Mubadalah.id – Setelah Thahir al-Haddad membuka pintu untuk menyuarakan kesetaraan dan keadilan gender di Tunisia, akhirnya, melahirkan banyak sekolah-sekolah perempuan berdiri di Timur Tengah.
Demikian pula, Thahir al-Haddad mampu memuncul kesadaran untuk memperjuangkan kesetaraan dan keadilan bagi perempuan.
Para ulama perempuan sekaligus para pembaru tersebut kemudian melahirkan para ulama dan aktivis perempuan di banyak negara muslim.
Tidak sedikit para ulama perempuan atau perempuan ulama tampil kembali ke panggung-panggung sejarah Islam.
Pengetahuan mereka dalam bidang ilmu-ilmu agama (Islam) cukup mendalam dan luas. Mereka cerdas dan kritis.
Beberapa di antaranya ialah Huda Sya’rawi (1879-1947 M), Aisyah Taymuriyah (1840-1902), Batsinah, Nabawiyyah Musa (1886-1951), Zainab al-Ghazali (1917-2005).
Kemudian, Aisyah Abdurrahman binti Syathi (1913-1998), Asma Barlas, Amina Wadud Muhsin, Asma al-Murabit. Lalu, Rahma el-Yunusia, Rasuna Said, Nyai Khairiah Hasyim, dan masih banyak lagi.
Nabawiyyah Musa adalah perempuan ulama dari Mesir. Ia menuntut dibukanya akses dan kesetaraan pendidikan bagi kaum perempuan di negerinya, sebagaimana Kartini dan Rahma el-Yunusia.
Dalam sebuah ceramah, Nabawiyyah Musa mengatakan:
“Aku berharap kaum perempuan Mesir bisa hidup dengan baik, mengapresiasi ilmu pengetahuan dan bekerja keras tanpa henti. Sampai tiba masanya aku dapat melihat lahirnya ratusan tokoh/pemimpin perempuan dalam negeri tercinta ini.”
Nama Nabawiyyah Musa masuk sebagai seorang aktivis gerakan perempuan yang sangat berjasa dalam sejarah pendidikan di Mesir.
Ia adalah perempuan yang cerdas. Ia masuk ke sekolah dengan cita-cita menjadi seorang guru. Sebuah ranah yang pada masanya didominasi oleh kaum laki-laki.
Selama hampir empat puluh tahun (1904-1946), pendidikan perempuan menjadi perhatian utamanya.
Berkat perjuangannya, kini kaum perempuan di negerinya mampu menempati jabatan-jabatan dalam berbagai bidang dan melewati semua jenjang pendidikan. []