Mubadalah.id – Begitulah suasana hingga awal 90an. Baju keseharian kami sebagai santri ya kaos atau kemeja. Celana atau rok span panjang untuk bawahan. Jilbab tidak ada yang panjang. Gamis malah belum ada yang pakai. Santri putra, kiai dan para ustad tidak ada yang bercelana cingkrang.
Saya menikmati suasana salat jamaah. Santri putri menempati area masjid depan, yang putra di shaf-shaf dekat imam. Sambil menunggu iqomat, dari sela tirai putih terlihat satu persatu mereka melangkah cepat. Hening. Hanya aneka sarung rapih-rapih berkelebat. Saya tidak pernah tahu, salah satu di antara yang paling rapih itu kelak jadi suamiku.
Outfit kami ya simpel, nyaman. Bukan penghalang kegiatan. Kami dibina percakapan bahasa Arab dan Inggris. Punya kegiatan seni budaya, olahraga dan pramuka. Diajarkan akhlak mulia, cinta tanah air dan bela bangsa.
Lulus tahun 93. Ayahanda mendukung saja pilihan kuliah anaknya. Beliau kiai dengan pandangan terbuka. Siapa bilang jurusan filsafat itu sesat. Adik saya memilih kuliah bidang seni karawitan. Beliau pun tak keberatan. Lautan ilmu bebas nilai pencerah kehidupan.
Di Ciputat, banyak sumber baru dari Timur dan Barat. Meski sebagai mahasiswa saya suka mojok, tetapi bersyukur duduk di kelas pak Komarudin Hidayat, pak Said Aqil Siraj, ibu Zakiyah Darajat, dan lain-lain. Serta Pak Quraisy Shihab, rektor kami masa itu.
Ada gerakan dakwah di kampus, saya tak tertarik. Sudah 7 tahun sebagai santri dan lulus, saya ingin eksplore yang lain. Mungkin peserta kajian ada yang baru belajar abatasa, atau ada level advance juga. Saya tidak tahu. Lebih ingin tahu bagaimana mendaki gunung. Suka melihat teman-teman terampil wall climbing, sambil diskusi-diskusi sana sini.
Mei 98, saya berjaket almamater ikut aksi di Senayan. People power yang sesungguhnya. Tentu tak ada teriakan takbir mengusung bendera Palestina. Tidak ada. Mahasiswa berbagai kampus berhimpun demi reformasi. Orde Baru sudah terlalu lama berkuasa. Power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely.[]