menjadikan kita sebagai umat muslim yang menyebar anugerah di Indonesia untuk kaum beragama lainnya.
Mewujudan Persaudaraan dengan Iman
Seseorang yang beriman telah menjadikan spiritual sebagai prinsip kemanusiaan seorang hamba sehingga bisa menjalin hubungan dengan siapa saja. Dalam hubungan tersebut akan tercipta persaudaraan yang bisa menjadi mitra dalam mewujudkan kebaikan-kebaikan.
Sebab pemahaman mendalam tentang tauhid yang hanya meng-esa-kan satu tuhan berarti meniadakan hal lainnya yang dapat menyamai haknya sebagai Maha Kuasa. Sehingga memperoleh pemahaman lain terkait selain Tuhan semuanya setara, karena semuanya adalah hamba.
Dengan demikian, ukhuwah islamiyah berarti sesama muslim harus saling mengeratkan solidaritas keimanan mereka. Dan dengan solidaritas itu tidak menjadikan perbedaan dalam beberapa praktik keagamaan membuat mereka saling bertenangan. Sama halnya dalam ukhuwah insaniyah dan basyariah.
Keduanya tidak boleh bertentangan dengan nilai dan hak asasi manusia, serta tidak menistakan dan mendiskriminasi manusia lainnya. Untuk ukhuwah wathaniyah atau persaudaraan sesama bangsa, setiap keputusan tidak boleh bertentangan dengan konstitusi negara atau bahkan membangkang terhadap kebijakan lembaga. Sebaliknya, keputusan negara harus mensejahterakan rakyatnya.
Inti dari berislam dengan peradaban yang impulsif ini, harus dibuktikan dengan kemaslahatan yang seluas-luasnya. Kemaslahatan tersebut harus didasarkan dengan kehendak diri untuk menciptakan islam yang rahmatan lilalamin. Karenanya apapun dan siapapun yang sejalan dengan islam yang rahmatan lil alamin ini, dia memiliki tanggung jawab mewujudkan kemaslahatan tersebut.
Menuju Sistem Negara yang Berkeadilan bagi Pihak yang Lemah
Agar kemaslahatan yang tercipta bisa sampai pada kaum yang lemah dan terpinggirkan, setiap orang harus memiliki empati yang tinggi. Selain itu kepekaan yang mendalam terhadap kondisi serta kebutuhan yang harus dipenuhi untuk kemaslahatan pihak-pihak yang lemah.
Untuk meniscayakan kemaslahatan tersebut dan demi terwujudnya anugerah menyeluruh bagi berbagai kalangan, perlu menerapkan 4 ciri sistem pembaharuan. Sistem yang digagas tersebut adalah sistem negara, keluarga dan masyarakat yang dzhalim menuju sistem negara, keluarga, dan masyarakat yang berkeadilan:
Pertama, perkawinan adalah keuntungan bagi pihak yang kuat, sedangkan bagi pihak lemah hal itu adalah harapan untuk menjadikan hidup mereka lebih baik. Maka dalam konteks negara hal tersebut adalah ikhtiar bersama agar menjadi negara yang memberi anugerah bagi semua pihak, baik yang lemah maupun dilemahkan secara sistemik.
Upayanya ialah dengan menciptakan sistem atau undang-undang perkawinan yang berkeadilan, dalam artian tidak timpang sebelah sehingga dapat mewujudkan pernikahan yang mitsaqan galizha.
Kedua, pihak lemah harus berakhlak mulia dan bersikap hormat kepada pihak yang kuat, sedangkan yang seharusnya adalah semuanya harus berakhlak mulia dan saling menghormati, dengan meniadakan frasa “siapa yang lebih kuat” dan “siapa yang lemah.”
Ketiga, pihak lemah harus tunduk mutlak pada pihak yang kuat, sedangkan sejatinya adalah bahwa semua pihak hanya tunduk mutlak pada Allah Swt. Hal ini kembali pada prinsip keimanan yang hanya menjadikan Allah sebagai satu-satunya Dzat yang patut di sembah dan memiliki kuasa penuh atas kehidupan laki-laki dan perempuan, maupun atas kehidupan yang kuat dan yang lemah.
Keempat, pihak yang kuat bisa berlaku sewenang-wenang terhadap pihak yang lemah. Hal ini tidak sesuai karena, semua kekuatan adalah amanah dari Allah bagi pihak kuat untuk memberdayakan pihak yang lemah, bukan memperdaya pihak yang lemah.
Mewujudkan Kesetaraan dalam Beragama maupun Bernegara
Dalam pemahaman relasi umat islam, jangan jadikan muslim yang mayoritas sebagai standar tunggal bagi pihak beragama yang minoritas. Sedangkan untuk kaum yang kuat ialah dengan mendengarkan kebutuhan khusus kaum-kaum yang lemah dan terpinggirkan.
Sembari berupaya mewujudkan kesejahteraan bagi mereka, maka orang-orang islam di Indonesia telah menciptakan kesetaraan. Lebih dari itu, beragama islam di Indonesia dapat menjadi anugerah yang ramah terhadap semua pihak. []