Mubadalah.id – Sebagaimana ungkapan beberapa capres dan cawapres dalam mendialogkan gagasannya tempo hari yang lalu. Bahwa, nenek moyang bangsa kita dahulu tidak mudah untuk melepaskan diri dari cengkraman tentatara kolonial. Mereka berdarah-darah untuk mengejar target kemerdekaan tahun 1945.
Sebab itu, merupakan keharusan bagi kita sebagai rakyat memilih kriteria pemimpin yang baik. Sehingga kita bisa mewujudkan makna utuh kemerdekaan ini dengan cara ikut berpartisipasi terhadap kemajuan Negara Indonesia –sekecil apapun itu-, bukan malah antipati dan apatis.
Dalam perjalanan kemerdekaannya, Indonesia sudah mengalami tujuh kali pergantian Presiden. Yakni Soekarno (bapak proklamator), Soeharto (sang jenderal yang tersenyum), BJ Habibie (bapak teknologi), Gus dur (bapak pluralisme), Megawati (penegak konstitusi), SBY (bapak perdamaian), Jokowi (bapak infrastruktur). Setiap presiden dan setiap masa sudah barang tentu memiliki tantangannya masing-masing.
Tantangan presiden yang ke delapan dalam rangka menyambut Indonesia emas 2045 adalah adanya pembangunan pendidikan dalam perspektif masa depan. Yaitu mewujudkan masyarakat Indonesia yang berkualitas, maju, mandiri, modern dan bermartabat. Dengan adanya pendidikan yang memadai, tujuan pembangunan nasional secara keseluruhan akan tercapai. (kemendikbud, 2017)
Menuju Indonesia Emas 2045
Untuk itu, bangsa Indonesia memerlukan seorang pemimpin yang bisa membawa rakyatnya menuju Indonesia emas 2045 secara lancar dan nyaman. Merupakan kewajiban bagi rakyat menggunakan hak pilihnya dengan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya pada hari pencoblosan pemimpin pada 14 Februari 2024 yang akan datang.
Pemilihan di bilik suara –menurut Kiai Afifuddin Muhajir dalam beberapa pengajian dan bathsul masa’il- adalah salah satu bentuk kesaksian (Syahadah). Artinya, seseorang yang sedang memilih calon politik tertentu pada hakikatnya sedang bersaksi bahwa orang yang ia pilih adalah orang yang menurut asumsinya berhak memimpin Negara.
Konsekuensinya adalah seseorang yang memilih hanya karena dasar besarnya money politic yang ia distribusikan adalah haram hukumnya. Lantaran tergolong pada persaksian palsu (Syahadah Zur).
Allah Swt berfirman dalam kitabnya al-Qur’an, surah Al-Furqon, ayat 72, sebagai berikut:
وَالَّذِيْنَ لَا يَشْهَدُوْنَ الزُّوْرَۙ وَاِذَا مَرُّوْا بِاللَّغْوِ مَرُّوْا كِرَامًا.
Artinya: Dan, orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu serta apabila mereka berpapasan dengan (orang-orang) yang berbuat sia-sia, mereka berlalu dengan menjaga kehormatannya. (Q.S. Al-Furqan: 25: 72)
Sementara golput bukanlah pilihan yang tepat. Bahkan tergolong menyembunyikan kesaksian (Kitman as-Syahadah) apabila pada hakikatnya sudah kita ketahui paslon pemimpin yang manakah yang lebih baik menurut perspektifnya. Sehingga, upaya rakyat untuk mengetahui kualitas dan kapabilitas paslon pemimpin adalah keharusan.
Alasannya, dalam sebuah Negara demokrasi, warga Negara yang memiliki hak pilih memiliki posisi yang sangat strategis. Karena sukses atau tidaknya seorang calon pemimpin bergantung pada pilihan rakyat. Lantas, apa saja kriteria-kriteria seorang pemimpin yang dapat kita katakan kapabel dan berhak untuk dipilih oleh rakyatnya? Berikut ini penjelasan dari pendapat Imam al-Mawardi mengenai jawaban pertanyaan tersebut.
