• Login
  • Register
Minggu, 6 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Mengatasi Polemik Adopsi (1): Kesalingan Relasi Sebagai Solusi

Calon pasutri pengadopsi perlu duduk bersama untuk saling berbicara tentang harapan dan keinginan tentang keberadaan anak

Winda Hardyanti Winda Hardyanti
25/03/2024
in Keluarga
0
Polemik Adopsi

Polemik Adopsi

573
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Punya anak adalah impian dari hampir sebagian besar pasangan yang menikah. Namun tidak semua pasangan yang menikah memiliki keturunan. Ada banyak faktor penyebabnya. Bisa karena masalah fertilitas maupun masalah lain yang tak terdeskripsikan.

Pemenuhan profil keluarga lengkap yang terdiri dari ayah, ibu dan anak pun menjadi tantangan. Sebutan mandul, atau percuma kaya tapi tidak punya keturunan menjadi stigma jahat yang diterima oleh pasutri tanpa keturunan.

Adopsi adalah pilihan yang bisa dilakukan oleh pasangan tanpa keturunan. Tetapi adopsi juga bukan berarti tanpa pretensi. Di Indonesia, polemik adopsi masih dianggap sebagai sebuah bentuk aib yang harus tertutupi. Adopsi adalah bentuk ketidakmampuan.

Anak adopsi adalah kelas kedua karena tidak memiliki hak waris. Ungkapan stigmatif ini sering diterima oleh pasangan suami istri yang ingin mengadopsi anak. Dilema terjadi. Di satu sisi, stigma negatif menjadi beban. Di sisi lain kerinduan akan profil keluarga lengkap dengan profil ayah, ibu dan anak menjadi impian.  Forever kind of wondering.

Menjadi Sumber Ketakutan dan Kecemasan

Adopsi kemudian menjadi sumber ketakutan dan kecemasan bagi pasutri calon pengadopsi. Setidaknya ini merujuk pada pengalaman dua belas pasang orang tua adopsi yang menjadi informan riset komunikasi adopsi yang penulis teliti. Memutuskan melakukan adopsi kita akui sama sulitnya dengan memutuskan menikah atau mengambil keputusan penting lainnya dalam kehidupan.

Baca Juga:

Surat yang Kukirim pada Malam

Siapa Pemimpin dalam Keluarga?

Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

Boys Don’t Cry: Membongkar Kesalingan, Menyadari Laki-laki Juga Manusia

Selain stigma, ketidakpastian juga menjadi sumber kecemasan berikutnya. Ketika merencanakan adopsi, penolakan dari salah satu pasangan pada proses awal adopsi, atau penolakan dari orang tua kandung pasutri pengadopsi, membuat proses adopsi ini pilihan berliku yang terjal.

Alasannya tentu saja, tidak semua suami atau istri legowo mengasuh anak yang bukan darah dagingnya. Tidak semua keluarga besar bisa menerima dan mendukung rencana adopsi. Bentuk penolakan ini bahkan bisa terjadi secara ekstrim.

Salah satu informan yang peneliti riset bahkan harus bersitegang dengan ayah kandungnya selama berbulan-bulan. Pasalnya, ayahnya belum bisa menerima keputusan adopsi yang dia lakukan. Terlebih ketika anak adopsi ini ternyata seorang ABK, penerimaan terhadapnya membutuhkan waktu cukup panjang.

Adanya Ketidakpastian

Ketidakpastian juga terjadi ketika penolakan terjadi dari pihak keluarga anak adopsi. Orang tua kandung anak adopsi mungkin tidak menolak, namun keluarga besarnya yang melakukan penolakan. Salah satu pengalaman yang informan peneliti alami adalah pasutri pengadopsi harus berhadapan dengan fitnah di masyarakat. Karena keluarga besar anak adopsi menolak rencana adopsi, isu negatif pun merebak.

Calon pengadopsi itu dituduh melakukan jual beli bayi alias human trafficking. Niat baik tak selalu disambut dengan baik. Calon pengadopsi ini lalu melakukan sejumlah strategi agar fitnah di masyarakat bisa mereda. Salah satunya adalah dengan sering mengajak anak adopsi mengunjungi orang tuanya. Hal ini dilakukan untuk meredakan fitnah tersebut.

Stigma dan ketidakpastian merupakan bagian dari penyebab kecemasan melakukan adopsi. Belum lagi polemik hukum, menjadi penghalang berikutnya yang membuat banyak calon pengadopsi mundur teratur. Meskipun demikian, kedua belas pasang pasutri adopsi yang menjadi informan penelitian membagikan tips agar mampu melawan kecemasan tersebut.

