• Login
  • Register
Selasa, 3 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Monogami di Surga, Mungkinkah?

Alih-alih risau memikirkan keadaan pasangan, berharap menjadi satu-satunya, tidakkah kita memiliki orientasi yang lebih tinggi terhadap surga?

Kholifah Rahmawati Kholifah Rahmawati
19/02/2024
in Personal, Rekomendasi
0
Monogami di Surga

Monogami di Surga

898
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Bidadari surga menjadi bahasan eskatologi yang cukup menarik dalam kajian gender. Pasalnya selama ini narasi bidadari surga cenderung membahas kenikmatan sepihak. Di mana kenikmatan tersebut yang hanya bisa dirasakan dari sudut pandang laki-laki. Sedangkan dari sudut pandang perempuan keberadaan bidadari surga cenderung menimbulkan problem dan polemic.

Masih menyambung bahasan tentang problem bidadari surga bagi perempuan yang pernah saya bahas  sebelumnya. Problem paling umum yang dirasakan perempuan adalah kegelisahan seorang Istri yang ingin selalu menjadi pasangan tunggal suaminya (monogami).

Menyikapi kegelisahan tersebut, alangkah lebih bijak jika kita tidak hanya menlihat bidadari surga dari kacamata laki-laki, namun sedikit banyak juga mengakomodasi sudut pandang perempuan. Atau setidaknya memandang keberadaan bidadari surga secara obyektif sebagai salah satu bagian kenikmatan surga.

Menjadi Satu-Satunya

Secara obyektif kita bisa memaknai keberadaan bidadari surga, sebagai salah satu bentuk fasilitas surga. (Bukan sebagai manusia khususnya perempuan). Sebagai sebuah fasilitas, tentu pemanfaatanya tergantung penghuninya. Digunakan atau tidak juga tergantung pemiliknya. Maka dalam konteks laki-laki penghuni surga, keberadaan bidadari surga tidaklah pasti. Bidadari hanya akan ada jika laki-laki tersebut menginginkanya.

Dengan pemaknaan seperti di atas, setidaknya terdapat harapan bagi seorang istri yang mengiginkan pernikahan monogami seutuhnya dan menjadi satu-satunya pasangan bagi suaminya kelak. Bisa jadi dengan ikhtiyar dan doanya sebagai Istri salihah, kelak akan membuat suaminya hanya menginginkan dia saja.

Baca Juga:

Refleksi Surah Al-Ankabut Ayat 60: Menepis Kekhawatiran Rezeki

Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

Menggugat Poligami, Menegakkan Monogami

Mengapa Waktu Berlalu Cepat dan Bagaimana Mengendalikannya?

Monogami di Surga, Mungkinkah?

Meskipun surga dipenuhi dengan bidadari, bukan berarti monogami adalah sesuatu yang mustahil. Hal tersebut bergantung pada bagaimana kita memaknai hakikat bidadari itu sendiri. Saat kita memaknai keberadaan mereka sebagai fasilitas bukan keniscayaan, maka keberadaan bidadari sangat bergantung pada keinginan Sang penghuni surga.

Sehingga saat suami hanya menginginkan istrinya  saja, maka istri tersebut  benar-benar  menjadi pasangan satu-satunya. Bukan di buat seolah menjadi satu-satunya

Saya kurang setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa ketika seorang suami memiliki banyak bidadari, maka istrinya dibuat tidak tahu sehingga ia merasa menjadi satu-satunya.

Bukankan tidak ada kata dusta dalam surga?

Menjadi yang Paling Utama

Lalu bagaimana saat sang suami memang mengiginkan bidadari?

Maka pada saat itulah baru fasilitas bidadari surga akan diberikan. Lalu bagaimana dengan nasib istrinya ? Apakah dia akan kesepian dan sakit hati? Tentu tidak, pada kondisi ini, jawaban klasik bisa kita gunakan.

Muslimah yang masuk surga keutamaanya jauh lebih tinggi dari para bidadari surga. Keutamanan ini meliputi kedudukan maupun penampilan mereka. Sehingga segala bentuk keindahan yang dinisbatkan pada bidadari surga akan kalah dengan keindahan yang diperoleh muslimah di dalam surga. Selain itu muslimah juga akan mendapatkan kenikmatan lain sebagai balasan atas amalnya di dunia.

Dengan kondisi demikian, maka tidak heran bila muslimah (istri) akan menjadi “Ratu Bidadari” di surga. Jangan kecewa dulu!! Mari kita sedikit membacanya dari perspektif perempuan.

Menjadi seorang Ratu, Apa yang kita pikirkan? Kekuasaan, Kemuliaan dan Kemewahan. Yups, itu semua yang akan kita dapatkan, seandainya kelak suami kita mengiginkan bidadari surga. Bidadari memang diciptakan untuk melayani laki-laki di Surga. Namun saat kita menjadi Ratu Bidadari maka mereka juga akan melayani kita layaknya seorang Ratu.

