• Login
  • Register
Sabtu, 7 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Sastra

Kisah Gerwani: Raga Ibumu Boleh Mati, Tapi Jiwanya Tidak

Setiap kali film itu terputar, aku hanya terduduk memejamkan mata, membayangkan tentang Ibu, dan menganggapnya adalah bagian penjahat negara ini. Kejam dan membahayakan

Zahra Amin Zahra Amin
01/10/2023
in Sastra
0
Kisah Gerwani

Kisah Gerwani

826
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Setelah sekian lama, akhirnya aku punya kesempatan untuk menemui Ibu kembali di salah satu Panti Jompo di pinggiran Ibu Kota. Ibuku sudah renta, kini usianya mungkin sudah 80 tahun lebih. Tak ada yang tahu pasti. Hidup dan tinggal di Panti Jompo adalah pilihannya sendiri. “Aku tak ingin menyusahkan kamu Nduk.” Begitu yang Ibu katakan jika aku mengajaknya untuk tinggal bersama di rumahku.

Setiap kali bertemu Ibu, aku selalu menemukan pijar asa yang tak pernah redup, meski tubuhnya kian renta dan tua. Ingatannya masih tajam untuk mengenang kisah Gerwani, dan sekeping peristiwa sejarah di era tahun 1965. Di mana saat itu Ibu juga menjadi salah satu korban yang tertuduh menjadi bagian dari antek-antek PKI.

“Raga Ibumu boleh mati Nduk, tapi jiwanya tidak”. Begitu berulangkali yang Ibu sampaikan setiap kali ia mengenang kisah pahit dalam hidupnya tersebut.

Dalam salah satu kunjunganku beberapa waktu lalu, Ibu pernah bercerita tentang sebuah organisasi perempuan yang ia ikuti sewaktu muda dulu. “Namanya Gerwis Nduk, lalu pada 1954 berganti nama menjadi Gerwani. Ibu dan teman-teman mencurahkan perhatian pada masalah pemberantasan buta huruf dan pendirian sekolah.”

Lagu Genjer-genjer

Kala lain dalam satu kesempatan, aku juga kerap kali mendengar Ibu mendendangkan sebuah lagu, yang kini aku tahu judul lagunya “Genjer-genjer”. “Ibu kangen konco-konco Nduk.” Gumam Ibu, setiap kali ia menyanyikan lagu itu, sambil matanya mengenang kisah Gerwani, menerawang, hingga mengembun dan Ibu terisak-isak menangis.

Baca Juga:

Pentingnya Narasi Hajar dalam Spiritualitas Iduladha

Ibadah Kurban dan Hakikat Ketaatan dalam Islam

Pesan Mubadalah dari Keluarga Ibrahim As

Ketuhanan yang Membebaskan: Membangun Perdamaian dengan Dasar Pancasila

Gendjer-gendjer nong kedo’an pating keleler

Gendjer-gendjer nong kedo’an pating keleler

Ema’e thole teko-teko mbubuti gendjer

Ema’e thole teko-teko mbubuti gendjer

Oleh satenong mungkur sedot sing toleh-toleh

Gendjer-gendjer saiki wis digowo mulih

 **

Gendjer-gendjer esuk-esuk didol neng pasar

Gendjer-gendjer esuk-esuk didol neng pasar

Didjejer-djejer diuntingi podo didasar

Didjejer-djejer diuntingi podo didasar

Ema’e djebeng podo tuku gowo welasar

Gendjer-gendjer saiki wis arep diolah

Aku berusaha mencari tahu, ada apa dengan lagu tersebut. Akhirnya aku menemukan jawab. Lagu “Genjer-genjer” ditulis seniman asal Banyuwangi, Muhammad Arif pada 1942. Di mana dalam lagu menggambarkan kondisi kehidupan masyarakat Banyuwangi kala penjajahan Jepang di Indonesia.

Namun citra lagu yang Arif ciptakan, sebagai orang yang aktif di organisasi Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) itu melekat menjadi lagu PKI. Alasannya karena lagu tersebut mereka bawakan di salah satu adegan film dokumenter peristiwa Gerakan 30 September PKI (G30S/PKI).

Penghancuran Gerakan Perempuan Progresif

Memang aku dekat dan semakin mengenali Ibu belum lama, setelah sekian puluh tahun kami hidup terpisah. Aku diasuh oleh adik kandung Ibu, yang aku panggil Bu Lik Ras. Karena alasan keterlibatan Ibu dalam peristiwa kelam itu, yang membuat Ibu keluar masuk penjara. Tanpa proses sidang dan pengadilan.

Dulu setiap kali memasuki September, aku selalu merasa ketakutan. Apalagi ketika pihak sekolah mengajak kami, siswa sekolah dasar untuk menonton film dokumenter G30SPKI. Kami menonton bersama di gedung film kota kecamatan. Setiap kali film itu terputar, aku hanya terduduk memejamkan mata, membayangkan tentang Ibu, dan menganggap Ibu adalah bagian para penjahat negara ini. Kejam dan membahayakan.

Semakin bertambah umur cara pandangku terhadap sejarah negeri ini 180 derajat berubah. Terlebih ketika aku akhirnya bisa ikut mencicipi bangku kuliah meski tak selesai. Ya, karena aku lebih memilih bekerja sebagai jurnalis dan penulis lepas. Aku semakin memahami Ibu ketika suatu kali aku membaca buku “Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia” karya Saskia Wieringa.