Relasi Kesalingan Menjadi Kunci

Kata kunci dari pengambilan keputusan adopsi ternyata adalah kesalingan relasi. Kedua belas pasutri informan setuju bahwa ketika suami istri memiliki konformitas nilai yang sama tentang konsep adopsi, keputusan untuk melakukan adopsi ini akan lebih mudah kita lakukan. Kesalingan pemahaman tentang nilai anak dan bagaimana pasutri memaknai posisi anak dalam keluarga, menjadi faktor yang mempengaruhi keputusan adopsi.

Dari hasil temuan penelitian penulis, keputusan adopsi ternyata didominasi oleh kedua belah pihak, bisa oleh pihak suami maupun istri. Ada kalanya suami yang mendominasi, satu sisi istri juga bisa mengambil keputusan lebih besar terkait adopsi ini.

Dominasi dalam perspektif pengambilan keputusan adopsi, bukanlah merupakan bentuk negasi terhadap kuasa. Namun dominasi dalam hal ini adalah ekspresi dari tanggung jawab dan kesadaran pihak yang paling menginginkan proses adopsi. Ketika salah satu pasangan kemudian menyetujui keinginan adopsi, hal itu merupakan bentuk kesepahaman akan kesetaraan fungsi relasi dalam hubungan pasutri.

Bentuk kesepahaman akan kesetaraan fungsi relasi ini berdasarkan pada perasaan cinta kasih dan keinginan saling menolong. Ini merupakan kata kunci kesalingan relasi atau mubadalah. Sesuai dengan yang dituliskan KH. Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Relasi Mubadalah Muslim dengan Umat Berbeda Agama.

Mencapai Relasi yang Membahagiakan

Dalam buku itu Kyai Faqih menjelaskan bahwa relasi kesalingan atau yang lebih kita kenal dengan mubadalah merujuk pada relasi antara dua pihak terutama laki-laki dan perempuan yang sinergis bukan hierarkis. Dalam pengambilan keputusan, ketika istri atau suami berinisiatif untuk mengambil keputusan adopsi adalah bentuk sinergi, bukan siapa yang kuat atau memiliki dominasi.

Namun wujud dominasi ini dapat kita sebut sinergi jika pasangan suami istri calon pengadopsi memiliki konformitas nilai yang setara terkait hakikat dan makna anak dalam keluarga. Sebaliknya, pengambilan keputusan adopsi akan menjadi dominasi sepihak jika pasangan suami istri tidak memiliki konformitas nilai yang setara terkait makna anak adopsi dalam keluarga.

Untuk itu, sebagai solusi untuk mengatasi polemik adopsi, maka perlu kita bicarakan bagaimana konformitas nilai terkait makna anak adopsi dalam keluarga. Calon pasutri pengadopsi perlu duduk bersama untuk saling berbicara tentang harapan dan keinginan tentang keberadaan anak. Kedua belah pihak harus memperhatikan pentingnya komunikasi dan konformitas nilai agar tercapai relasi yang membahagiakan. (Bersambung)

 

Tags: Hak anakkeluargaKesalinganPolemik AdopsiRelasi
Winda Hardyanti

Winda Hardyanti

Terkait Posts

Pemimpin Keluarga

Siapa Pemimpin dalam Keluarga?

4 Juli 2025
Marital Rape

Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

2 Juli 2025
Anak Difabel

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

1 Juli 2025
Peran Ibu

Peran Ibu dalam Kehidupan: Menilik Psikologi Sastra Di Balik Kontroversi Penyair Abu Nuwas

1 Juli 2025
Geng Motor

Begal dan Geng Motor yang Kian Meresahkan

29 Juni 2025
Keluarga Maslahah

Kiat-kiat Mewujudkan Keluarga Maslahah Menurut DR. Jamal Ma’mur Asmani

28 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Film Rahasia Rasa

    Film Rahasia Rasa Kelindan Sejarah, Politik dan Kuliner Nusantara

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menelusuri Jejak Ulama Perempuan Lewat Pendekatan Dekolonial

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan: Samia Kotele Usung Penelitian Relasional, Bukan Ekstraktif

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Membongkar Narasi Sejarah Maskulin: Marzuki Wahid Angkat Dekolonisasi Ulama Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Samia Kotele: Bongkar Warisan Kolonial dalam Sejarah Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Membongkar Narasi Sejarah Maskulin: Marzuki Wahid Angkat Dekolonisasi Ulama Perempuan
  • Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan: Samia Kotele Usung Penelitian Relasional, Bukan Ekstraktif
  • Samia Kotele: Bongkar Warisan Kolonial dalam Sejarah Ulama Perempuan Indonesia
  • Menelusuri Jejak Ulama Perempuan Lewat Pendekatan Dekolonial
  • Surat yang Kukirim pada Malam

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID