Mubadalah.id – Aroma tanah yang basah sisa hujan semalam masih menguar dari halaman rumah, ketika aku tiba pagi itu dari negeri jiran. Dengan langkah kaki pelan, menghindari genangan air yang masih nampak menggenang di beberapa sudut. Bunga mawar, melati dan anggrek terlihat berjajar rapi di pot, terpelihara dengan baik oleh tangan lembut Ibu.
Aku sudah membayangkan binar rembulan di mata ibu. Senyum dan sapa Ibu menyambut kedatanganku. Mendekap dan mencium keningku hingga berulang kali sebagai tanda kerinduan yang sudah menggumpal dalam benaknya. Anak perempuan satu-satunya yang harus merantau, bekerja menjadi pekerja migran di Negeri Jiran Malaysia.
Anak perempuanya yang ingin merasakan bagaimana sulitnya mencari penghasilan, belajar hidup mandiri dan berdiri di atas kaki sendiri, hingga harus rela meninggalkan Ibu dengan segenap cinta kasihnya, di sepetak rumah sederhana itu. Setelah sampai teras, aku mencari-cari keberadaan Ibu, yang hidup sebatang kara, tak ada suami ataupun sanak saudara.
“Assalamu’alaikum.. Bu.. Sari Pulang.. “
Teriakku sambil membuka pintu dan masuk menelusuri setiap ruang hingga ke dapur dan kamar mandi. Tapi Ibu tidak aku temukan juga. Perasaan cemas mulai menjalari sekujur tubuh, langkah kakiku mulai terasa goyah. Ibu di mana dirimu. Tangisku pun mulai pecah, terduduk diam di ruang tamu, berharap keajaiban akan datang, membayangkan tiba-tiba Ibu menyapa entah dari arah mana saja.
Ibu Terjatuh di Kamar Mandi
Di saat dalam kondisi kegalauan yang akut itu, pintu depan rumah terbuka. Ada Bi Ijah tetangga sebelah yang seringkali aku mintai tolong untuk menjaga Ibu di rumah.
“Sari kapan kamu datang?”, tegur Bi Ijah menyapaku dan ikut duduk di sampingku.
“Baru saja sampai. Bi Ijah tahu tidak Ibu ke mana? Aku cari seisi rumah tidak ketemu juga”, air mataku mulai jatuh perlahan, tak sanggup aku cegah lagi. Setelah tangisku berangsur reda, Bi Ijah merangkul dan mengajakku bicara.
“Ibumu baik-baik saja. kemarin jatuh di kamar mandi, kebetulan aku sedang menengok ke sini mengantarkan sayuran bening kesukaan Ibumu. Aku panggil-panggil tidak ada sahutan, akhirnya aku masuk ke dalam. Beruntung kamar mandi pintunya sedikit terbuka, dan aku lihat tubuh Ibumu sudah terduduk dengan mata terpejam. Aku langsung berlari keluar mencari bantuan. Bersama Pak RT, kita membawa Ibumu ke Puskesmas Kecamatan. Ibumu masih dirawat di sana, tapi masih belum siuman. Kalau kamu ingin ke sana bisa Bi Ijah antarkan”.
Aku mendengarkan penjelasan Bi Ijah dengan perasaan masygul. Tangisku pecah kembali. Ibu, maafkan anakmu yang memilih bekerja dan jauh darimu, yang tak memungkinkanmu untuk menjangkaunya, tanpa memikirkan kesehatan Ibu yang sudah semakin rapuh dan menua. Sementara di rumah ini Ibu hidup sendirian.
Akhirnya dengan ditemani Bi Ijah, aku menyiapkan kebutuhan buat Ibu jika sewaktu-waktu Ibu bangun dan meminta sesuatu. Sedangkan tas yang aku bawa, belum juga aku bongkar sudah aku bawa lagi. Di luar Bi Ijah memanggil tukang ojek, dan kami pergi bersama dengan dua motor ojek yang berjalan beriringan menuju Puskesmas kecamatan.
Tentang Ayah yang tak Pernah Ada
Sepanjang perjalanan, mataku masih saja membasah mengingati Ibu dan segala teka-teki yang menyelimutinya. Dalam didikan keras dan tegas Ibu, tak sekalipun aku merasakan kasih seorang Ayah, yang entah berada di mana. Bahkan nama Ayah dalam hidupku seakan asing terdengar di telinga.
Pernah suatu kali aku tanyakan pada Ibu, ketika usiaku belasan tahun, karena cemburu melihat kedekatan teman-teman bersama Ayah mereka. Namun jawaban keras Ibu membuatku tak pernah lagi berani bertanya. Ada perasaan takut menyakiti Ibu.
“Jangan pernah tanyakan lagi siapa Ayahmu Sari. Bagi Ibu dia sudah mati terkubur bersama kenangan di masa lalu. Cukup dengan kasih sayangku, kau bisa tumbuh dengan baik sebagai seorang anak yang bisa dibanggakan.” Itu jawaban Ibu, yang menjadi obrolan pertama dan terakhir kami tentang Ayah.
Sesampai di Puskesmas, aku langsung bergegas masuk, dan mencari keberadaan Ibu. Begitu melihat Ibu yang terbaring tanpa daya, dengan botol infus terpasang menggantung di atasnya, serta tangan keriput Ibu yang tertusuk jarum infus.
Aku mendekat, memeluknya dan menumpahkan tangisku di tubuh renta itu. Aku menggumam pelan, maafkan anakmu Ibu yang tak pernah hadir sempurna di saat kau membutuhkan. Kau sendirian melawan rasa sakit dan ketakberdayaan, baik yang nampak maupun tersembunyi, dengan penyakit yang kerap datang silih berganti.
Pesan Terakhir Ibu
Tetiba tangan yang aku pegang itu bergerak-gerak, menimbulkan gairah rasa senang, ada harapan hidup yang tak mampu aku bahasakan. Aku berbisik di telinganya, Sari di sini Ibu. Dan kelopak mata yang telah terpejam lama itu, akhirnya membuka perlahan. Lalu terdengar suaranya lirih, sayup-sayup menghinggap di telingaku.
“Ayahmu Kuwu Dirga.”
Hanya sepenggal kalimat itu yang Ibu sampaikan lalu dia tertidur lagi, lebih lelap, teramat pulas, hingga takkan pernah aku temui lagi senyuman dan binar rembulan di matanya yang sayu itu. Ibu telah beristirahat selamanya. Menyisakan jawab atas teka-teki tentang Ayah yang harus aku pecahkan sendiri. Dengan disaksikan Bi Ijah, aku mengucap pelan.
“Ibu telah pergi Bi, dia hanya menungguku untuk sampaikan pesan itu.”
Dan aku memeluk Bi Ijah untuk membagi rasa sesak yang berkecamuk, antara sesal dan sakit kehilangan satu-satunya orang yang selama ini menjadi tumpuan dan tujuan hidupku, kebahagiaan Ibu.
Esok aku bertekad akan mencari Kuwu Dirga, tak perduli dia itu siapa, bagaimana isteri dan anak-anaknya. Bukan untuk meminta pengakuan atas hakku sebagai anak kandung, tetapi menyampaikan jika Ibu, perempuan yang pernah singggah dalam hidupnya itu telah tiada. Dan Ibu telah membesarkan anak yang mungkin tak pernah dia anggap ada ini, dengan baik, sangat baik malah.
Sambil memandang tubuh Ibu yang terbujur kaku di hadapanku, serta isak tangis yang tak mampu aku tepiskan, mengingati seluruh kenangan bersama Ibu. Kelak aku ingin sepertimu Ibu, dan kata yang seringkali kau ucapkan, jika perempuan akan mampu hidup sendiri meski tanpa seorang lelaki. Tetapi lelaki takkan mungkin sanggup hidup sendiri tanpa kehadiran perempuan.
Sebab, perempuan katamu Ibu, penyeimbang kehidupan di alam semesta ini, dengan segala sifat welas asihnya. Bumi bersukacita mendekap tubuh dan jiwa perempuan, memeluk setiap rasa perempuan, menghisapnya hingga habis tanpa sisa, meninggalkan jejak ketegaran dan kekuatan yang terpahat di wajahnya. Mengubah setiap kesakitan menjadi rembulan yang berbinar, bersinar terang dimatanya, mata Ibuku. []