Mubadalah.id – Hadits Nabi Muhammad Saw adalah catatan teladan nyata. Teladan tentang visi Islam rahmatan lil ‘alamin dan misi akhlak mulia dalam kehidupan beliau sendiri dengan para Sahabat. Sayangnya, banyak orang memaknai teks-teks hadits secara atomik, atau juz’iy. Praktik ini bisa membuat teks hadits bisa terpenggal dan terpisah dari visi dan misi ini. Seringkali satu teks hadits, bahkan satu atau sebagian kalimat suatu teks hadits, diambil begitu saja. Lalu dijadikan sumber ajaran Islam dengan menggali makna kosa kota dari kamus bahasa. Pendekatan ini menjauhkan Hadits dari peran yang diembannya dalam merepresentasikan visi dan misi agung tersebut.
Nah, metode mubadalah adalah salah satu pendekatan yang memandang teks-teks hadits secara holistik (syumuli) dalam naungan visi dan misi Islam itu. Ia mensyaratkan integrasi (muwahhad) dan keselarasan (munasabah) dengan ayat-ayat al-Qur’an dan teks-teks Hadits yang lebih jelas dan tegas mengandung ajaran dasar dari visi dan misi tersebut. Dalam isu relasi laki-laki dan perempuan, ajaran dasar yang harus selalu dirujuk adalah eksistensi kehambaan kepada Allah Swt dan kekhalifahan di muka bumi ini. Ajaran dasar harus berada dalam setiap proses pemaknaan untuk memastikan visi rahmatan lil ‘alamin dan misi akhlak mulia menjadi nyata dalam relasi laki-laki dan perempuan.
Dengan rujukan ajaran dasar ini, metode mubadalah memandang laki-laki dan perempuan sebagai subyek utuh kehidupan, yang keduanya sama-sama hamba Allah Swt, sama-sama khalifah-Nya di muka bumi, disapa al-Qur’an dan Hadits dalam mewujudkan visi misi agung Islam, baik untuk diri mereka sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dunia, dan alam semesta. Relasi keduanya, karena itu, adalah bukan hegemoni dan dominasi, melainkan kesalingan dan kerjasama.
Merujuk pada Hadits dalam Kerja-kerja Mubadalah
Kerja mubadalah adalah segala upaya kultural untuk mentransformasikan relasi gender yang hirarkis, hegemonik, dan dominatif, menjadi relasi yang resiprokal, bermartabat, adil, dan maslahat. Dalam Islam, kerja-kerja kultural ini harus merujuk pada al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad Saw. Di samping kepada khazanah fiqh, tafsir, tasawuf dan yang lain. Yang utama, bagaimana kita menemukan rujukan untuk menegaskan bahwa perempuan adalah subyek kehidupan sebagaimana laki-laki.
Dalam konteks kajian Hadits, mungkin kita bisa mengawali dari kenyataan bahwa ilmu Hadits telah membuat keputusan yang cukup radikal ketika memandang bahwa satu perempuan setara dengan satu laki-laki dalam hal mendengar dan meriwayatkan hadits. Akal perempuan setara dengan akal laki-laki, tanpa perlu penguat satu saksi dari perempuan lain. Seorang perempuan bisa menjadi murid yang mendengar, lalu menjadi perawi yang dipercaya, dalam semua ajaran keislaman, akidah, akhlak, maupun hukum-hukum.
Kesaksian akal satu orang perempuan untuk hal-hal krusial dalam ajaran Islam ini adalah menarik. Padahal dalam fiqh, karena ayat al-Baqarah (QS. 2: 282) tentang hutang piutang, akal perempuan dalam hal persaksian untuk hampir semua urusan dunia dianggap satu laki-laki berbanding dua perempuan. Terobosan ilmu Hadits ini bisa menjadi awal untuk melihat lebih banyak lagi dimensi-dimensi Hadits yang seringkali dipandang sebelah mata oleh beberapa akademisi, sehingga meninggalkan Hadits dalam perumusan teologi keislaman yang lebih ramah perempuan dan adil gender. Padahal, Hadits adalah sumber rujukan kedua dan banyak hal bisa kita temukan dengan merujuk pada teks-teks Hadits.
