Mubadalah.id – Muharam menjadi salah satu bulan Hijriyah yang kita sambut dengan berbagai perayaan di Indonesia. Seperti yang kita tahu bahwa Indonesia kaya akan warisan budaya, adat, dan tradisi. Begitu pula dalam menyambut Bulan Muharam, berbagai daerah di Indonesia memiliki perayaannya masing-masing.
Ada yang merayakannya ketika tiba tanggal 1 Muharam, adapula yang merayakannya di tanggal 10 Muharam. Di Jawa khususnya, Muharam kerap kita sakralkan dengan sebutan Suro. Lalu, adakah perbedaan antara Muharram dan Suro? Dan bagaimanakah hikmah berbagai perayaan Bulan Muharram yang ada di tanah air?
Pada dasarnya, jatuhnya 1 Muharram sama dengan jatuhnya 1 Suro. Muharam merupakan penyebutan bulan pertama dalam kalender Islam yang berkaitan dengan peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad. Sedangkan Suro merupakan penyebutan bulan pertama dalam kalender Jawa. Istilah suro yang telah lama masyarakat Jawa kenali, berasal dari kata ‘asyura (bahasa Arab) yang berarti kesepuluh (maksudnya tanggal 10 bulan suro).
Menurut Sejarah, awal mula lahirnya tradisi Suro mulai sejak tahun 931 Hijriah atau 1443 tahun Jawa. Yaitu pada zaman pemerintahan Kerajaan Demak, Sunan Giri II membuat penyesuaian antara sistem kalender Hijriah (Islam) dengan sistem kalender Jawa pada masa itu.
Kemudian, penetapan satu Suro sebagai awal tahun baru Jawa berlaku sejak zaman Kerajaan Mataram. Yakni pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645).
Upaya revolusioner yang Sultan Agung lakukan dalam memadukan sistem kalender Saka (penanggalan yang merupakan perpaduan dari Jawa asli dan Hindu). Yaitu dengan sistem kalender Islam Hijriyah ini bertujuan untuk mempersatukan rakyat agar tidak terpecah belah karena perbedaan keyakinan agama.
Perubahan sistem kalender ini terjadi dan mulai pada tanggal 1 Suro tahun Jawa 1555, tepat pada tanggal 1 Muharam tahun 1043 Hijriyah, atau tepat pada tanggal 8 Juli 1633 Masehi.
Berbagai Perayaan Sambut Muharam
Datangnya Bulan Muharam ini juga disambut dengan berbagai perayaan di berbagai wilayah Indonesia. Secara garis besar ada dua kelompok masyarakat dengan perbedaan ekspresi dalam merayakan Bulan Muharam.
Kelompok pertama, memeperingati Muharram dengan perayaan sukacita dan belanja aneka barang kebutuhan, misalnya pesta Bubur Jepe Suro yang dilakukan di masyarakat Takalar, propinsi Sulawesi Selatan. Perayaan bubur ini mereka yakini dapat mendatangkan rezeki yang berlimpah.
Perayaan Bulan Muharram dengan sukacita ini barangkali berkorelasi dengan berbagai peristiwa sukacita dalam sejarah Islam yang terjadi di Bulan Muharram. Yakni Nabi Adam diterima taubatnya, Nabi Idris memperoleh derajat luhur atas sikap kasih sayangnya terhadap sesamanya, Nabi Isa memperoleh anugerah kitab Taurat ketika berada di bukit Tursina.
Demikian pula, Nabi Nuh terlindungi dari bahaya banjir bersama umatnya yang patuh. Nabi Ibrahim terhindar dari bahaya api dan fitnah raja Namrud. Lalu Nabi Yusuf bebas dari tahanan raja Mesir akibat tuduhan zina. Nabi Ya’qub sembuh dari penyakit mata karena menangisi anaknya Yusuf yang telah lama menghilang.
Selain itu Nabi Yunus bisa keluar dari perut ikan Hiu ketika ia dikejar-kejar umatnya. Nabi Sulaiman memperoleh istana indah. Sedangkan Nabi Daud disucikan dari segala dosanya. Nabi Musa selamat dari kejaran Fir’aun dan kaumnya (Bani Israil).
Muharam Bulan Berduka
Sedangkan kelompok kedua berasumsi bahwa Muharram sebagai bulan berduka dan kesedihan mereka ekspresikan dalam bentuk pelaksanaan tradisi menolak bencana. Mereka cenderung berduka dan berdoa meminta perlindungan dari Allah.
Beberapa tradisi yang ada misalnya, tradisi Tabut di Bengkulu, tradisi Tajin Sora di Madura, tradisi penyucian benda-benda keramat di Jawa, tradisi Barzanji, maupun bubur Suro di Sunda. Sejumlah catatan mengaitkan Bulan Muharram/Suro dengan peristiwa Karbala, yakni peristiwa kesedihan yang menimpa cucu Nabi Muhammad.
Tradisi bubur suro merupakan salah satu cara yang masyarakat Jawa Barat lakukan, khususnya Tasikmalaya dan Limbangan untuk menyambut datangnya bulan Muharam. Mereka sekaligus mengenang wafatnya cucu Nabi Muhammad di medan peperangan.
Warna merah pada Tajin Sora (bubur Suro) di Madura kita maknai, sebagai gambaran darah Sayyidina Husein, putih itu menggambarkan kesucian perjuangan Sayyidina Husein. Di samping itu, di Bulan Muharam pula menjadi pengingat akan kesedihan Kerajaan Mataram yang mengalami kekalahan dalam dua kali penyerbuannya ke Batavia.
Kemudian, Sultan Agung mencanangkan pada malam permulaan tahun baru Muharram/Suro tersebut untuk prihatin. Tidak berbuat sesuka hati dan tidak boleh berpesta sebagai bentuk menghormati leluhur dan evaluasi diri, sehingga pada malam tersebut pusaka-pusaka mereka cuci dan bersihkan, seiring dengan kehidupan spiritual yang disucikan kembali. []