Sebagai Ratu kita akan menjadi yang utama bagi suami kita. Walaupun jumlah mereka banyak, para bidadari hanyalah sekadar pelayan. Sebagai Ratu, kita tidak akan bersaing, justru mendapatkan penghormatan dari mereka, bahkan kita punya kekuasaan untuk mengatur mereka. Menarik bukan?

Bukankah banyak perempuan merasa senang ketika diperlakukan sebagai ratu Ratu? Mungkin konsep Ratu bidadri ini bisa menjadi jawabanya.

Namun jika kita belum bisa menerimanya juga karena adanya rasa cemburu, maka ingat satu hal. Bahwa di surga tidak ada lagi kesusahan,yang ada hanya kesenangan dan kedamaian. Rasa cemburu yang menyakitkan dalam bayangan kita kelak sudah tidak ada lagi.

Menjadi Hamba Sang Pencipta

Kedua hal di atas, menjadi satu-satunya atau menjadi yang paling utama, adalah sebuah pilihan. Namun sadarkah kita bahwa keduanya hanya menyangkut hubungan kita dengan pasangan saja. Pernahkah kita berpikir tentang relasi yang jauh lebih penting dari itu? Atau tentang nikmat surga yang jauh lebih tinggi dan paripurna? Benarkah hanya tentang bidadari?

Dalam Al-Qur’an diceritakan ada satu golongan dari penduduk surga yang mendapatkan kenikmatan paripurna. Mereka adalah golongan muqarrabin. Golongan tersebut memperoleh kenikmatan spiritual yang tidak dapat dilukiskan secara fisik. Jangankan bidadari, kemewahan dan segala fasilitas surga yang tersedia  akan kalah dengan kenikmatan ini.

Para muqarrabin sibuk mendekatkan diri dengan Tuhannya. Tujuan mereka bukan lagi surga dan bidadarinya, tapi Sang Pencipta dengan segala Keagunganya. Bagi mereka seindah apapun surga dan secantik apapun bidadari, semuanya  adalah makhluk. Adakah makhluk lebih utama daripada Sang Khaliq?

Bukankah kita masuk surga karena keimanan kita pada Sang Khaliq? Bukankah selama di dunia kita selalu beribadah, berdoa dan memohon padanya untuk memberikan Surga. Lalu, setelah di Surga tidakkah hati ini merindukan-Nya?

Oleh karena itu, alih-alih risau memikirkan keadaan pasangan, berharap menjadi satu-satunya atau jadi yang paling utama. Tidakkah kita memiliki orientasi yang lebih tinggi terhadap surga? []

 

 

 

 

Tags: akhiratbidadarimanusiaMonogamisurga
Kholifah Rahmawati

Kholifah Rahmawati

Alumni UIN KH Abdurrahman Wahid Pekalongan dan Mahasiswa di UIN Sunan Kalijga Yogyakarta. Peserta Akademi Mubadalah Muda 2023. Bisa disapa melalui instagram @kholifahrahma3

Terkait Posts

Tubuh yang Terlupakan

Luka Cinta di Dinding Rumah: Tafsir Feminis-Spiritual atas Tubuh yang Terlupakan

3 Juni 2025
Akhlak Karimah

Bagaimana Akhlak Karimah dalam Memilih dan Melamar Pasangan Pernikahan?

2 Juni 2025
Kurban

Kurban Sapi atau Kambing? Tahun Ini Masih Kurban Perasaan! Refleksi atas Perjalanan Spiritual Hari Raya Iduladha

2 Juni 2025
Ketuhanan

Ketuhanan yang Membebaskan: Membangun Perdamaian dengan Dasar Pancasila

1 Juni 2025
Pandangan Subordinatif

Dekonstruksi Pandangan Subordinatif terhadap Istri dalam Rumah Tangga

31 Mei 2025
Joglo Baca SUPI

Joglo Baca SUPI: Oase di Tengah Krisis Literasi

31 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Tubuh yang Terlupakan

    Luka Cinta di Dinding Rumah: Tafsir Feminis-Spiritual atas Tubuh yang Terlupakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perbedaan Feminisme Liberal dan Feminisme Marxis

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Penyandang Disabilitas: Teknologi Asistif Lebih Penting daripada Mantan Pacar

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Membaca Ulang Makna Aurat dalam Al-Qur’an

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa dan Untuk Apa Perempuan Memakai Jilbab?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Aurat Menurut Pandangan Ahli Fiqh
  • Trans Jogja Ramah Difabel, Insya Allah!
  • Membaca Ulang Makna Aurat dalam Al-Qur’an
  • Luka Cinta di Dinding Rumah: Tafsir Feminis-Spiritual atas Tubuh yang Terlupakan
  • Menyoal Jilbab dan Hijab: Antara Etika Sosial dan Simbol Kesalehan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID