Mubadalah.id – Keresahan masyarakat pesantren marak disuarakan di media sosial. Pengasuh pondok pesantren meresahkan dan menyesali terhadap kejadian bullying yang mengakibatkan santri Pesantren di Kediri meninggal dunia karena teraniaya oleh temannya.
Keresahan ini tidak hanya terasa oleh masyarakat pesantren. Namun juga masyarakat sebagai orang tua yang mempercayakan pesantren sebagai lembaga sebagai pendidikan anak-anaknya. Kejadian ini juga memberikan pengaruh terhadap turunnya kepercayaan masyarakat terhadap pesantren ramah anak, sebagai sebuah ruang nyaman dan aman bagi anak.
Beberapa persoalan yang menjadi akar dari persoalan ini nampaknya perlu kita pahami lebih serius. Normalisasi bullying verbal masih merajalela di pesantren, mungkin akar inilah yang perlu kita perhatikan. Bahwa bullying tidak selalu berbentuk fisik, namun ejekan atau olok-olok juga bisa diartikan sebagai bentuk bullying.
Persoalan ini juga perlu dijadikan sebagai pengetahuan yang dimiliki oleh santri. Sebab, suatu verbal yang mendatangkan sakit terhadap orang lain saja tidak layak kita lakukan, apalagi sesuatu yang berbentuk fisik. Nalar seperti ini seharusnya bisa tersampaikan pada kalangan santri yang memiliki nilai-nilai kuat dalam penerapan akhlakul Karimah.
Tradisi Takziran
Takziran fisik atau hukuman fisik juga perlu kita kaji secara mendalam. Beberapa pesantren masih kuat dengan tradisi hukuman fisik. Memberikan hukuman fisik dipandang ideal bagi beberapa pesantren. Namun, nampaknya bagian ini juga perlu kita pahami dan kita periksa lebih mendalam terhadap dampak yang dilahirkan.
Persoalan yang sedang kita hadapi hari ini tentang bullying di pesantren mengantarkan tulisan ini untuk sedikit mengolah hasil pengamatan di pesantren Assaidiyyah II Tambakberas Jombang. Pesantren ini di bawah asuhan Nyai Umdatul Choirot sebagai bagian dari jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia.
Nyai Umdah menyadari pentingnya menegakkan konsep pesantren ramah anak. Pesantren ini memang bergerak secara organik dalam pengembangan dan implementasi ramah anak di pesantren. Namun, bagi saya ini adalah langkah baik sekaligus besar yang tidak semua pesantren mau untuk mengambil keputusan ini.
Menyematkan label “ramah anak anti bullying” merupakan bentuk tanggung jawab Nyai Umdah untuk menampilkan pesantren sebagai ruang yang nyaman untuk anak-anak belajar. Nyai Umdah dan Kiai Achmad Hasan memiliki komitmen yang tinggi untuk memberikan ruang nyaman untuk anak-anak.
Hal tersebut tertandai dengan treatment dan peran yang pengasuh jalankan kepada santri. Para santri, memiliki kedekatan dan membangun relasi dengan pengasuh layaknya orang tua dan anak.
Teladan Kepengasuhan
Nyai Umdah dan Kiai Hasan selalu menampakkan kehangatan, kasih sayang dan perhatian kepada santri. Peran perlindungan dan menemani setiap pertumbuhan anak-anak juga sangat beliau perlihatkan pada aktivitas keseharian di pesantren Assaidiyyah II.
Mendengarkan keluh kesah santri, mengadakan dialog personal, dan bersama-sama menyelesaikan permasalahan adalah jalan yang seringkali Nyai Umdah tempuh dalam menghadapi anak-anak yang melanggar peraturan pesantren. Hukuman yang beliau berikan juga bersifat mendidik.
Langkah ini bagi Nyai Umdah akan lebih memberikan kesadaran bahwa setiap santri harus memiliki kesadaran untuk bertanggung jawab dan memiliki sifat yang welas asih.
Selain itu, secara fasilitas fisik, Nyai Umdah memberikan fasilitas terbaik. Penentuan faslitas terbaik ini juga hasil musyawarah dengan wali santri. Bagi Nyai Umdah, kesepakatan dan kerjasama antara pesantren dan wali santri menjadi sesuatu yang penting untuk mencapai tujuan dan keinginan bersama.
Hal ini bisa terlihat dari menu harian makan santri Assaidiyyah II. Makanan harian santri, nyai Umdah selalu turun langsung untuk memastikan bahwa menu yang diberikan adalah menu terbaik. Yakni memberikan pemenuhan gizi yang baik. Fasilitas tempat tidur dan kamar mandi juga beliau pastikan layak dan memadai sebagai tempat tinggal yang nyaman.
Pekerjaan berat yang telah Nyai Umdah dan Kiai Hasan lakukan adalah langkah awal yang perlu kita sorot saat semua masyarakat resah dengan peristiwa meninggalnya seorang santri karena bullying. Optimisme bahwa pesantren ramah anak bisa menjadi ruang aman juga bisa lahir. Terlebih jika melihat pesantren Assaidiyyah II mampu menjadi bagian dari menyuarakan konsep bullying. Sekian. []