Makna Inklusif Hadits bagi Kerja-kerja Mubadalah
Hadits seringkali didefinisikan sebagai ucapan dan perbuatan Nabi Muhammad Saw yang disahkan para ulama melalui penelitian sanad (jalur periwayatan) dan matan (isi kandungan). Tetapi dalam definisi akademis ilmu mustholah al-hadits, yang disebut Hadits adaslah segala perkataan (qawlun), perbuatan (fi’lun), dan ketetapan (taqrirun) Nabi Muhammad Saw. Ketetapan didefinisikan para ulama sebagai perkataan dan perbuatan para Sahabat yang yang terjadi pada masa Nabi Saw dan dibiarkan. Sehingga dianggap direstui oleh beliau.
Jika merujuk pada kitab-kitab hadits, misalnya Sahih Bukhari sebagai kitab yang kita akui paling valid. Ia mengandung berbagai kisah tentang para sahabat dalam pergaulan mereka dengan Nabi Saw. Kitab-kitab hadits yang lain juga serupa, mengandung banyak kisah tentang para sahabat. Kisah-kisah para sahabat ini mungkin bisa kita kategorikan sebagai hadits taqriri, dalam terminologi ilmu hadits. Yaitu hal-hal yang terucapkan atau para sahabat lakukan pada masa Nabi Saw, dan tidak ada pelarangan baginda terhadap apa yang mereka lakukan. Jika fokusnya hanya pada Nabi Muhammad Saw, maka konsepsi hadits mungkin bisa kita katakan hanya tentang laki-laki. Tetapi dengan melihat definisi dari hadits taqriri ini, sesungguhnya konsepsi Hadits, dalam Islam, adalah juga tentang kehidupan para sahabat perempuan.
Ini adalah pendekatan praktis dalam mengkonsepsi makna Hadits, dengan merujuk pada kitab-kitab hadits langsung, terutama Sahih Bukhari dan Sahih Muslim. Dengan pendekatan ini, perempuan menjadi terlibat sebagai subyek dalam konsepsi Hadits sebagai sebagai sumber pengetahuan dan ajaran. Pendekatan ini sesungguhnya telah Imam Bukhari dan Imam Muslim lakukan dalam kitab-kitab Sahih mereka, tetapi tidak terlalu kentara.
Beberapa ulama berikutnya, terutama pada masa kontemporer melakukanya lebih eksplisit. Seperti Syekh al-Qannuji (w. 1307 H/1890 M) dalam koleksinya “Husn al-Uswah bimaa Tsabata min Allahi wa Rasulihi fii an-Niswah”, Fathimah Umar Nasef dalam “Huquq al-Mar’ah wa Wajibatuha fi Daw’i al-Kitab wa as-Sunnah” (1989), dan lebih jelas lagi dalam karya magnum opus Abu Syuqqah (w. 1995) yaitu “Tahrir al-Mar’ah fi ‘Asr ar-Risalah: Dirasah ‘an al-Mar’ah Jami’ah li Nusus al-Qur’an wa Sahihay al-Bukhari wa Musim” (1990).
Abu Syuqqah
Abu Syuqqah telah menetapkan semua pengalaman perempuan Sahabat pada masa Nabi Saw, dengan tegas dan jelas, sebagai hadits-hadits praktikal (al-ahādīts al-‘amaliyah al-tathbīqiyyah) dalam semua isu relasi kehidupan antara laki-laki dan perempuan. Ini pernyataan yang cukup radikal yang bisa memberikan otoritas pada praktik-praktik yang para Sahabat perempuan lakukan pada masa Nabi Saw. Pernyataan dan perbuatan para Sahabat perempuan, seperti Khadijah ra, Aishah ra, Umm Haram ra, dan Nusaibah bt Ka’b ra. Kemudian, Umm Salamah ra, Asma bt Abi Bakr ra, dan yang lain dianggap sebagai contoh dari petunjuk praktis kenabian.
