Mubadalah.id – Beberapa waktu lalu saya sempat ditelfon oleh seorang kolega dari Kalimantan. Sebagai orang yang sedang berdomisili di Kota Gudeg, dia bertanya kepada saya terkait pondok pesantren di Yogyakarta yang bagus secara kuantitas dan mapan secara fasilitas. Kemudian saya menyebutkan beberapa pondok pesantren yang cukup recomended untuk orang dengan ekonomi menengah ke atas seperti beliau ini.
Obrolan kami tidak terlalu lama bahkan terbilang sangat singkat. Karena saya sendiri tidak terlalu banyak mengetahui terkait pondok pesantren modern di Yogyakarta, selain pondok pesantren yang sudah populer dan dikenal cukup luas baik secara regional atau nasional.
Percakapan singkat tadi membuat saya sedikit berpikir bahwa fenomena yang terjadi pada masyarakat hari ini adalah dalam menuntut ilmu masih banyak yang melihat seberapa besar popularitas sebuah lembaga pendidikan.
Padahal substansi dari sebuah lembaga pendidikan tidak kita lihat dari seberapa besar bangunannya, berapa banyak siswa/i nya dan seberapa bagus fasilitasnya. Tetapi yang kita lihat adalah bagaimana kualitas keilmuan dari siswanya dan guru-gurunya. Selain itu, penting juga untuk menilik kriteria memilih guru yang mumpuni.
Media dan Munculnya Ustad Medsos
Selaras dengan apa yang telah penulis sebutkan di atas, hari ini media mempunyai peran yang cukup signifikan dalam meningkatkan popularitas sebuah lembaga pendidikan. Tidak hanya itu, perkembangan teknologi yang semakin pesat membuat orang lain dengan mudah mencapai popularitas tersebut.
Dengan kecanggihan media sosial, kita tidak perlu lagi datang ke pengajian yang tempatnya lumayan jauh. Cukup dengan membuka youtube, facebook, dan media sosial lainnya kemudian duduk santai sambil mendengarkan. Sangat simpel, sebab hari ini semua telah tersedia oleh media sosial. Kita hanya tinggal menikmati saja.
Di sisi lain, penggunaan media sosial yang cukup masif juga memunculkan berbagai problematika, salah satu di antaranya adalah munculnya ustaz-ustaz di media sosial yang tidak kita ketahui sanad keilmuannya. Dengan bermodalkan public speaking yang bagus, retorika yang menarik, lantunan al-Qur’an yang indah, justru lebih masyarakat minati hari ini, terutama dari kalangan anak muda.
Berangakat dari fenomena tersebut maka banyak bermunculan istilah seperti kiai google, santri youtube, santri digital dan lain sebagainya. Akibatnya, para ustaz tersebut mendapatkan ruang tersendiri di masyarakat dengan mereka jadikan sebagai panutan tanpa mengetahui latar belakang keilmuannya.
Memilih guru dalam Kitab Ta’lim Muta’alim
Imam Az-Zarnuji dalam kitab Ta’lim Muta’alim telah memberikan kisi-kisi bagaimana kriteria memilih guru yang baik. Menurut beliau terdapat tiga kriteria utama dalam memilih guru untuk menuntut ilmu.
Pertama, A’lam (lebih alim). Pada kriteria pertama ini kita utamakan untuk mencari guru yang ‘alim. Maksud ‘alim di sini adalah orang yang mempunyai pengetahuan yang luas dan menguasai terhadap ilmu tersebut. Hal ini karena dalam mencari yang kita tuju adalah pengetahuannya.
Ini adalah sebuah perinsip yang sangat penting karena akan berkaitan dengan sanad keilmuan. Karena pada hakikatnya substansi seorang guru adalah pengetahuan dan ilmunya. Namun, hari ini kealiman seseorang hanya terlihat dari seberapa banyak jamaahnya, santrinya, dan quote yang bersliweran di media sosial.
Namun, bukan berarti penulis meragukan kealiman seseorang ustaz atau kiai yang telah populer di media sosial. Tetapi tidak dapat kita pungkiri bahwa hal ini memang terjadi di masyarakat, di mana masih banyak yang melihat popularitasnya daripada keilmuannya.
Kedua, wira’i artinya yang selalu menghindari barang-barang syubhat. Pada opsi yang kedua ini ada anjuran untuk mencari guru yang wara’. Saran lain untuk mencari guru yang wira’i adalah karena terkadang banyak yang berilmu tetapi masih korupsi. Selain itu mereka menunjukkan kegemerlapan dan kemewahan. Maka, dengan demikian penting kiranya untuk memilih guru yang sederhana.
Guru: Digugu lan Ditiru
Ketiga, ansa (sepuh). Jika dua opsi di atas sudah dimiliki maka opsi yang ketiga adalah sepuh atau yang sudah tua. Pada kriteria ini kita ibaratkan buah kelapa yang semakin tua maka semakin banyak pula santannya. Pengalaman yang sudah malang melintang dalam dunia keilmuan akan membuatnya tampak lebih sarat dengan hikmah dan kebijaksanaan. Sehingga dapat menuntun seseorang menuju jalan kebenaran.
Imam Abu Hanifah ketika memutuskan untuk berguru kepada Syekh Hammad bin Abi Sulaiman dengan alasan karena beliau merupakan orang yang sepuh, bijaksana, sabar, dan berpengetahuan luas. Seperti pribahasa yang cukup familiar kita dengar terkait guru adalah, “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Adapun makna dari pribahasa tersebut yakni apapun perbuatan yang seorang guru lakukan, maka akan ditiru oleh murid-muridnya.
Oleh sebab itu menjadi guru bukanlah satu hal yang mudah. Karena setiap perbuatan yang ia lakukan akan menjadi contoh bagi murid-muridnya. Sebagaimana dalam filosofi Jawa guru adalah digugu lan ditiru. Oleh karenanya dalam mencari guru tiga kriteria tersebut harus lebih kita utamakan. Sebab bentuk simbolisasi seorang guru terlihat dari keilmuan, akhlak dan kesehariannya, bukan dari followers dan popularitasnya. Wallahua’lam. []