Mubadalah.id – Di beberapa daerah khususnya pulau Jawa, selain perayaan Hari Raya Idul Fitri pada 1 Syawal, Muslim Jawa juga merayakan Lebaran Ketupat yang biasanya dilaksanakan pada hari ketujuh atau kedelapan bulan Syawal setelah menyelesaikan puasa sunnah 6 hari berturut-turut.
Lebaran Ketupat atau disebut juga dengan hari raya kupatan merupakan salah satu tradisi di masyarakat Islam Jawa. Tradisi tersebut sudah mengakar dan menjadi salah satu bagian dari hari Raya Idul Fitri.
Dihimpun dari berbagai sumber, lebaran ketupat ini memiliki sejarah dengan beberapa versi. Beberapa referensi yang saya temui, lebaran ketupat pertama kali diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga. Pada masa itu, Sunan Kalijaga memperkenalkan dua istilah bakda pada masyarakat Jawa, yakni Bakda Lebaran dan Bakda Kupat.
Bakda Lebaran merupakan hari berlangsungnya pelaksanaan shalat Ied yang dirayakan dengan saling bersilaturrahmi dan saling memaafkan. Sedangkan Bakda Kupat atau Lebaran Ketupat, muslim Jawa merayakannya dengan membuat ketupat (beras yang dimasak di dalam jalinan anyaman daun janur). Lalu ketupat tersebut diantarkan ke kerabat terdekat dan tetua sebagai simbol kebersamaan dan kasih sayang.
H. J. de Graaf dalam bukunya Malay Annal menyebutkan bahwa ketupat adalah simbol perayaan hari raya Islam pada masa pemerintahan Demak. Pada awal abad ke-15, Kesultanan Demak dipimpin oleh Raden Patah.
Demak membangun kekuatan politiknya sembari menyiarkan agama Islam dengan dukungan Walisongo, salah satu diantaranya adalah Sunan Kalijaga. De Graaf menduga kulit ketupat yang terbuat dari janur kelapa yang telah dibuang lidinya tersebut menunjukkan identitas budaya pesisir yang dipenuhi banyak pohon kelapa.
Sejarah Lebaran Ketupat
Pada versi lainnya, saya juga menemukan sumber sejarah lebaran kupatan yang dilangsungkan di Desa Durenan Kabupaten Trenggalek. Di daerah ini, kupatan pertama kali diadakan oleh Kyai Abdul Masyir atau Mbah Mesir. Pada waktu itu, setiap Hari Raya Idul Fitri yang kedua sampai yang ketujuh, rumah beliau selalu tertutup karena sedang berpuasa sunnah Syawal selama enam hari.
Oleh karena itu, para santri dan masyarakat sekitar sangat sungkan untuk sowan dan silaturrahmi di kediaman beliau. Namun di hari kedelapan bulan Syawal, beliau membuat hidangan berupa ketupat dan sayur-sayuran untuk disajikan kepada para santri dan warga sekitar yang herndak bersilaturrahim ke rumahnya. Tak jarang sebelum memakan hidangan tersebut didahului dengan do’a bersama seperti slametan.
Kebiasan itu terjadi bertahun-tahun dan mengakar menjadi tradisi di sekitar Pondok Pesantren Babul Ulum. Hingga kini budaya tersebut telah dilestarikan hingga 200an tahun dan menyebar di sekitar desa Durenan.
Dari dua versi sejarah lebaran ketupat tersebut, motif dan tujuan paling utama dari penyelenggaraan tradisi kupatan adalah untuk memperkuat tali silaturrahmi antar sesama warga, bersedekah, memuliakan tamu, dan kerabat dengan membagikan ketupat dengan lauk-pauknya di hari itu.
Puasa Sunah di Bulan Syawal
Pelaksanaan lebaran Kupatan juga memotivasi masyarakat untuk mengamalkan puasa sunnah di bulan Syawal. Hal ini berdasarkan hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih Muslim nomor 1991 menyatakan bahwa, Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian diikuti dengan puasa enam hari pada bulan Syawal, maka ia seolah-olah puasa setahun.
Puasa enam hari di bulan Syawal merupakan puasa sunnah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Meskipun puasa sunnah dapat dilakukan pada awal, pertengahan, atau akhir bulan Syawal, namun dengan perayaan lebaran ketupat, masyarakat yang masih menjalani tradisi tersebut akan mengutamakan untuk melaksanakannya berturut-turut di awal bulan.
Dalam versi lain, ketupat telah ada sebelum masa Sunan Kalijaga, ketupat diangkat dari tradisi pemujaan Dewi Sri, dewi pertanian dan kesuburan, pelindung kelahiran dan kehidupan, kekayaan dan kemakmuran. Ia dimuliakan sejak masa kerajaan kuno seperti Majapahit dan Pajajaran. Ketika ajaran Islam melebur di Indonesia, Dewi Sri tak lagi dipuja sebagai dewi padi. Tapi ia hanya dijadikan lambang yang direpresentasikan dalam bentuk ketupat yang bermakna ucapan syukur kepada Tuhan.
Menjadi Simbol Perayaan Selametan
Maka tak heran, ketupat selalu ada dan menjadi simbol dalam perayaan selametan. Ketupat menurut Slamet Mulyono dalam Kamus Pepak Basa Jawa berasal dari kata kupat. Parafrase kupat adalah ngaku lepat: mengaku bersalah. Janur atau daun kelapa yang membungkus ketupat merupakan kependekan dari kata jatining nur yang diartikan hati nurani.
Jatining Nur juga bermakna memiliki cita-cita untuk menggapai cahaya ilahi dengan hati yang bersih. Untuk itu, agar bisa mencapainya, seseorang harus selalu ingat pada Tuhan, berdzikir, dan beramal saleh. Secara filosofis, beras yang dimasukkan dalam anyaman ketupat menggambarkan nafsu duniawi. Maka bentuk ketupat melambangkan nafsu dunia yang dibungkus dengan hati nurani.
Tradisi Lebaran Ketupat sampai kini masih lestari, bukan hanya di pesisir pulau Jawa, di beberapa kota lainnya juga ada, namun dengan istilah yang berbeda-beda. Tradisi ini memiliki banyak filosofi dan mengandung amaliah dan ajaran hadist nabi (living hadist) dalam kehidupan.
Maka jika ada yang mengatakan ini bid’ah, jelas saja mereka hanya melihat kulitnya dan tidak mau mempelajari esensi dan hikmah di balik pelaksanaannya. Wallahu A’lam Bisshawab. []