Kriteria Pemimpin yang Tepat Versi Imam al-Mawardi
Imam al-Mawardi berpendapat bahwa seorang pemimpin adalah dia yang bukan hanya bisa mengurusi kemaslahatan kemaslahatan duniawi bagi rakyatnya. Namun juga bisa mengurusi kemaslahatan yang bersifat ukhrawi. Untuk itu, lebih lanjut beliau menegaskan dalam kitab Al-Ahkam as-Sutaniyyah bahwa seorang pemimpin yang bisa melaksanakan hal itu adalah orang dengan kriteria-kriteria berikut ini:
Pertama, pemimpin tersebut bersifat adil. Maksud adil di sini adalah seseorang yang tidak pernah melakukan dosa besar atau dosa kecil yang ia lakukan secara kontinyu. Seperti korupsi, melakukan pemerkosaan, selalu mengambil hak rakyat, dan lain-lain. Selain hal itu, ia juga belum pernah melakukan kesalahan-kesalahan yang bisa mencoreng nama baiknya atau tidak memiliki track record yang buruk.
Kedua, memiliki ilmu yang mumpuni dalam memerintah Negara. Meskipun kehendak imam al-Mawari di sini adalah seorang pemimpin yang memiliki keilmuan ijtihad dalam memecahkan kasus-kasus baru. Tapi secara prinsip kita bisa mengarahkannya pada kemampuan seorang pemimpin dalam menggerakkan bawahan agar memilki tanggung jawab serta komitmen. Selain itu, menjungjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, memiliki jiwa melayani, mau mendengarkan kritik, membangun moral rakyat, dan lain sebagainya.
Ketiga, memiliki lima panca indra yang tidak bermasalah. Karena tanpa lima panca indra ini, seorang pemimpin tidak akan bisa mengurusi permasalahan rakyat dengan baik.
Keempat, tidak sedang memiliki penyakit atau kecacatan yang bisa menyebabkannya tidak bisa beraktivitas. Dengan kata lain, ia harus sehat jasmaninya, bukan hanya rohaninya saja.
Pemimpin Piawai Berpolitik
Kelima, piawai dalam urusan politik. Seorang pemimpin, betapapun dia adalah seorang intelektual, percuma saja kalau tidak ahli dalam bidang politik. Dalam sejarah banyak tersebutkan jatuhnya seorang pemimpin yang tidak ahli dalam masalah perpolitikan. Sudah barang tentu politik yang saya maksud di sini adalah yang berorientasi pada kemaslahatan rakyat, bukan kepentingan pribadi.
Keenam, memiliki kekuatan ataupun kemampuan untuk menjaga stabilitas dan keamanan. Seorang pemimpin menurut beliau harus memiliki keberanian untuk mengambil keputusan perang jikalau status kemerdakaannya terancam musnah. Dalam konteks Negara Indonesia, ia berani mengakui keabsahan NKRI dengan pancasila sebagai dasar Negara dan punya komitmen untuk memberantas korupsi dan menegakkan hukum tanpa pandang bulu.
Ketujuh, nasabnya berasal dari Suku Quraisy. Kriteria yang ketujuh ini berdasarkkan situasi sosial dan lingkungan yang berlaku di masanya, karena beliau hidup dalam masa kepemerintahan Daulah Bani Abbas. Kriteria ini mungkin bisa kita aplikasikan di Negara Republik Indonesia, jikalau kita orientasikan pada pemimpin yang memiliki nasab dari orang-orang yang baik.
Tantangan Zaman di Era Digital
Setiap zaman tentu mempunyai masalah dan tantangannya sendiri yang harus kita hadapi. Di mana hal ini membuat konsep kenegaraan, kepemimpinan, dan hal-hal lain yang berkaitan harus segera kita renovasi dalam rangka mengadaptasikan konsep yang kontekstual.
Pada era 4.0 yang kita kenal dengan fenomena mengubah paradigma industri menjadi teknologi digital, sehingga sistem produksi telah menjadi lebih efisien, fleksibel, dan praktis. Tak heran apabila para beberapa capres dan cawapres kita begitu menggebor-geborkan digitalisasi pada sebagian gagasannya.
Selain itu, tantangan yang bisa kita bilang cukup kronis di Negara indonesia kita ini adalah KKN (korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), inflasi ekonomi, tidak meratanya pembangunan, dominasi investor asing, dan kerdilnya penegakan hukum yang tumpul ke atas, tapi tajam ke bawah, serta demokrasi yang dinilai merosot.
Melihat realitas ini, seandainya Tan Malaka masih hidup, kemungkinan dia akan berkata: “Bagaimana Indonesia mau mandiri dalam pabrik, tambang, dan mensejahterkan para petani kalau para elite penguasanya gencar melakukan KKN!”. Wallahua’lam. []