“Banyak perempuan yang tidak bisa baca, tidak bisa tulis apa-apa dan orang Gerwani membantu. Anggota Gerwani juga selalu aktif di dalam perjuangan di dalam rumah tangga,” ungkap Saskia Wieringa, antropolog Universitas Amsterdam di Belanda, yang bertahun-tahun meneliti tentang Peristiwa 65.

Korban Politik

Organisasi itu juga menuntut perlunya hak-hak perempuan, termasuk tentang poligami. Tak hanya berfokus pada isu perempuan. Gerwani juga menjadi organisasi paling aktif dalam politik nasional juga isu internasional. Pada 1964, pemerintah Indonesia menginstruksikan organisasi massa agar mengikatkan diri pada partai politik.

Gerwani  yang berideologi feminis dan sosialis menyatakan diri berada dalam kubu komunis. Di mana peresmiannya akan tergelar dalam Kongres Desember 1965. Namun, kongres itu urung terlaksana, Peristiwa 65 meletus dan sejak saat itu kisah Gerwani “dihancurkan”.

Propaganda yang berpusat pada “penyimpangan seksual anggota Gerwani”, serta penggambaran PKI sebagai ateis dan anti-nasionalis tak hanya memicu pada pembunuhan massal orang-orang berhaluan kiri, tapi juga penghancuran gerakan perempuan progresif di Indonesia.

Akhirnya aku mafhum. Kondisi sosial dan politik saat itu membuat posisi Gerwani sebagai organisasi masuk dalam pusaran konflik kepentingan, dan tentu saja korban sejarah kelam negeri ini. Bisa jadi, jika organisasi ini tetap ada, nasib para perempuan Indonesia mungkin akan berbeda.

Ibu, Aku Rindu

Langkahku semakin bergegas melintasi lorong-lorong kamar di Panti Jompo ini, ketika tahu Ibu tak sedang duduk menungguku di selasar depan Panti.  Begitu tiba di kamar yang Ibu huni, aku dapati Ibu tengah berbaring dengan tenang di atas ranjang. Matanya terpejam, dan tangannya tak henti memutar bulir-bulir tasbih. Sementara dari bibirnya mendaras nama Tuhan dan permohonan ampunan.

Aku mendekatinya, menyentuh tangan Ibu yang keriput dan lembut. Tangan inilah yang dulu pernah menggendongku sambil berlari-lari kecil, membawaku bersembunyi dari satu kota ke kota lain, hingga akhirnya Ibu tertangkap dan menyerahkanku ke Bu Lik Ras.

“Nduk, Ibu pamit. Ayahmu sudah menjemput Ibu. Maafkan Ibu yang tak pernah ada untukmu. Maafkan Ibu Nduk..” Dan mata Ibu kian meredup, lalu senyap dan keheningan menguasai. Aku terisak menangis di samping jenazah Ibu, terus memegangi tangannya. Aku masih ingin mendengarkan cerita-ceritamu Ibu, seakan membayar waktu kebersamaan kita yang telah terampas oleh sejarah terkutuk negeri ini.

“Ibu, maafkan aku juga yang pernah membencimu, menganggapmu sebagai penjahat negara, perusak moral bangsa, maafkan aku Bu, dan kini aku sudah rindu. Ibu, aku rindu.” Lirih terisak, aku melepas kepergian Ibu. Tanpa karangan bunga, dan rentetan ucapan duka cita. Tapi bagiku, Ibu adalah sang pahlawan perempuan. []

Tags: cerita pendekIndonesiaKisah GerwaniPenghancuran Gerakan Perempuansejarah
Zahra Amin

Zahra Amin

Zahra Amin Perempuan penyuka senja, penikmat kopi, pembaca buku, dan menggemari sastra, isu perempuan serta keluarga. Kini, bekerja di Media Mubadalah dan tinggal di Indramayu.

Terkait Posts

Luka Ibu

Luka Ibu Sebelum Suapan Terakhir (Bagian 1)

1 Juni 2025
Menjadi Perempuan

Menjadi Perempuan dengan Leluka yang Tak Kutukar

25 Mei 2025
Pekerja Rumah Tangga

Ibu, Aku, dan Putriku: Generasi Pekerja Rumah Tangga

11 Mei 2025
Tidak Ada Cinta

Tidak Ada Cinta bagi Arivia

11 Mei 2025
Tak Ada Cinta

Tidak Ada Cinta Bagi Ali

4 Mei 2025
Kartini Tanpa Kebaya

Kartini Tanpa Kebaya

27 April 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Berkurban

    Berkurban: Latihan Kenosis Menuju Diri yang Lapang

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pentingnya Narasi Hajar dalam Spiritualitas Iduladha

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 3 Solusi Ramah Lingkungan untuk Pembagian Daging Kurban

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memaknai Istilah “Kurban Perasaan” Pada Hari Raya Iduladha

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Raya dalam Puisi Ulama Sufi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Islam Berikan Apresiasi Kepada Perempuan yang Bekerja di Publik
  • 3 Solusi Ramah Lingkungan untuk Pembagian Daging Kurban
  • Pentingnya Narasi Hajar dalam Spiritualitas Iduladha
  • Berkurban: Latihan Kenosis Menuju Diri yang Lapang
  • Makna Wuquf di Arafah

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID