Mubadalah.id – Masjid Ulul Albab Universitas Islam Negeri (UIN) Malang akan menggelar Shalat Idul Adha khusus mahasantriwa putri, pada Senin, 17 Juni 2024, mendatang.
Khatibah dalam Shalat Idul Adha Khusus Mahasantri Putri ini akan disampaikan oleh Prof. Dr. Hj. Tutik Hamidah, M.Ag, Guru Besar Fakultas Syariah dan Anggota Fatwa MUI Kota Malang. Sedangkan yang menjadi Imam adalah Firdausi Nuzula, Mahasantri Mabna Asma’ bin Abi Bakar dan selaku Bilal: Gita Selvia, Musyrifah Mabna Ummu Salamah.
Dengan akan diselenggaranya Shalat Idul Adha khusus perempuan ini, membuat sebagian orang merasa gaduh. Karena diduga jamaahnya akan bercampur antara laki-laki dan perempuan.
Dengan merespon hal tersebut, Ketua Majelis Musyawarah KUPI, Nyai Hj. Badriyah Fayumi menyampaikan praktik-praktik shalat Idul Adha secara berjamaah di masjid khusus perempuan sebetulnya sudah ada sejak dahulu kala.
Ia bercerita bahwa sekitar tahun 1970 an, banyak menemukan praktik-praktik keagaaman seperti shalat Idul Adha dilakukan oleh para perempuan. Baik yang menjadi imam maupun khatibahnya.
“Di kampung saya, Kajen, Pati, praktik shalat Id khusus putri sudah biasa sejak dulu. Sejak saya tahu ada syariat shalat Id tahun 70-an, praktiknya ya seperti itu. Imam, khatib dan jamaah perempuan semua,” kata Bu Nyai Badriyah.
Selain di kampung halamannya, praktik shalat Idul Adha khusus perempuan juga ia temui di kampung halaman suaminya di Jatiwaringin, Bekasi. Biasanya yang melakukan shalat Idul Adha khusus perempuan itu adalah para ibu-ibu dari majelis taklim.
Bahkan shalat Id khusus perempuan ini tidak hanya dilakukan oleh satu majelis taklim, melainkan oleh berbagai ibu-ibu dari majelis taklim di banyak tempat.
“Di kampung suami, di Jatiwaringin juga sama. Sampai sekarang shalat Id di berbagai majelis Taklim khusus kaum ibu ada di banyak tempat. Sampai sekarang,” ucapnya.
Dalil
Sementara itu, sebagaian orang, sebagaimana tersebar di beberapa grup WA, menggunakan Hadis di bawah ini untuk melarang perempuan memiliki jama’ah shalat Id sendiri, yang terpisah dari laki-laki.
روى البخاري (324) ومسلم (890) عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْها قَالَتْ : أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ ، فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ . قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِحْدَانَا لا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ . قَالَ : لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا .
Kata mereka, berdasarkan Hadis di atas para perempuan dianjurkan untuk mengikuti Shalat Idulfitri dan Idul Adha berjama’ah dengan laki-laki, termasuk yang haid dan nifas dianjurkan untuk mendengarkan khutbah.
Bahkan Rasululllah Saw memerintahkan para muslimah untuk meminjamkan jilbabnya (biasanya perempuan Arab jika keluar rumah mengenakan jubah (jilbab) yang menutupi kepala hingga mata kaki) kepada saudarinya yang tidak memilikinya.
Masih menurut mereka, jika ada sekelompok muslimah yang membuat jama’ah sendiri sebetulnya bisa dikatakan menyalahi anjuran Rasulullah Saw kecuali ada halangan yang membuat mereka tidak dapat melaksanakan shalat Id bersama jama’ah laki-laki. Dan rasa rasanya hampir semua masjid atau lapangan menyediakan tempat yang proper untuk jama’ah perempuan.
Namun, Ibu Nyai Hj. Badriyah berpandangan berbeda dalam memahami teks Hadis di atas. “Hadis ini justru dipahami banyak ulama, termasuk oleh saya, sebagai anjuran agar hari raya dan shalat Id dirayakan oleh semua tanpa kecuali. Bahkan yang haid pun ikut keluar. Juga anak-anak. Bukan sebagai dalil larangan shalat Id khusus perempuan,” tegas Nyai Badriyah.
Lebih lanjut, Nyai Badriyah juga mengungkapkan, jika kita melihat konteks sosial saat itu, di mana masyarakat Arab masih sangat kuat larangan perempuan ke masjid. Sehingga ada Hadis Nabi yang melarang suami melarang istrinya ke masjid. Maka Hadis ini justru menjadi dalil pembebasan perempuan dari larangan berkumpul di masjid demi syiar. Termasuk perempuan yang sedang haid dan anak-anak.
“Jadi, dalam praktik shalat Id khusus perempuan ini sebetulnya tidak ada prinsip ibadah dan syariah yang mereka langgar,” jelasnya.
Tiga Hal
Oleh sebab itu, kata Nyai Badriyah, ada tiga hal yang perlu kita jadikan pedoman dalam pengambilan hukum dalam hal ini:
Pertama, nash-nash Hadis yang shahih dan sharih tentang imamah shalat perempuan dan Hadis khusus tentang kehadiran perempuan dalam shalat Id.
Kedua, konteks dan asbabul wurud Hadis.
Ketiga, ijtihad para ulama dalam memahami nash dan asbabul wurud Hadis. Sekaligus konteks yang relevan dengan keadaan dan kebutuhan di setiap wilayah di masa kini.
“Bahkan di dalam banyak pondok pesantren putri di Indonesia, Shalat Id menjadi kesempatan perempuan praktik khutbah,” tukasnya. []