Mubadalah.id – Sebagaimana maklum, ahlul Ikhtiyar atau ahli syura, merupakan salah satu elemen penting dalam negara “demokrasi”. Dan beberapa elemen lainnya, antara lain adalah kesetaraan (Musawah) sebagaimana KH. Afifuddin Muhajir memaparkannya.
Lalu pertanyaannya, Kenapa legalitas perempuan masih terus didiskusikan sebagai pemilih? Misalkan Shahathah Muhammad Saqr dalam kitabnya Ikhtilath Baina Al-Rijal wa Al-Nisa berupaya menegasikan hak perempuan dalam ranah politik, baik sebagai pemilih apa lagi sebagai yang terpilih. Tak tanggung-tanggung, Muhammad Saqr di antara argumentasi ketiadaan partisipasi perempuan dalam politik adalah klaim konsensus ulama (ijmak).
Pun, Muhammad Musthafa al-Siba’i – salah seorang yang sempat menggemparkan dunia muslim dengan buku Sosialismenya-Islam (al-Isytirikiyah Al-Islami) – juga mengatakan hal yang serupa tentang partisipasi perempuan di sektor politik. Dia juga meruntuhkan argumentasi orang-orang yang mengafirmasi partisipasi politik perempuan satu persatu, dan memaknai tentang kesetaraan, ahlul ikhtiyar.
Dalam konteks Indonesia dan UUD, tidak ada persoalan menyangkut diskusi partisipasi perempuan, bahkan ada aturan untuk melibatkan perempuan minimalnya 30%. Terlebih bagi kalangan feminis atau pejuang perempuan. Karena memilih presiden merupakan hak untuk seluruh rakyat Indonesia.
Sayangnya, rakyat Indonesia yang katanya mayoritas muslim ini masih terkungkung dengan diskusi tak berkesudahan soal perempuan dalam berbagai aspek. Tak terkecuali legalitas dalam memilih pemimpin, apa lagi menjadi pemimpin.
Imam Al-Mawardi Tidak Membedakan Lantaran Jenis Kelamin Sebagai Akhlul Ikhtiyar
Jika kita rujuk Imam Al-Mawardi yang memaparkan kriteria (ideal ) pemilih pemimpin yang berkualitas. Maka sepintas tidak ada soal bagi perempuan untuk memilih senyampang memenuhi kriteria dan tak melanggar aturan syariat lainnya, sebagai laki-laki.
Sebab, Imam Al-Mawardi tidak menyinggung-nyinggung dan membedakan lantaran jenis kelamin dalam ahlul ikhtiyar yang layak memilih pemimpin berkualitas. Hal ini juga selaras dengan titik tolak dari nilai kesetaraan dalam ahlul ikhtiyar.
Kesetaraan untuk ahlul ikhtiyar ini bisa kita lihat ketika Imam Al-Mawardi memaparkan bahwa tiadanya privelige bagi rakyat yang sedaerah dengan calon pemimpin ketimbang rakyat yang berbeda daerah dalam konteks pemilih pemimpin, (Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, 18).
Kendati pemaparan beliau dari aspek letak geografis, tapi tidak menegasikan kesetaraan-kesetaraan lainnya. Sebab titik tekannya adalah hak yang sama untuk ahlul ikhtiyar (rakyat) selama memenuhi kriteria untuk memilih pemimpin yang berkualitas. Demi terwujudnya kemaslahatan pemerintahan yang adil, tidak korup, tidak tirani, dan tak membuat negara kerajaan dalam demokrasi?.
Tapi sayangnya, rujukannya tidak melulu Imam Al-Mawardi. Imam Al-Haramain secara tegas menegasikan partisipasi perempuan sebagai ahlul ikhtiyar berikut argumentasinya. Dan wacana seperti yang diusung Imam Al-Haramain inilah yang maisntrem dalam literatur fikih klasik bahkan kontemporer.
«فَمَا نَعْلَمُهُ قَطْعًا أَنَّ النِّسْوَةَ لَا مَدْخَلَ لَهُنَّ فِي تَخَيُّرِ الْإِمَامِ وَعَقْدِ الْإِمَامَةِ، فَإِنَّهُنَّ مَا رُوجِعْنَ قَطُّ،
“Adapun riwayat yang kami yakini bahwa perempuan tidak punya ruang dalam memilih pemimpin dan melakukan kontrak kepemimpinan (nyoblos) karena mereka tidak dimintai pendapatnya” (62)
Barang kali ini lah yang menjadi dasar bagi sebagian orang untuk tetap tidak mengakui partisiasi perempuan dalam konteks politik sebagaimana kitab karya Shehata Muhammad Saqr.
