Mubadalah.id- Undang-undang terkait Kesehatan Ibu dan Anak atau UU KIA disahkan pada Juli 2024 lalu. UU ini berisi terkait hak anak dalam mendapatkan kehidupan 1000 hari pertamanya. Ibu juga mendapat dukungan penuh dalam memberikan pengasuhan pada anaknya. Dalam UU ini, ibu diberikan hak penuh dalam perawatan anak dan juga dirinya. Pembahasan mengenai cuti, hak ibu dan juga sebagainya diatur dalam UU KIA ini.
Pembahasan UU KIA
Undang-undang ini bisa jadi angin segar bagi para ibu, apalagi bagi mereka yang bekerja pada sektor formal. Penambahan masa cuti untuk ibu yang bekerja pada sektor formal juga tampaknya jadi angin segar, walau tak menutup kemungkinan dalam praktiknya ada bias makna dalam UU ini.
Sebelumnya, peraturan cuti ibu hamil yaitu 3 bulan dengan pembagian 1,5 bulan sebelum dan 1,5 setelah melahirkan atau sesuai dengan perjanjian. Dan dalam UU KIA ini ada penambahan 3 bulan lagi jika terdapat kondisi khusus pada ibu dan anak yang ditunjukkan dengan surat keterangan dokter. Dalam kondisi khusus ini, pihak perusahaan tempat ibu bekerja tidak dapat melakukan pemutusan kontrak kerja.
Ibu juga masih mendapatkan upah secara penuh sampai bulan ke empat masa cutinya. Jika ibu mengajukan cuti lagi hingga 6 bulan karena kondisi khusus tadi, maka akan mendapat upah 75% pada bulan ke-5 dan ke-6. Selain itu, ayah atau suami dapat melakukan pengambilan pada ibu dan anaknya dengan memberi waktu cuti selama 2 hari. Dan dapat memberikan penambahan 3 hari dengan keterangan atau kesepakatan sebelumnya.
UU KIA Mempertebal Tugas Domestik
UU KIA ini sekilas memang tampak sesuai dengan kebutuhan ibu dan anak. Karena memang, tujuan dalam pembentukan untuk memberikan perlindungan dan usaha maksimal dalam 1000 hari kelahiran anak. Tetapi dalam praktiknya UU KIA ini punya bias terhadap gender dan stereotip bahwa perempuan atau ibu jadi pelaksana utama dalam tugas perlindungan anak. Padahal ibu dan ayah punya kewajiban yang sama dalam hal ini.
Jika ibu bekerja formal, anggap saja dalam suatu perusahaan yang mewajibkan kehadiran ibu dalam perusahaan dengan jam kerja 8 jam. Maka, perusahaan pasti akan mengalami kerugian jika banyak karyawannya yang melakukan cuti. Walau masa cuti 6 bulan tadi jika adanya kejadian khusus, tapi sedikit banyak memengaruhi perusahaan dalam proses penyaringan karyawannya.
Melanggengkan tugas domestik secara formal dalam peraturan ini. Tak sedikit perusahaan yang akhirnya memilih untuk merekrut karyawan yang tidak ada rencana hamil atau belum menikah. Atau bahkan kurangnya presentase keterlibatan perempuan dalam perusahaan. Padahal perempuan punya peran yang sama dalam dunia kerja. Dan dari adanya peraturan ini, maka tugas domestik perempuan diakui secara hukum.
Konsep Kesalingan Ala Mubadalah
Membahas terkait kesejahteraan dan kesetaraan, pastinya bukan hal yang mudah. Apalagi membentuk konsep mubadalah atau kesalingan antara banyaknya konflik kepentingan yang ada. Pembentukan hukum juga harus berlandaskan pada keadilan. Sampai kini, kementerian PPPA masih menyusun peraturan turunan dari undang-undang ini.
Tujuan awal dari pembentukannya memang punya maksud yang baik. Tetapi jika dalam implementasinya menimbulkan bias dan tumpang tindih, maka kesetaraan bahkan kesejahteraan tidak akan tercapai.
Pengawasan dalam pembentukan produk hukum, hingga proses berjalannya harus semua masyarakat lakukan. Melalui perkembangan teknologi, dan cepatnya penyebaran informasi harus jadi alat dalam proses pengawasan ini. Tugas ini butuh peran semua pihak, perempuan dan laki-laki punya andil yang sama dalam melakukan pengawasan dalam bidang hukum apapun itu. []