Mubadalah.id – Seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini masyarakat kita masih menyambut lebar segudang film-film horor garapan sutradara Indonesia. Film-film tersebut menjadi perbincangan ramai di setiap obrolan. Dengan setting dan plot yang barangkali akrab dengan folklor—kalau rasanya pantas saya menyebut demikian—yang khas akan budaya mayoritas negara kita.
Pengambilan tokoh antagonis seorang perempuan, misalnya, membuat narasi tentang ketimpangan gender. Tokoh antagonis ini biasanya berperan sebagai setan, dukun, dan perwujudan entitas yang berhubungan dengan hal gaib lainnya. Dalam kisah-kisah horor, seorang perempuan terpaksa menjadi jahat dan berlaku menyimpang. Pemilihan tokoh perempuan yang memiliki karakter antagonis adalah representasi akan kerentanan perempuan.
Tentu jika melihat pada dunia perfilman zaman sekarang, penggunaan tokoh perempuan sebagai wujud ketimpangan gender masih relevan. Ramai kita melihat banyak tokoh justru tetap menjadi sosok yang terkalahkan, lemah, dan harus tunduk pada relasi kuasa di atasnya.
Perubahan persepsi semacam ini lah yang mestinya menjadi catatan. Bukannya menjadi representasi atas perlawanan perempuan, kisah-kisah horor semacam ini malah melanggengkan budaya misoginis dan memperjelas ketimpangan gender.
Apalagi jika tema-tema film ini kemudian diputar agar berhubungan dengan narasi-narasi keagamaan yang justru menimbulkan persepsi yang juga menyimpang. Banyak kita temui tokoh-tokoh agama yang menjadi antitesis atas tokoh antagonis tersebut. Belum lagi narasi-narasi keagamaan ini menjadi bahan eksploitasi. Ujungnya menjadi sebuah anggapan bahwa praktik-praktik ibadah yang seharusnya membawa ketenangan, malah memunculkan kecemasan akan hal-hal gaib.
Eksploitasi Agama adalah Ironi
Seperti yang sudah saya singgung di awal, tak sedikit film-film ini laku keras di layar-layar bioskop. Namun hal ini akan menjadi ironi jika kancah perfilman horor Indonesia hanya mengadopsi tema yang mirip dengan narasi keagamaan yang cenderung klise dan menyimpang. Apalagi jika sampai menciptakan persepsi yang justru merusak kemaslahatan agama itu sendiri.
Salah satu pernyataan yang seringkali saya dengar ketika membahas film-film horor dengan marasi keagamaan adalah antara lain:
“Aku nggak mau nonton film ini. Khawatir nanti jadi was-was kalau mau salat.”
“Sejak nonton film ini aku jadi takut salat sendirian tanpa harus mepet di pojokan tembok. Takut ada yang ‘ngikut’.”
Tentu anggapan semacam ini bukan semata-mata hanya salah penonton. Seorang sutradara mestinya memiliki tanggung jawab untuk menciptakan film yang tak hanya memenuhi pasar komersial, tapi juga menjadi sarana edukasi. Demikian ini harusnya menjadi fungsi mutlak suatu karya tercipta.
Penggunaan ibadah salat, misalnya, menjadi sebuah kegiatan keislaman yang sering menjadi bahan eksploitasi. Bagaimana pula praktik ibadah malah menyebarkan kecemasan hanya karena ada sosok gaib yang tiba-tiba muncul di hadapan? Penggunaan jumpscare yang mengobjektifikasi salat hanya akan menimbulkan kontradiksi akan nilai-nilai salat yang membawa ketenangan.
Selain itu, praktik pemakaman juga sering kita temui dalam setting film horor di negara kita. Praktik pemakaman Islam, secara spesifik, lagi-lagi dinarasikan sebagai sebuah kegiatan yang menakutkan. Sering kita tonton proses pemandian jenazah yang juga mengarah pada objek jumpscare. Atau proses mengkafani yang katakanlah sudah sesuai prosedur, malah seolah sengaja mengarah pada wujud pocong. Dan kegiatan memakamkan dengan membawa keranda ke kuburan menjadi romantisasi berulang tentang mayat yang bernasib buruk.
Penggunaan doa-doa yang dengan bumbu backsound menegangkan juga turut menjadi catatan. Kalimat zikir yang membangun suasana horor itu menjadi eksploitasi atau ‘mantra’ yang justru mendorong persepsi munculnya sosok gaib di kepala penonton. Adalah sebuah ironi jika kemudian penggunaan zikir ini menjadi antitesis atas fungsi kalimat zikir itu sendiri.
Membangun Ulang Film Horor yang Kreatif
Barangkali bukan suatu masalah jika menghubungkan sebuah film horor dengan narasi keagamaan. Penggunaan premis agama sah-sah saja jika memang bertujuan untuk mengisahkan bagaimana karakter membangun kekuatan akan kepercayaan dan keimanan.
Saya kira, bukan persoalan penggunaan agama-nya yang harus benar-benar dihilangkan. Melainkan ‘pemanfaatan’ nilai-nilai agama ini yang perlu menjadi perbaikan. Penggunaan narasi keagamaan yang sarat akan penyimpangan mestinya dikurangi. Praktik keagamaan bukan menjadi komoditas untuk objektifikasi.
Alternatifnya, narasi agama bisa menjadi suatu potensi yang turut mengenalkan karakter agama itu sebagaimana mestinya. Narasi agama ini bukan hanya sebagai pelengkap dalam film horor, tetapi turut hadir sebagai autokritik. Mestilah kita belajar dari masa lalu dan film di luar negeri terkait persoalan tema film horor ini.
Sebut saja Pintu Terlarang yang rilis 2008 silam. Alih-alih mengeksploitasi agama, film ini menggunakan konflik keluarga untuk menyebarkan pesan horor. Atau The Medium (2021) dan Incantation (2022) yang meski kental dengan narasi agama, tapi menggugat nilai kepercayaan tiap individu. Selain itu, kedua film ini juga menjadi autokritik atas praktik agama yang menyimpang dari apa yang diajarkan dalam kitab dan kepercayaan.
Lagipula, jika film-film horor Indonesia selamanya hanya berfokus pada pasar yang anggapannya tengah ramai membahas tema demikian, rasa-rasanya akan cukup mencederai nilai-nilai lain yang harusnya terkandung di dalamnya. Mendobrak pasar perfilman horor Indonesia bukan suatu hal yang haram.
Tema-tema segar yang membahas selain pada narasi keagamaan akan bisa jadi sebuah pasar baru yang berkelas. Apalagi jika memanfaatkan tren sosial-politik yang ramai belakangan ini, misalnya, banyak sekali potensi tema segar yang dapat sutradara adopsi. Semoga kreativitas dalam mengonsep tema di kancah perfilman horor di negeri ini makin bertumbuh bukan dari pertimbangan tren pasar saja. []