Melalui pernyataan dan pengalaman mereka, Abu Syuqqah menyusun kembali tema-tema Hadits menjadi lebih tegas dan jelas dalam mendeskripsikan ragam kehidupan dan aktivitas perempuan pada masa kenabian. Ada banyak tema tentang karakter, kondisi, dan aktivitas perempuan pada masa itu, di dalam rumah tangga dan di ruang-ruang publik. Ada tema tentang kepintaran perempuan, keikhlasan, ketekunan, keikutsertaan dalam hijrah dan jihad, belajar, bekerja, mengelola rumah tangga, dan bahkan menafkahi keluarga. Semua pengalaman perempuan pada masa Nabi Saw. Jika dieksplorasi lebih lanjut bisa menjai fiqh tersendiri yang lebih menyuarakan jati diri dan karakter perempuan.
Dengan pendekatan ini, jika dikembangkan, kita bisa memiliki berbagai kesimpulan-kesimpulan hukum, ajaran, dan akhlak, yang diambil dari pengalaman para perempuan pada masa Nabi Saw. Mereka yang terlibat aktif dalam dakwah sejak awal kenabian, yang ikut hijrah dan jihad. Lalu ada yang bekerja dan berjuang, melamar dan menawarkan diri pada laki-laki, bertanya, mengadu, memprotes. Bahkan datang berkelompok yang untuk masa sekarang bisa kita anggap sebagai demonstrasi. Begitupun pengalaman-pengalaman mereka bekerja di dalam rumah, dilamar dan dinikahi, diajak bicara dan diajak terlibat dalam pembicaraan isu-isu keluarga dan juga publik. Serta banyak lagi isu-isu lain yang bisa kita simpulkan dari pengalaman-pengalaman perempuan masa Nabi Saw yang terekam dalam kitab-kitab Hadits.
Validasi Teks-teks Hadits
Di antara kajian hadits yang dilakukan banyak kalangan, termasuk dalam hal isu-isu gender, adalah ujian validasi jalur periwayatan orang-orang yang bertanggung-jawab atas munculnya redaksi teks Hadits. Kajian ini biasa disebut dengan kritik sanad Hadits, atau takhrij wa naqd al-hadits. Kajian periwayatan sudah hampir sulit dilakukan generasi sekarang. Karena hampir semua persoalan sudah dikaji, kecuali jika kriteria penerimaan bisa didiskusikan ulang. Misalnya dengan mengintrodusir syarat anti-kekerasan, bahwa pelaku kekerasan terhadap istri karena merupakan kezaliman, dianggap gugur dari periwayatan.
Dalam kajian kritik sanad, beberapa syarat yang diintrodusir sebagai penyebab gugurnya hak periwayatan di antaranya adalah tidak memahami apa yang diriwayatkan, dan melakukan kebohongan sekalipun kepada binatang. Serta melakukan dosa besar atau sering melakukan dosa kecil, dan melanggar norma-norma sosial (murû’ah), seperti tidak menutup kepala. Jika kita menerima ilmu kritik sanad sebagaimana adanya, taken for granted. Maka yang tersisa adalah penyisiran teks-teks Hadits yang berkembang di masyarakat dengan kaca mata ilmu Hadits, di antaranya dengan metode takhrîj al-hadits.
Istilah takhrîj secara literal bahasa berarti ‘mengeluarkan’ sesuatu. Istilah ini dapat kita gunakan pada konteks kajian Hadits untuk segala upaya pertanggung-jawaban ilmiah terhadap keberadaan suatu teks Hadits dengan merujukannya pada perawi atau sumber-sumber kitab awal yang mengeluarkan teks tersebut.
Dalam tradisi ilmu Hadits, seseorang tidak berhak secara ilmiah mengungkapkan atau menulis “Bahwa Nabi Saw berkata: sesuatu” tanpa menyebutkan siapa perawi penanggung-jawab, atau apa kitab rujukan Hadits yang dipakai.
Metode Takhrîj
Metode takhrîj ini digunakan untuk mengetahui apa sumber kitab Hadits yang menyebutkan suatu teks tertentu. Dan kemudian akan mudah dikenali apakah ia termasuk teks yang diterima (maqbûl), atau ditolak (mardûd) di kalangan ulama Hadits. Yang maqbûl bisa masuk kategori sehat (sahîh) dan baik (hasan). Sementara yang mardûd bisa masuk kategori lemah (dha’îf) dan palsu (maudhû’). Jika suatu teks, yang dianggap Hadits Nabi Saw, tetapi tidak bisa dirujukkan pada perawi penanggung-jawab. Bahkan tidak kita temukan di kitab Hadits rujukan. Maka ia akan menjadi teks yang tidak berdasar (lâ ashla lahû).
Sebagaimana tercatat dalam sejarah, dinamika penulisan dan pengumpulan teks-teks Hadits mengalami fluktuasi yang sangat signifikan. Berawal dari pengetatan yang sangat ekstrim, pelonggaran, pengetatan kembali, dan pelonggaran kembali sampai pada gelombang abad ketiga dan keempat Hijriyah yang memasukkan teks-teks yang lemah. Bahkan di abad-abad berikutnya muncul lebih banyak lagi teks-teks Hadits. Yang sekalipun tidak berdasar (lâ ashla lahû), mereka pakai dan rujuk dalam ruang-ruang pembelajaran keagamaan. Upaya verifikasi dan validasi yang ulama Hadits telah lakukan secara ketat. Tetapi animo masyarakat Muslim untuk selalu merujuk pada tradisi Nabi Saw, membuat persoalan perujukan masih mengalami problem besar. Teks-teks Hadits terkait isu relasi gender, atau lebih khusus isu-isu perempuan. Termasuk di antara yang tidak terkendali, karena banyak memuat teks-teks lemah, mereka palsukan, bahkan yang tidak berdasar.
Mengkritisi Teks-teks Hadits
Kondisi demikian yang banyak memicu semangat intelektual ulama-ulama terkemuka pada masa sekarang untuk mengkritisi teks-teks Hadits yang tersebar di kalangan masyarakat muslim, terkait isu-isu perempuan, padahal setelah diverifikasi (takhrîj) tidak ditemukan sebagai teks Hadits.
Semangat demikian bisa kita temukan di berbagai karya ulama kontemporer, seperti karya Syekh Muhammad al-Ghazali (1917-1996) Qadhâyâ al-Mar’ah bayn at-Taqâlîd ar-Râkidah wa al-Wâfidah (Isu-isu Perempuan antara Tradisi Lama dan Budaya Baru), dan karyanya yang lain “as-Sunnah bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadîts” (Sunnah antara Ulama Fiqh dan Ulama Hadits).
Di Indonesia, KH. Husein Muhammad telah mempelopori penggunaan metode takhrîj untuk memverifikasi beberapa teks Hadits terkait isu-isu perempuan dalam Kitab ‘Uqûd al-Lujjayn karya Syekh Nawawi Banten (w. 1314 H/1897M), yang kemudian mereka lanjutkan dalam Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) yang menemukan bahwa 101 teks Hadits mengenai isu relasi laki-laki dan perempuan yang Syekh Nawawi Banten rujuk, kebanyakan justru tidak otentik dan tidak valid.
Pendekatan ini memang penting untuk menghadapi teks-teks hadits lemah, atau bahkan palsu yang beredar luas di masyarakat. Tetapi untuk teks-teks hadits yang sahih, terutama dari Sahih Bukhari dan Muslim, pendekatan kritik sanad sudah tidak kita perlukan lagi. Kita harus fokus pada apa yang telah Syekh Abu Syuqqah awali, yaitu mengkompiliasi ulang dan menyusun ulang dalam tema-tema yang lebih memunculkan perempuan sebagai subyek.
Menyusun Ulang Kompilasi Hadits
Dengan merujuk pada teks-teks Hadits yang telah terbukukan di dalam dua Kitab Hadits paling kredibel, Sahih Bukhari dan Sahih Muslim. Abu Syuqqah menyusun ulang teks-teks tersebut ke dalam tema-tema yang lebih jelas dan tegas dalam pemihakan mengenai pembebasan perempuan masa kenabian. Teks-teks Hadits yang sama, tetapi berbeda penempatan dan penyusunan, serta pengungkapan tema-tema bernuansa kontemporer. Dengan buku kumpulan Hadis seperti ini, yang tersusun dalam tema-tema baru. Pembaca ia kenalkan potret-potret perempuan pada masa Nabi Muhammad Saw yang aktif, mandiri, dan kuat. Serta berkiprah dalam segala aspek sosial, politik dan ekonomi.
Aspek penyusunan tema ini masih sangat terbuka lebar, dan belum banyak dikerjakan ulama, intelektual, maupun para pendamping komunitas agama dalam mengadvokasi hak-hak perempuan, atau tepatnya keadilan gender. Dalam konteks legitimasi kultural, aspek ini terlihat lebih mudah diterima dan bisa bekerja secara lebih baik dalam mengintrodusir kesadaran keadilan gender di kalangan komunitas agama, seperti masyarakat pesantren, para pelajar sekolah-sekolah agama dan mahasiswa perguruan tinggi Islam.
Memaknai Ulang Teks-teks Hadits
Selain aspek validasi jalur periwayatan (naqd wa takhrij al-hadits) dan penyusunan ulang tema-tema Hadits (tabwib wa tarjamah al-hadits). Yang tersisa adalah pemaknaan ulang atas teks-teks tersebut (syarh wa fiqh al-hadits). Di sini, sebagaimana sudah kita kenalkan pada perhelatan Kongres Ulama Perepuan Indonesia pertama di Kebon Jambu. Metode Qira’ah Mubadalah menjadi relevan untuk melakukan kerja-kerja kultural mubadalah melalui pemaknaan teks-teks Hadits. Ia menjadi salah satu metode pemaknaan hadits, dari berbagai metode yang telah lahir. Yang memungkinkan perempuan dan laki-laki menjadi subyek bagi makna yang terkandung di dalamnya.
Hadits-hadits tentang perempuan shalihah, misalnya, tidak hanya untuk menuntut perempuan menjadi orang yang baik pada suaminya. Dan melupakan tuntutan yang sama pada laki-laki untuk menjadi shalih dan berbuat baik pada istrinya. Metode Mubadalah akan menggali makna dari dalam teks-teks itu. Sehingga yang mubadalah sapa adalah kedua belah pihak: perempuan agar shalihah kepada suaminya dan laki-laki agar shalih kepada istrinya. Begitupun hadits tentang kebaikan dan keberkahan yang seseorang peroleh jika makan dari hasil kerjanya sendiri. Maka dalam perspektif mubadalah, ia berlaku bagi laki-laki dan perempuan.
عَنِ الْمِقْدَامِ بن معديكرب بن عمرو الكندي رضى الله عنه عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِىَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
Dari Miqdam bin Ma’dikarib bin Amr ra, dari Rasulullah Saw, bersabda: “Makanan terbaik yang dikonsumsi seseorang adalah yang dari hasil kerjanya sendiri. Sesungguhnya Nabi Dawud as selalu memakan dari sesuatu hasil kerja tangannya sendiri”. (Sahih al-Bukhari, Kitab al-Buyu’, no. hadits: 2111).
Jika kita selalu mengapresiasi seseorang yang bekerja untuk kebutuhanya secara mandiri, tidak bergantung pada orang lain. Apalagi meminta-minta, maka apresiasi ini, secara mubadalah, harus mengarah kepada perempuan, sebagaimana biasanya kepada laki-laki. Wallahu a’lam. []