Perempuan Juga Penentu dalam Memilih Pemimpin yang Berkualitas
Namun demikian, saya sendiri tentu lebih cenderung pendapat yang membolehkan perempuan memilih pemimpin. Bahkan harus memilih pemimpin sekiranya perempuan itu memiliki kapasitas dan pengetahuan tentang seluk beluknya calon presiden, sebagaimana laki-laki.
Oleh sebab itu, siapa pun, mau laki-laki atau perempuan, yang tak punya kapasitas (idealnya) tak memiliki kewajiban memilih pemimpin kendatipun berhak memilihnya. Tapi sekurang-kurangnya jangan banyak berkomentar apa lagi mengomentari orang lain yang sekiranya menimbulkan kekacauan.
Adapun argumentasi. Pertama, bahwa kepentingan rakyat tidak hanya laki-laki tetapi juga perempuan. Maka secara berkelindan perempuan berhak memilih pemimpin yang merepresentasikan kepentingan perempuan dan menampung aspirasi yang bersentuhan dengan kepentingan perempuan secara spesifik.
Termasuk memperjuangkan hak-hak perempuan dalam pelbagai aspek kehidupan dari budaya patriarki. Perempuan juga merupakan ahlul ikhtiyar sebagai wujud dari nilai kesetaraan.
Sejarah Partisipasi Perempuan dalam Politik
Kedua, fakta sejarah sebagaimana terekam dalam Nihayah wal Bidayah Ibnu Katsir dan ternukil oleh beberapa ulama kontemporer semisal Ramadan Al-Buthi dalam Fikih Sirah dan Wahbah Zuhayli dalam Fikih Islami.
Konon ketika pengangkatan Sayyidina Utsman sebagai pemimpin, sahabat Abdurrahman bin Auf tidak berhenti menjajaki seantero Madinah untuk melakukan voting siapa yang akan menjadi pemimpin antara Sayyidina Utsman dan Sayyidina Aly.
». فَسَعَى فِي ذَلِكَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ بِلَيَالِيهَا لَا يَغْتَمِضُ بِكَثِيرِ نَوْمٍ إِلَّا صَلَاةً وَدُعَاءً وَاسْتِخَارَةً، وَسُؤَالًا مِنْ ذَوِي الرَّأْيِ وَغَيْرِهِمْ، فَلَمْ يَجِدْ أَحَدًا يَعْدِلُ بِعُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ، رضي الله عنه. فَلَمَّا كَانَتِ اللَّيْلَةُ الَّتِي يُسْفِرُ صَبَاحُهَا عَنِ الْيَوْمِ الرَّابِعِ مِنْ مَوْتِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، جَاءَ إِلَى مَنْزِلِ ابْنِ أُخْتِهِ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ، فَقَالَ: أَنَائِمٌ يَا مِسْوَرُ! وَاللَّهِ لَمْ أَغْتَمِضْ بِكَثِيرِ نَوْمٍ مُنْذُ ثَلَاثٍ،
Hampir semua rakyat yang ada di Madinah termasuk perempuan ikut menyuarakan pendapatnya (pilihannya) siapa yang layak jadi pemimpin kala itu. Penjajakan voting itu, menurut Ibnu Katsir, Abdurahman menghabiskan waktu tiga hari tiga malam. Tanpa istirahat kecuali melakukan aktivitas yang pasti semisal makan, salat, dll.
Ketiga, memang betul ungkapan Imam Haramain meniadakan perempuan. Seolah-olah tidak ada kesetaraan antaran perempuan dan lelaki sebagai ahlul ikhtiyar dalam memilih presiden.
Tetapi beliau sesungguhnya bukan menitikberatkan kepada jenis kelaminnya yang perempuan. Melainkan lantaran tidak adanya akses untuk mengetahui calon-calon pemimpin kala itu. Sebagaimana ungkapan beliau ini.
وَلَوِ اسْتُشِيرَ فِي هَذَا الْأَمْرِ امْرَأَةٌ ; لَكَانَ أَحْرَى النِّسَاءِ وَأَجْدَرُهُنَّ بِهَذَا الْأَمْرِ فَاطِمَةَ عليها السلام ثُمَّ نِسْوَةَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ، وَنَحْنُ بِابْتِدَاءِ الْأَذْهَانِ نَعْلَمُ أَنَّهُ مَا كَانَ لَهُنَّ فِي هَذَا الْمَجَالِ مَخَاضٌ فِي مُنْقَرَضِ الْعُصُورِ وَمَكَرِّ الدُّهُورِ
Dari statment beliau di atas membuktikan bahwa beliau tidak membantah. Andaikan ada riwayat yang mengatakan bahwa perempuan juga punya ruang dalam memilih pemimpin. Maka perempuan yang memiliki pengetahuan dan akses sehingga layak perempuan-perempuan untuk berpartisipasi dalam kancah politik sebagaimana laki-laki umumnya (zaman dulu), semisal Siti Fatimah dan istri-istri Nabi. []